PENDAHULUAN
Komunikasi politik merupakan aktivitas yang tidak
terpisahkan dari keseharian manusia di berbagai bidang. Dalam aktivitas
politik, komunikasi memainkan peran yang dominan. Mengutip pendapat Redi Panuju
(1997), apabila politik diartikan sebagai gejala manusia dalam rangka mengatur
hidup bersama, maka esensi politik sebenarnya juga komunikasi. Komunikasi
adalah hubungan antar manusia dalam rangka mencapai saling pengertian (mutual
understanding). Dengan demikian, komunikasi sebagai proses politik, dapat
diartikan sebagai gejala-gejala yang menyangkut pembentukan kesepakatan.
Misalnya, kesepakatan menyangkut bagaimana pembagian sumberdaya kekuasaan atau
bagaimana kesepakatan tersebut dibuat.Gabriel Almond berpendapat, bahwa
komunikasi politik merupakan salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap
sistem politik, dalam kalimat Almond (1960) sendiri :
All of the functions performed in the political
system-political sosialization and recrutment, interest articulations, interest
aggregations, rule making, rule applications, and rule adjudication- are
performed by means of communications.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa komunikasi politik
bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan proses penyampaian
pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya dijalankan. Keenam
fungsi tersebut adalah sosialisasi dan rekrutmen politik, perumusan
kepentingan, penggabungan kepentingan, pembuatan aturan, penerapan aturan dan
keputusan aturan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat
secara inheren di dalam setiap fungsi sistem politik.
Secara harpiah, komunikasi (communication) berasal
dari kata latin communis yang berarti “sama” (William Gordon, 1978) atau
communicare yang berarti membuat sama atau to make common (Judy Person,
1979). Definisi komunikasi secara sederhana mengacu pada pengalihan informasi
untuk memperoleh tanggapan atau saling berbagi informasi, gagasan dan sikap
(Wilbur Schramm,1974) . Sementara definisi politik mengacu pada pendapat Deliar
Noer, sebagai aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang
bermaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu
bentuk susunan masyarakat.
A.
Pengertian
politik humanis
Secara etimologis, politik
berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota.
Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara,
politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika
yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti
kewarganegaraan.
Humanisme adalah sebuah gerakan
filsafat dan literatur yang bermula dari Italia pada paruh kedua abad ke-14
kemudian menjalar ke negara-negara Eropa lainnya. Gerakan ini menjadi salah
satu faktor munculnya peradaban baru. Humanisme adalah paham filsafat yang
menjunjung tinggi nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai
kriteria segala sesuatu. Dengan kata lain, humanisme menjadikan tabiat manusia
beserta batas-batas dan kecenderungan alamiah manusia sebagai obyek.
Pada arti awalnya, humanisme
merupakan sebuah konsep monumental yang menjadi aspek fundamental bagi
Renaisans, yaitu aspek yang di jadikan para pemikir sebagai pegangan untuk
mempelajari kesempurnaan manusia di alam natural dan di dalam sejarah sekaligus
meriset interpretasi manusia tentang ini. Istilah humanisme dalam pengertian
ini adalah derivat dari kata-kata humanitas yang pada zaman Cicero dan Varro
berarti pengajaran masalah-masalah yang oleh orang-orang Yunani disebut paidea
yang berarti kebudayaan. Pada zaman Yunani kuno pendidikan dilakukan sebagai
seni-seni bebas, dan ketentuan ini dipandang layak hanya untuk manusia karena
manusia berbeda dengan semua binatang.
Kaum humanis bertekad untuk
mengembalikan kepada manusia spirit yang pernah dimiliki manusia pada era
klasik dan kemudian musnah pada zaman pertengahan. Spirit itu tak lain ialah
spirit kebebasan yang telah menjustifikasi klaim-klaim mengenai otonomi manusia
dan yang telah merestui manusia untuk mencari kemampuan membuat alam natural
dan sejarah sebagai wilayah kekuasaannya serta menguasainya tatkala manusia
melihat dirinya dibuat tak berdaya oleh faktor alam dan sejarah.
Humanisme yang kembali kepada era
klasik bukan berarti mereformasi era klasik, melainkan bertujuan menghidupkan
dan mengembangkan potensi dan kemampuan yang pernah dimiliki dan dikerahkan
oleh orang-orang terdahulu.
·
Politik
humanis
Politik hanya dimaknai sebagai instrumen dalam
memuluskan tujuan atau kepentingan. Sehingga yang ada segala cara dilakukan,
baik itu cara yang baik maupun tidak baik.
Rakyat sudah
muak dengan segala tingkah laku politisi kita yang melepaskan prinsip-prinsip
humanis. prinsip-prinsip humanis tersebut yaitu prinsip keadilan, persamaan,
dan kebebasan.
Prinsip keadilan
meniscayakan adanya tegaknya keadilanbagi semua. Keadilan yang tidak
memandang kelas, baik itu orang kaya maupun miskin, dan lain sebagainya.
Prinsip persamaan merupakan
sebuah implikasi dari tegaknya keadilan. Dalam politik humanis setiap orang
berhak memperoleh persamaan hak. Kewajiban umum, dan kesempatan. Setiap orang
berhak memperoleh hak yang sama, termasuk penegakan hukum.
Prinsip kebebasan merupakan
konsekuensi logis dari tegaknya keadilan dan persamaan. Setiap orang memiliki
kebebasan dalam berekspresi, bertindak, dan menganut agama tertentu. Artinya,
setiap orang memiliki kemerdekaan individu, tetapi tidak boleh merenggut kemerdekaan
individu-individu lain.
Ketiga prinsip tersebut berjalan integral dan koheren,
dan sekali lagi saya katakan menjadi kebutuhan setiap orang. Oleh karena itu
setiap orang hendaknya menjunjung tinggi politik humanis (keadilan, persamaan,
dan kebebasan). Sebagai harapan terealisasinya politik humanis rakyat menjadi
bahagia, makmur, dan sejahtera dalam menjalankan aktifitas sehari-harinya
B.
Pengertian
politik humanis menurut ilmuan
Erik Fromm mencoba memaparkan bagaimana membangun
sebuah komunitas mondial yang berbobot humanistik. Di dalamnya ia berupaya
meyakinkan pembaca bahwa kualitas kehidupan sosial bukan pada uang, bukan pada
kekuasaan, bukan pula pada bangkitnya naluri-naluri kebinatangan yang
berintikan pada sikap agresif dan destruktif dalam praksis, melainkan pada
basis kesadaran akan membangkitkan dan menghargai sisi mendasar kemanusiaan.
Seyogianya sebagai bagian dari kehidupan manusia Erik Fromm melihat politik juga
perlu dibangun atas fundasi nilai- nilai kemanusiaan itu.
Naluri Kebinatangan
Namun Fromm melihat yang berlaku dalam politik adalah
antitesis dari humanisme itu sendiri. Karena de facto yang mengejawantah
dalam sejarah dunia politik justru eliminasi dan penghancuran terhadap
nilai-nilai kemanusiaan. Yang hidup adalah naluri kebinatangan.
Fromm memetakan pada umumnya tiga naluri kebinatangan
yang menghantui para politisi. Pertama, naluri necrophilia.
Naluri ini selalu mengedepankan upaya penghancuran terhadap orang lain (baca:
pihak lawan). Dasar dari sikap ini adalah permusuhan.
Dalam politik, Fromm melihat justru naluri ini
menguasai politisi. Mereka saling sikat dan sikut. Pihak yang berseberangan
dengannya tidak dilihat sebagai bagian dari dirinya. Mereka justru dianggap
musuh yang harus dihancurkan. Mereka tidak boleh eksis. Yang bisa eksis hanya
dirinya. Karena itulah segala macam cara yang dipakai politisi untuk
menyingkirkan lawannya.
Kedua, agresi
destruktif-sadistis. Sikap ini terkait dengan yang pertama. Kepuasan dari
seorang nekrophiliis terletak pada kehancuran pihak lain secara terus-menerus.
Dengan demikian semakin pihak lawan tersiksa karena agresivitasnya, semakin
tinggilah kepuasan yang dirasakan oleh politisi itu sendiri. Di sini tidak ada
pertimbangan rasional. Yang mendominasi adalah naluri kebinatangan.
Ketiga, semangat
memiliki. Bagi Fromm bercokolnya naluri necrophilia dan naluri agresif
destruktif dan sadistis dalam diri para politisi bersumber pada penghayatan
modus kehidupan "memiliki". Modus ini justru berintikan pada
keyakinan bahwa segala hal diukur dari hak milik pribadi. Opsi politisi di sini
adalah bagaimana memperoleh harta milik yang berlimpah dan bagaimana
mempertahankan apa yang telah dimiliki itu sepanjang hayatnya.
Karena itu partisipasi orang tidak diberikan ruang
gerak yang luas, karena partisipasi itu akan membuatnya kehilangan kepemilikan.
Kesadaran bahwa pentingnya nilai pribadi tereliminasi di sini. Yang eksis
justru harta kekayaan. Karena modus ini pula, Fromm melihat para politisi
melakukan segala macam cara untuk mempertahankan miliknya, termasuk
kekuasaannya. Sebenarnya menurut Fromm yang ingin dipertahankan adalah hak
milik privat itu.
PEMBAHASAN
A.
Pendekatan
Teoritis
1.
Menurut Al-Qur’an dan Hadist
Konsep
Politik dalam Islam.
Kalau
al-Qur’an, al-Sunnah dan sejarah yang telah diukir oleh umat Islam
sepanjang masa dikaji secara kritis dan mendalam, maka akan dapat dilihat
bahwa Islam sesungguhnya bersifat pasti dan meyakinkan dalam semua prinsip umum
yang selalu sesuai setiap saat dan tempat.
Karenanya, kalau
prinsip-prinsip tersebut dijalankan maka setiap orang akan merasakan
kelenturan syari’at dan kecenderungannya kepada penalaran yang bebas,
termasuk dalam bidang politik. Dengan demikian dapatlah dilihat
bahwa kalaupun secara tegas masalah politik ini tidak disebutkan dalam
al-Qur’an maupun al-Sunnah, namun dari isyarat-isyarat dan
prinsip-prinsip yang dikandungnya, sesungguhnya telah cukup untuk mengatakan
bahwa Islam mengatur masalah politik secara umum.
Islam tidak
hanya mengatur ketentuan akidah keagamaan atau ketentuan moral dan etika
saja, akan tetapi Islam juga membawa syari’at yang jelas dalam rangka
mengatur manusia, prilakunya dan hubungannya satu dengan yang lain dalam
segala aspek, baik bersifat individu, keluarga, hubungan individu dengan
masyarakat dan hubungan-hubungan yang lebih luas lagi.
.Berdasarkan
kenyataan ini, sebenarnya Islam telah membawa ketentuan syari’at yang menjadi
tuntutan otomatis bagi kepentingan terwujudnya suatu umat dan negara
berdasarkan prinsip-prinsip yang rasional dan memenui kebutuhan masyaraka.
Namun demikian untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diketengahkan
alasan-alasan tentang keharusan adanya negara, sebagai berikut:
1. Bahwa
al-Qur’an itu memuat hukum-hukum yang menghendaki suatu kekuatan yang dapat
menjamin terwujudnya dan diberlakukannya hukum-hukum tersebut. Karena ini
menyangkut kepentiangan umum dan ketertiban wilayah yang kalau tidak ada
suatu kekuatan yang mengatur dan mempunyai wewenang memaksa, maka ketenteraman
tidak akan terwujud. Dalam masalah ini imam Khumaini pernah
mengatakan: bahwa supaya hukum itu sanggup menjamin kebaikan dan kebahagiaan
manusia, diperlukan adanya kekuatan eksekutif atau pelaksana. Dan bahkan
dia mengatakan bahwa siapa saja yang berpendapat bahwa
pembentukan pemerintahan Islam tidak lagi diperlukan, maka secara tidak
langsung ia telah menolak perlunya menjalankan hukum dan syari`at Islam,
menolak universalitas dan keluasan hukum Islam.
2. Nabi
Muhammad saw. sendiri pernah bersabda:
لا يحل لثلا
ثة يكو ن بفلا ت من الارض الا امروا عليهم احد هم
Tidak boleh ada tiga orang yang
berada di suatu tempat di atas bumi ini, kecuali dijadikannya salah seorang
dari mereka sebagai pemimpin.
Ibnu Taimiyah dalam mengomentari
hadis ini mengatakan: bahwa Nabi Muhammad saw. mewajibkan adanya pimpinan
dalam perkumpulan kecil pada sebuah perjelanan ini, hakekatnya adalah
megingatkan kepada semua perkumpulan. Lebih-lebih perkumpulan orang dalam
wilayah yang luas (negara), tentu adanya seorang pemimpin itu mutlak
diperlukan.
3. Aktifitas Nabi Muhammad saw.
sendiri; yakni bahwa Nabi Muhammad saw. ternyata telah mendirikan negara
Madinah. Kenyataan ini tidak hanya diakui oleh umat Islam sendiri,
tetapi juga oleh orang non Islam. Misalnya Dr. Firt Gerald pernah
mengatakan Bahwa Islam bukanlah sekedar agama, melainkan juga sebuah tatanan
politik, sekalipun pada saat-saat terakhir ini ada beberapa oknum muslim yang
menamakan dirinya sebagai kaum modernis berusaha untuk memisahkan antara
agama dan tatanan politik. Namun konsep Islam yang sebenarnya ternyata
seluruhnya dibangun di atas kedua prinsip yang saling berkaitan, sehingga tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. C.A. Nollino juga pernah
mengatakan bahwa pada saat yang sama, Muhammad sekaligus memberikan agama
dan negara. Sedangkan peraturan-peraturan negaranya selalu tepat
sepanjang hidupnya.
4. Aktifitas para sahabat
setelah Nabi Muhammad saw. wafat, membuktikan responsi mereka terhadap
pentingnya arti negara untuk menjamin terlaksananya hukum-hukum Allah dan
Rasul-Nya.
5. Para ulama sejak tumbuhnya Islam
hingga kini selalu memasukkan hal negara (kepemimpinan) dalam buku-buku fiqh
mereka. Bahkan Ibnu Hazm mengklaim bahwa seluruh Ahli Sunnah, golongan
Murji’ah, Syi’ah dan Khawarij telah sepakat tentang wajibnya mendirikan
negara (imamah).
Dengan demikian jelas, bahwa Islam secara keseluruhan memang menghendaki hadirnya
negara sebagai sarana untuk mewujudkan pelaksanaan hukum-hukum
Tuhan,
Humanisme (kemanusiaan), dalam kamus
umum diartikan sebagai “sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai
nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia,
bukannya pada otoritas supernatural manapun”.
Definisi
paling jelas tentang Humanisme ini dikemukakan oleh Corliss Lamont yang
menyatakan bahwa humanisme meyakini bahwa alam merupakan jumlah total dari
realitas, bahwa materi-energi dan bukan pikiran yang merupakan bahan pembentuk
alam semesta, dan bahwa entitas supernatural sama sekali tidak ada.
Dari definisi humanisme di atas, nampak sekali para
humanis menganggap bahwa manusia adalah segala pusat aktifitas dengan
meninggalkan peran Tuhan dalam kehidupannya. Hal ini berbeda dengan Islam yang
meyakini ada kekuatan lain pada diri manusia yaitu pencipta alam ini.
Dalam Islam, yang dimaksud dengan humanisme adalah
memanusiakan manusia sesuai dengan tugas sebagai khalifah Allah di atas bumi.
Dalam menyebutkan manusia ini Al-Qur'an menggunakan empat term yang memiliki
arti yang berbeda sesuai dengan konteks yang dimaksud Al-Qur'an, antara lain :
1.
Basyar (البشر), digunakan untuk menjelaskan bahwa
manusia merupakan makhluk biologis. Sebagaimana tertuang dalam surat Ali Imron
ayat 47 yang menjelaskan tentang kekuasaan Allah yang telah menjadikan maryam
memiliki anak sementara tidak ada seorangpun yang mempergaulinya.
2.
Al-Nas (الناس), untuk menjelaskan bahwa manusia itu
sebagai makhluk sosial, seperti dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang menjelaskan
bahwa manusia itu diciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya saling kenal mengenal.
3.
Bani Adam (بني آدم), untuk menunjukkan bahwa manusia
itu sebagai makhluk rasional, seperti di dalam surat al-Isra ayat 70 yang
menjelaskan bahwa Allah akan memuliakan manusia dan memberikan sarana dan
prasarana baik di darat maupun di lautan. Ini menunjukkan bahwa manusia
berpotensi melalui akalnya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
4.
Al-Insan (الإنسان), untuk menjelaskan bahwa manusia
itu sebagai makhluk spiritual. Seperti dalam surat Al-Dzariyat ayat 56, yang
menjelaskan bahwa manusia dan jin diciptakan oleh Allah tidak lain hanyalah
untuk menyembah kepada-Nya.
2.
Menurut
pendapat ilmuan
B.
Pendekatan
praktis
1.
Fakta
sosial politik Gus Dur
a)
Pemikiran
politik Gus Dur
Pada dasarnya, gagasan besar Abdurrahman Wahid dalam
komunikasi politik lebih diletakkan pada upaya membangun pemikiran liberal
mengenai agama, negara dan masyarakat. Gagasan-gagasan liberal terhadap
persoalan tersebut merupakan konsekuensi logis dipilihnya paradigma liberal
dalam memberikan penafsirannya atas wacana-wacana yang berkembang dalam
masyarakat.
Dalam merespon derasnya arus modernitas, Abdurrahman
Wahid lebih banyak bersikap positif dan fleksibel. Bagi Abdurrahman Wahid,
watak pluralistik dan multi-kommunal masyarakat Indonesia modern harus
dihormati dan dipertahankan dari kecenderungan-kecenderungan sektarianistik.
Fakta pada hampir semua realitas kekerasan yang terjadi di negeri ini lebih
menonjolkan dimensi sektarian yang anti pluralitas.
Salah satu yang menonjol dari pemikiran Abdurrahman Wahid
adalah kemampuannya untuk mengombinasikan apa yang terbaik di dalam nilai-nilai
modernitas dan komitmennya terhadap rasionalitas dan keulamaan maupun
kebudayaan tradisional.
Liberalisasi pemikiran Abdurrahman Wahid dapat terlihat
secara jelas dalam berbagai bentuk gagasan besarnya, yang dianggap oleh banyak
pengamat keluar dari jalur kelaziman, utamanya dari logika arus mainstream yang berkembang pada
zamannya. Tidak berlebihan bila Hakim (1993:86) mengatakan bahwa cara untuk
memahami pemikiran Abdurrahman Wahid adalah dengan tiga kata kunci, yaitu
liberalisme, demokrasi dan universalisme.
a. Universalitas Nilai-Nilai kemanusiaan
Salah
satu pemikiran Abdurrahman Wahid yang (paling) menonjol adalah komitmennya
untuk mengeluarkan gagasan tentang perlunya ditegakkan kemanusiaan dalam
masyarakat. Hal ini sebenarnya tampak dalam kesukannya pada musik, utamanya
pada musik yang berisikan nilai-nilai perdamaian dan persaudaraan manusia.
Terlepas
dari kegemaran tersebut, pandangan Abdurrahman Wahid tentang nilai kemanusiaan
adalah penting untuk dikedepankan. Dalam keseluruhan konstelasi pemikiran
Abdurrahman Wahid, pandangan tentang nilai ini telah menjadi titik tolak dalam
menelusuri alur atau paradigma pemikirannya. Baginya, penghayatan atas
nilai-nilai kemanusiaan adalah inti dari ajaran agama. Tanpa nilai-nilai
tersebut, dunia hanya dipenuhi oleh berbagai bentuk kekerasan dan konflik
sosial.
b. Makna
Keadilan dalam Pluralitas Masyarakat
Abdurrahman Wahid,
di samping terkenal dengan konsep humanisme universalnya, ia juga berusaha
untuk mengedepankan nilai-nilai keadilan sosial di tengah masyarakat plural.
Keadilan harus ditegakkan tanpa memandang etnisitas dan agama. Prinsip ini seolah
sebagai kelanjutan dari visi humanisme yang dikembangkannya yang bersifat
universal tanpa memandang sekat-sekat agama.
Abdurrahman Wahid
sangat menginginkan dijunjung tingginya nilai dasar dalam membangun masyarakat,
yaitu keadilan, persamaan dan demokrasi. Upaya menjunjung tinggi dasar tersebut
adalah meninggalkan formalisasi agama di tengah-tengah masyarakat plural,
sebagaimana yang terjadi di indonesia. Baginya, masyarakat seharusnya
dirangsang untuk tidak terlalu memikirkan manifestasi simbolik dari agama dalam
kehidupan, akan tetapi lebih mementingkan esensinya. Keadilan, baginya, adalah
milik semua agama, dan harus ditegakkan oleh umat beragama.
c. Makna
Kebudayaan dalam Pluralitas Masyarakat
Persoalan lain yang
menjadi perhatian utama dalam pemikiran Gus Dur adalah perihal hubungan agama
dan kebudayaan. Sebagaimana hubungan agama dan negara yang masih problematik,
bagi Gus Dur dalam konteks ke-Indonesia-an, hubungan antara agama, negara, dan
kebudayaan ternyata masih juga memunculkan masalah serius.
Pemikiran tentang
relasi agama, negara dan kebudayaan merupakan salah satu perhatian utama
pemikiran dan aksi politik Gus Dur, yang sama besarnya dengan persoalan lain.
Berbagai problem kebudayaan yang seringkali hadir dalam realitas masyarakat
selalu membuatnya gelisah, apalagi ketika problem tersebut dibenturkan dengan
keyakinan agama serta diletakkan dalam rangka uniformitas kebudayaan.
Gus Dur memiliki
suatu pandangan bahwa kebudayaan sebuah bangsa pada hakikatnya adalah kenyataan
yang majemuk dan pluralistik. Penyeragaman atau sentralisasi kebudayaan
(sebagaiman yang telah dipraktekkan oleh negara) merupakan suatu tindakan yang
dianggapnya tidak berbudaya (Santoso :2004:118). Karenanya, sebuah entitas
budaya yang berlingkup lebih luas, seperti kebudayaan sebuah bangsa, haruslah
memiliki wajah pluralitas dan menghargai kemajemukan. Gagasannya terhadap
persoalan ini adalah perlunya dikembangkan sebuah kebijaksanaan pengembangan
desentralisasi kebudayaan.
d. Progresivitas
Pemikiran Ke-Islam-an
Pada dasarnya
pemikiran liberal dan liberalisasi pemikiran Gus Dur sudah diteliti, baik di
dalam negeri maupun luar negeri. Greg Barton adalah orang yang mungkin pertama
kali melakukan penelitian atas pemikiran liberal Gus Dur, yang kemudian
dituangkan dalam bukunya yang monumental ”the Emergence of Neo-modernisme A
progressive, Liberal Movement of Islamic thought in Indonensia”. Greg Barton
mengemukakan beberapa aspek liberal dalam pemikiran Gus Dur (Santoso
:2004:124), baik yang menyangkut tentang kekuatan Islam Tradisional dan sistem
pemerintahan, keberaniannya dalam mengatakan kelemahan Islam Tradisional di
Indonesia, unsur-unsur dinamisasi pesantren sebagai kekuatan untuk menanggapi
lahirnya tantangan moderenitas, pluralisme, maupun persoalan tentang humanitarianisme.
Liberaliasme
pemikiran Gus Dur disadari merupakan gaya pikir divergen, yang menjelajah
keluar dari cara-cara berpikir konvensional (seperti lazimnya) (Santoso,
2004:124). Gagasan dalam pemikirannya memang cenderung melompat-lompat,
sehingga ritmenya sering dipahami tidak beraturan. Tapi mainstream utama yang dibidik adalah agar pemahaman dan pengetahuan
keagamaan dan sikap politik umat tidak stagnan. Setiap bentuk pengetahuan dan
pemahaman harus bisa dilihat secara kritis sehingga dapat memunculkan kritis
atas hal tersebut.
Menurut Mujamil
Qomar dalam Santoso (2004:125) bahwa Gus Dur adalah orang yang sangat yakin
atas kesempurnaan Islam, tapi ia berbeda dengan pandangan ulama pada umumnya
yang mengira bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan hidup
sudah lengkap dibahas dalam Al-Quran.
b)
Komunikasi
politik Gus Dur
Untuk memperjelas konsep komunikasi politik, menarik
kiranya mengkaji komunikasi politik dari Maswadi Ra’uf. Menurutnya, komunikasi
politik sebagai kegiatan politik merupakan penyampaian pesan-pesan yang
bercirikan politik oleh aktor-aktor politik kepada pihak lain. Telaah atas
substansi komunikasi politik, selalu menempatkan rumusan komunikasi yang
diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh, baik dilevel orientasi, pemikiran
politik atau ideologi tertentu dalam rangka menguasai dan mempertahankan
kekuasaan (Maswadi Ra'up, 1993).
Gus Dur sebagai tokoh nasional merupakan representasi satu kekuatan nyata dalam peta politik nasional. Tidak hanya karena Gus Dur menjadi motor penggerak mesin politik PKB, akan tetapi lebih dari itu, sosok Gus Dur merupakan sosok penuh kharisma di kalangan kaum Naddliyin. Sumberdaya politik Gus Dur (political resource) sangat tinggi, sehingga dia sanggup menjadi katalisator berbagai pilihan politik NU. Dalam konteks itulah Gus Dur faham betul, pemanfaatan komunikasi politik dengan berbagai kekuatan yang ada.
Gus Dur sebagai tokoh nasional merupakan representasi satu kekuatan nyata dalam peta politik nasional. Tidak hanya karena Gus Dur menjadi motor penggerak mesin politik PKB, akan tetapi lebih dari itu, sosok Gus Dur merupakan sosok penuh kharisma di kalangan kaum Naddliyin. Sumberdaya politik Gus Dur (political resource) sangat tinggi, sehingga dia sanggup menjadi katalisator berbagai pilihan politik NU. Dalam konteks itulah Gus Dur faham betul, pemanfaatan komunikasi politik dengan berbagai kekuatan yang ada.
Ide besar yang selalu diusung Gus Dur selama ini
adalah proses demokratisasi di Indonesia yang sedang mengalami peralihan.
Sehingga, kalau kita perhatikan betul, Gus Dur sebisa mungkin selalu membuat
berbagai dikursus di publik untuk menjelaskan aktivitas atau sikap yang
berhubungan dengan tumbuhnya kekuasaan yang demokratis dan mempengaruhi publik
untuk mengubah atau mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat yang
demokratis pula. Bertemunya Gus Dur dengan beragam orang dan kekuatan politik,
bisa mengundang tafsir bahwa gaya politik Gus Dur adalah politik akomodasi.
Padahal, sesungguhnya komunikasi politik Gus Dur
menekankan pada pengkoordinasian tata nilai politik yang diinginkan. sehingga
mencapai tingkat kesepahaman yang tinggi antar elemen bangsa. Memang tidak bisa
dinafikan bahwa Gus Dur juga seringkali melakukan mobilisasi sosial guna
memperoleh dukungan, kepatuhan dan integrasi politik. Suatu hal yang lumrah,
karena dalam konstelasi nasional Gus Dur tidak lagi menjadikan wilayah kultural
sebagai basis perjuangannya. Gus Dur kini lebih banyak berada di ranah politik
praktis, sehingga sudah semestinya Gus Dur melakukan sosialisasi sikap dan
pilihan politiknya, melakukan rekrutmen politik, merumuskan kepentingan,
mengagregasi kepentingan seoptimal mungkin melalui sayap politiknya (PKB) dan
mempengaruhi pembuatan serta penerapan aturan yang nantinya akan dipakai oleh
masyarakat.
Perlu diberi catatan, pengharapan politik rakyat pasca
Pemilu 2004 ini adalah perubahan. Konsekuensinya, keberpihakan terhadap agenda
reformasi dan rakyat kecil menjadi pertaruhan besar bagi siapapun pemimpin
Indonesia. Menurut Dan Nimmo, bagi komunikator politik, untuk menjadi pemimpin
politik ia harus berprilaku sebagaimana yang diharapkan orang dari pemimpin.
Ada tiga jenis kecenderungan yang menunjukan arah perbuatan seseorang yakni
kepercayaan, nilai dan pengharapan (Dan Nimmo, 1995). Dengan demikian jika
bangsa Indonesia memiliki pengharapan akan perubahan, maka perubahan tersebut
harus dikonsolidasikan dengan baik. Maka wajarlah jika Gus Dur bertemu banyak
tokoh yang berpotensi ikut megadakan perubahan, dia juga mengkritik banyak
orang sebagai bentuk kontrol atas kehati-hatian arah perubahan Indonesia di
masa depan.
Perbedaan Pendekatan
Perbedaan Pendekatan
Sebelum mengkaji pendekatan komunikasi yang biasa Gus
Dur terapkan, akan lebih baik jika sebelumnya kita bandingkan dengan
pemimpin-pemimpin Indonesia yang lain. Terdapat perbedaan pendekatan komunikasi
yang dilakukan para pemimpin bangsa ini. Soekarno misalnya, banyak memakai
pendekatan behavioristik. Pendekatan yang menekankan refleksitas kognisi ini
amat berhubungan dengan penempaan pesan sehingga prilaku penerima pesan menjadi
reflektor yang setia. Seluruh prilaku manusia, kecuali instink, dalam
pendekatan ini diasumsikan sebagai hasil belajar. Belajar artinya perubahan
prilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Pola-pola indoktrinasi ala
Soekarno seperti seringnya pengulangan kata-kata “Revolusi Belum Usai”,
“Kontrarevolusi”, “ganyang Malaysia” dan lainnya di berbagai forum dan kesempatan,
terkadang menyisihkan rasionalitas dan otonomi individu penerima pesan terlepas
dari baik-buruknya dampak indoktrinasi itu bagi masyarakat.
Di era Soeharto, pendekatan komunikasi yang digunakan
bersifat transmisional dimana jalinan komunikasinya bersifat searah. Soeharto
yang saat itu sangat powerfull membentuk dan mengarahkan komunikasi, sementara
rakyat selalu dalam posisi sebagai receiver (penerima pesan) tanpa bisa leluasa
memberikan feedback, kecuali sesuai dengan arahan dari Soeharto sendiri. Kebijakan
publik yang dikeluarkannya, selalu dikomunikasikan dengan cara-cara dominatif
dan eksploitatif.
Pasca Soeharto jatuh, pendekatan yang mendominasi
proses komunikasi bangsa Indonesia adalah interaksional. Semua orang bebas
mengekspresikan sikap dan pandangannya, sehingga jalinan komunikasinya
interaktif. Kebebasan yang melahirkan euforia ini menjadi kontraproduktif
karena tingkat pendidikan politik dan kesadaran berbangsa rendah. Kebebasan
seringkali memunculkan kebablasan. Fenomena interaksional ini lebih mengkristal
saat Gus Dur terpilih sebagai Presiden. Gus Dur selalu bergerak dengan percaya
diri meski seringkali melawan mainstream publik.
Di tengah situasi pendekatan interaksional, Megawati
tampil menggantikan Gus Dur. Ada kecenderungan Megawati dan pemerintahannya
dalam batas-batas tertentu kembali menggunakan pola transmisional. Tiba-tiba
banyak kebijakan publik diputuskan tanpa proses sosialisasi yang memadai di
tingkat rakyat. Keengganan berkomunikasi ala Megawati sesungguhnya dapat kita
analisa dengan menggunakan teori-teori produksi pesan, terutama Communication
Apprehention (CA) Theory dari James McCroskey dan Sensitivitas Retoris dari
Darnel dan Brockriede. McCroskey menemukan, bahwa keengganan berkomunikasi
merupakan problem praktis serius bagi banyak orang, terbentang dari yang rendah
sampai keengganan berkomunikasi yang bersifat patologis (McCroscky, 1984).
Keengganan berkomunikasi bisa merupakkan sifat bisa
juga keadaan. Traitlike Communication Apprehention (keengganan berkomunikasi
yang menjadi sifat) merupakan tendensi yang abadi dalam berbagai setting.
Individu yang menderita menghindari seluruh jenis komunikasi oral. Sementara
Statelike Communiaction Apprehention hanya memiliki keengganan berkomunikasi
tertentu. Misalnya keengganan berbicara dan berdebat di depan publik mengenai
suatu kebijakan publik. Keengganan berkomentar atau menanggapi masalah-masalah
krusial, serta keengganan berpolemik dengan lawan politiknya secara langsung.
Hal inilah yang rupanya dominan kita temukan dalam diri Megawati.
Gaya Gus Dur
Secara umum ada dua kecenderungan gaya komunikasi yang
dilakukan Gus Dur. Pertama, kebiasaan Gus Dur memproduksi pesan politik secara
equivocal. Meminjam istilah teori Janet Beaving Bavelas, komunikasi equivocal
berarti pesan-pesan dengan sengaja dibuat tidak jelas, tidak langsung dan tidak
berterus terang (Stephen W Littlejohn, 1999). Penerima pesan harus menduga
artinya daripada menangkapnya secara langsung. Dalam politik sebagai Art of
possibility, equivocal terkadang perlu.
Hal ini memang menjadi kebiasaan lama Gus Dur,
sehingga langkah-langkahnya tidak mudah diprediksikan oleh lawan politiknya.
Namun gaya seperti ini juga seringkali menjadi masalah, ketika hal itu
menyangkut kebijakan mengenai hajat hidup orang banyak. Seperti saat Gus Dur
menjadi presiden, banyak kebijakannya yang equivocal sehingga tidak
tersosialisasikan dengan baik. Substansi kiprah Gus Dur dilihat dari
pengalaman-pengalaman masa lalu sangat pro rakyat dan demokrasi, hanya saja
sebagian rakyat seringkali tidak bisa menangkap metakomunikasi dari pesan yang
disampaikan. Sehingga bagi yang tak mengenal sosok Gus Dur secara baik, akan
muncul asumsi bahwa Gus Dur adalah simbol ketidak konsistenan (Hamid Awaludin,
Harian Umum Kompas 13 Juli 2004).
Kedua, gaya komunikasi Gus Dur seringkali agresif. Hal
ini menarik dikaji dari konsep agresif Dominick A. Ifante yang ditulisnya dalam
buku Argumentativeness and Verbal Agressivness (Ifante, 1996). Terutama,
berkaitan dengan dua sifat agresi yang dominan pada diri Gus Dur. Kedua sifat
itu ialah kesukaan berdebat dan keagresifan verbal. Kesukaan berdebat merupakan
tendensi mengajak bercakap-cakap tentang topik-topik kontroversial. Lihat saja
polemik Gus Dur mengenai TAP MPR No.VII/2000 pasal 7 ayat (3) dan pasal 3 ayat
(3) tentang pengangkatan dan pemberhentian kapolri. Polemik tentang TAP MPR No.
25, alasan pemecatan beberapa mentri, pernyataan mengenai permintaan penagguhan
pemeriksaan beberapa konglemerat, gonjang-ganjing dekrit, golput di Pemilu
Presiden 2004 dan masih banyak contoh lainnya.
Sementara keagresifan verbal, seringkali identik
dengan gaya komunikasi Gus Dur sebelum, selama maupun sesudah dia jadi
presiden. Sifat ini adalah kebiasaan menyerang ide, keyakinan, ego atau konsep
diri dimana argumen bernalar. Agresi verbal Gus Dur biasanya berupa ledekan
emosional yang bisa menghasilkan kemarahan bagi pihak yang dituju. Biasanya Gus
Dur melakukan ini dengan pertimbangan tertentu, misalnya saat Gus Dur harus
melindungi kelompok minoritas yang terancam, mengalihkan konflik di tingkat
akar rumput ke konflik elit, atau saat dibutuhakn shock terapi bagi orang dan
kekuatan politik besar tertentu.
Ketiga, dalam keadaan normal sebenarnya Gus Dur adalah tipe rhetorically sensitive. Yakni tipe yang memoderatkan dua kutub ekstrim noble selves dan rhetorical reflector. Sensitif retoris mewujudkan kepentingan sendiri, orang lain dan sikap situasional. Sebagai individu tentu seorang pemimpin mempunyai kepentingan, tetapi dia juga mendengar dan menerima input dari masyarakat .
Ketiga, dalam keadaan normal sebenarnya Gus Dur adalah tipe rhetorically sensitive. Yakni tipe yang memoderatkan dua kutub ekstrim noble selves dan rhetorical reflector. Sensitif retoris mewujudkan kepentingan sendiri, orang lain dan sikap situasional. Sebagai individu tentu seorang pemimpin mempunyai kepentingan, tetapi dia juga mendengar dan menerima input dari masyarakat .
Dengan kepekaan
terhadap situasi dan kondisi inilah, dia akan menuju kearah pemahaman yang
lebih efektif dengan penerimaan ide-ide secara meluas. Gus Dur sudah lama
dikenal sebagai sosok yang pluralis, sehingga lebih banyak diterima oleh
berbagai kalangan yang berbeda etnis, agama maupun ras.
c)
Model komunikasi politik Gus Dur
Satu hal lain yang menarik dari sosok Gus Dur sebagai
tokoh sekaligus aktor politik sangat berpengaruh di ranah politik Indonesia
kontemporer adalah model komunikasi politik yang dipraktikkannya. Gus Dur
ibarat oase di tengah gersanganya komunikasi para elit negeri ini. Di
saat kebanyakan elit politik kita nyaris seragam didominasi oleh budaya high
context culture yang ditandai dengan politik harmoni, Gus Dur justru
kerapkali hadir dengan gayanya yang di luar mainstream. Banyak pesan
yang diproduksi Gus Dur, menghadirkan kedalaman wacana dan mengundang minat
untuk menjadi perbincangan publik. Komunikasi penuh warna ala Gus Dur tidak
sekedar memenuhi formalitas kehadiran sang tokoh di ranah publik, melainkan
juga kaya dengan bahan diskursus mulai dari warung kopi hingga kajian ilmiah di
berbagai kampus maupun pusat-pusat studi.
·
Model Interaksional
Model komunikasi pertama yang
dominan dipraktikkan Gus Dur adalah model interaksional. Model ini, menempatkan
diri komunikator dalam posisi sejajar dengan komunikator lain sehingga terjadi interplay
yang demokratis dalam kuadran komunikasi saling memberi dan menerima. Dia
tidak alergi untuk bertemu banyak orang, mendengar dan membangun kerjasama
dengan berbagai pihak, termasuk dengan orang atau kekuatan politik yang pernah
bersebrangan dengannya.
Membaca Gus Dur ibarat skenario cerita yang diwarnai
oleh interaksi aktor di banyak kejadian tidak terduga. Hal ini pula, yang
membuka peluang bagi munculnya multitafsir atas berbagai gaya yang ditampilkan
Gus Dur. Misalnya, pada Pemilu 2004 tidak ada yang mengira Gus Dur akan
membangun komunikasi politik secara intensif dengan Partai Golkar dan Wiranto.
Siapapun tahu, bahwa Gus Dur sempat disakiti oleh Partai Golkar terutama saat
dirinya dilengserkan dari jabatannya sebagai Presiden RI. Begitu juga dengan
Wiranto, di antara keduanya pernah mengalami ketidakcocokan. Sewaktu menjadi
Presiden, Gus Dur dengan berani memberhentikan Wiranto dari jajaran kabinetnya.
Hal ini menunjukkan bahwa perbedaannya dengan Golkar dan Wiranto tidak lantas
membuat Gus Dur bersikap kaku dalam berkomunikasi politik.
Sikap politik Gus Dur yang lentur, menjadikan dirinya
sebagai kekuatan yang selalu diperhitungkan oleh siapapun. Pada Pemilu 2004,
saat dirinya tidak lolos menjadi calon presiden akibat persyaratan yang dibuat
KPU, Gus Dur memilih untuk Golput. Secara bersamaan dia juga merestui pasangan
Wiranto-Solahuddin untuk didukung kaum Nahdliyin.
Dengan tegas Gus Dur menyatakan tidak akan bekerjasama
dengan Megawati karena dianggap telah melakukan kesalahan konstitusional.
Namun, lagi-lagi Gus Dur melakukan hal yang tak terduga. Setelah Pilpres
putaran pertama yang berlangsung 5 Juli 2004 menempatkan SBY-JK dan
Megawati-Hasyim sebagai pasangan kandidat yang akan maju ke putaran ke dua, Gus
Dur dengan sangat santai kembali bertemu dan berdialog dengan Megawati.
Begitupun sikapnya terhadap tokoh-tokoh lain seperti Amien Rais dan SBY. Meski
kerapkali bersebrangan dan saling mengkritik, secara pribadi Gus Dur tetap bisa
berhubungan baik dengan kedua tokoh ini.
Model interaksional juga dipraktikkan Gus Dur dalam
membangun semangat pularisme dan multikulturalisme. Dia membangun komunikasi
yang harmonis dengan banyak tokoh dan komunitas lintas agama, lintas etnis
bahkan lintas ideologi. Melindungi kelompok minoritas tidak hanya dalam
retorika tetapi juga dalam berbagai aktivitas dan kebijakan nyata baik saat dia
di luar maupun di dalam kekuasaan. Tidak banyak tokoh muslim kontemporer yang
mampu menjembatani pluralisme di level aksi, terlebih di hal-hal tertentu yang
kontroversial dan bertentangan dengan mainstream.
Gus Dur telah sukses mengomunikasikan ajaran Islam
damai dan rahmat bagi semesta alam dalam sebuah pemahaman bersama (mutual
understanding) melalui penguatan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Di
tengah menguatnya radikalisme atas nama agama termasuk jaringan terorisme yang
kian aktual di Indonesia dan dunia, Gus Dur tidak bosan-bosanya memerankan diri
sebagai pembawa pesan bahwa inklusivisme Islam adalah keharusan.
·
Model Transaksional
Satu hal lagi yang tidak bisa kita nafikan saat
membaca komunikasi politik Gus Dur adalah model transaksional. Gus Dur adalah
satu diantara aktor politik yang banyak memberi pelajaran berharga mengenai
bagaimana seharusnya kita menegosiasikan ide, gagasan, pemikiran dan tindakan
sosial politik kita di tengah lingkungan yang kian kompetitif. Gus Dur kerap
membuka diskursus di media massa tentang banyak hal, termasuk yang oleh
sebagian orang dianggap sebagai isu sensitif.
Bagi Gus Dur, mengkritik dan bersikap oposan terhadap
orang dan kelompok tertentu yang dianggap menyeleweng adalah hal yang lumrah,
meski terhadap kelompok mayoritas sekalipun. Kita tentu ingat, bagaimana
kegigihan Gus Dur memperjuangan demokratisasi meski harus berhadapan dengan
tembok kekuasaan Orde Baru. Melalui berbagai ceramah, tulisan, sentilan joke
dan lain-lain Gus Dur menjadi salah satu pengkritik utama pemerintahan
Soeharto.
Secara Secara umum ada dua kecenderungan komunikasi
yang dilakukan Gus Dur dalam mengimplementasikan model transaksional ini. Pertama,
kebiasaan Gus Dur memproduksi pesan politik yang mengharuskan penerima pesan
mengurai sendiri substansi maknanya. Komunikan harus menduga dan memberi
tafsir, daripada menangkap penjelasan maknanya secara langsung. Misalnya
beberapa tahun lalu, Gus Dur menyebut inisial “ES” sebagai dalang kerusuhan
yang terjadi di beberapa tempat di tanah air. Sebuah upaya mengalihkan
sekaligus meminimalisir konflik horisontal di masyarakat yang kian eskalatif
dan membahayakan ratusan nyawa, ke konflik di level elit.
Kedua, kebiasaan Gus Dur untuk membawa
ranah perdebatan pada topik-topik dan kebijakan kontroversial. Misalnya saat
Gus Dur melindungi Ahmadiyah, berbagai cercaan dan perdebatan mengemuka. Di
berbagai kesempatan, Gus Dur justru tampil konsisten dan berani berdebat
mengapa kelompok Ahmadiyah layak dia dibela.
Ide besar yang selalu diusung Gus Dur selama ini
adalah proses demokratisasi di Indonesia yang sedang mengalami peralihan.
Sehingga kalau kita perhatikan, Gus Dur sebisa mungkin selalu membuat berbagai
dikursus di ruang publik untuk menjelaskan aktivitas atau sikap yang
berhubungan dengan konsolidasi demokrasi di negeri ini. Komunikasi politik Gus
Dur menekankan pada pengordinasian tata nilai politik yang diinginkan, sehingga
mencapai tingkat kesepahaman yang tinggi antar elemen bangsa.
Hingga saat ini, masih banyak orang yang tidak bisa
menangkap metakomunikasi dari pesan yang disampaikan dan diartikulasikan
oleh Gus Dur. Sehingga, bagi yang tak mengenal sosok Gus Dur secara baik, akan
muncul asumsi bahwa dia adalah simbol ketidakkonsistenan. Gus Dur memang
identik dengan gaya komunikasi verbal agresif. Hal ini bisa diamati dari
kebiasaanya menyerang ide, keyakinan, ego atau konsep diri dimana argumen
bernalar, namun demikian biasanya Gus Dur melakukan ini dengan pertimbangan
nilai luhur. Misalnya, karena Gus Dur harus melindungi kelompok minoritas
yang terancam, mengalihkan konflik di tingkat akar rumput ke konflik elit, atau
saat dibutuhkan terapi kejut bagi orang dan kekuatan politik tertentu yang tidak
lagi memerhatikan etika dan aturan politik yang disepakati.
Gus Dur
adalah sebuah fenomena, tokoh dengan sejuta makna dari komunikasi politik yang
telah dicatatkannya dalam perjalanan negeri ini. Giliran kita memaknai fenomena
tersebut, hingga kita memahami substansi pesan di balik komunikasi yang telah
disumbangkan Gus Dur untuk rakyat di negeri ini.
d)
Komunikasi Politik Gus Dur dalam gerakan Demokrasi di
Indonesia
Demokrasi merupakan salah satu tema besar dalam pemikiran
politik Gus Dur. Aksi pemikiran dan gerakan sosial yang selama ini dimainkan
tidak pernah bergeser dari gagasan besarnya untuk menciptakan demoratisasi
dalam masyarakat.
Agama dalam perpektif Gus Dur merupakan sumber nilai bagi
penegakan demokrasi. Artinya demokrasi adalah implementasi dari ajaran agama,
tanpa harus menyebutkan formulasinya dalam formulasi agama.
Prespektif demokrasi yang dikembangkan GuS Dur di atas
menjadikan sebagai sosok fenomenal, unik sekaligus luar biasa. Pesan yang
dilontarkan memang cenderung mengagetkan banyak orang, terlebih orang yang
terbiasa hidup dengan menganggap sikap dan pikirannya sebagai kebenaran
satu-satunya.
Pada dasarnya politik pemikiran Gus Dur bisa dipahami
sebagai produk dari pergumulan intensifnya dengan tiga kepedulian utama, yaitu
: revitalisasi khazanah Islam tradisional ahlussunnah
wal Jama’ah, khususnya kurang dipahami dan dikembangkan oleh NU,
keterlibatan dalam wacana dan kiprah modernitas, dan pencarian jawaban atas
persoalan konkret yang dihadapi umat Islam di Indonesia.
Yang pertama terlihat bahwa sejak awal pemikirannya, kata
kunci yang sering dipakai Gus Dur adalah ’dinamisasi’. istilah dinamisasi yang
digunakan Gus Dur merupakan sebuah terebosan kreatif, lewat kahazanah Islam
tradisional dapat digali untuk menjawab tantangan-tantangan dunia modern,
termasuk di bidang politik. Islam tradisional yang sering dianggap konservatif,
oleh Gus Dur justru dianggap sebagai salah satu kelompok yang paling siap
mengantisipasi perubahan dalam masyarakat di Indonesia.
Salah satu nilai yang berhasil didinamisasikan Gus Dur
dalam melakukan pembaharuan di bidang politik adalah komitmen kemanusiaan (humanitarianism, insaniyyah) yang ada
dalam ajaran Islam. Menurut Hakim (1993: 90) bahwa dalam pandangan Gus Dur,
nilai kemanusiaan digunakan sebagai dasar bagi penyelesaian tuntas persoalan
utama kipra politik umat, yakni posisi komunitas di dalam sebuah masyarakat
modern dan pluralistik di Indonesia. Humanistik Islam pada intinya menghargai
sikap toleran dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap kerukunan sosial
(social harmony).
Modus keberadaan
politik yang diperjuangkan oleh Gus Dur secara konsisten adalah komitmen
terhadap sebuah tatanan politik nasional yang dihasilkan oleh proklamasi
kemerdekaan, di mana semua warga negara memiliki derajat yang sama tanpa
memandang asal usul agama, ras, etnis, bahasa dan jenis kelamin.
Konsekuensinya, politik umat Islam di Indonesia terikat dengan komitmen
tersebut. Segala bentuk eksklusivisme, sektarianisme dan previlege-previlege politik harus dijauhi. Termasuk disini adalah
pemberlakukan ajaran melalui negara dan hukum formal, demikian pula ide
proporsionalitas dalam perwakilan di lembaga-lembaga negara. Tuntunan semacam
ini jelas berlawan dengan asas kesetaraan (egalitarianism)
bagi warga negara.
Implikasi lain dari komitmen terhadap asas kesetaraan ini
adalah penolakan Gus Dur terhadap ide pembentukan masyarakat dan negara Islam
sebagai tujuan politik umat di Indonesia. Menurutnya, kedua ide tersebut pada
prinsipnya memiliki persamaan tujuan : formalisasi ajaran dalam masyarakat
lewat perangkat hukum. Ini berarti keinginan untuk menegakkan sebuah komunitas
politik yang ekslusif di luar jangkauan hukum dan objektiv yang diberlakukan
kepada seluruh warga negaranya. Ini terang tidak konsisten dengan semangat UUD
1945 yang hanya mengakui komunitas politik tunggal yaitu warga negara
Indonesia. Karenanya, bagi Gus Dur, seperti dikemukakan oleh Douglas (dalam
Afandi 1996 :92) sebuah masyarakat Islam tidak perlu ada di negeri ini. Yang
harus diperjuangkan oleh umat dalam politik adalah sebuah masyarakat Indonesia
dimana ’umat Islam yang kuat, dalam pengertian berfungsi dengan baik’ sebagai
warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan yang lain.
a. Sumber media yang Digunakan Kalangan Nadliyin dalam
Memperoleh Pesan Komunikasi Politik Gus Dur
Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk
menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Komunikator harus memilih media
atau saluran komunikasi yang efesien untuk menyampaikan pesan.
Media adalah perluasan alat indera manusia. Dengan kata
lain kehadiran media dalam komunikasi tidak lain dari upaya untuk melakukan
perpanjangan dari telinga dan mata, misalnya telepon adalah perpanjangan
telinga, televisi adalah perpanjangan mata. Pendapat tersebut dikenal sebagai
teori perpanjangan indera (sense extension theory). Olehnya, dapat
dikatakan, media merupakan alat untuk menyalurkan berbagai pesan bagi manusia
dalam masyarakat dan perkembangannya pun kian hari kian meningkat.
Perkembangan media
massa tersebut sangat pesat, termasuk di
negara kita. Perubahan-perubahannya begitu cepat berlangsung terutama dari segi
teknologi. Seiring dengan itu, pola pemikiran manusia pun semakin berkembang.
Revolusi komunikasi saat ini tengah berlangsung.
Teori-teori dasar yang ada selama ini banyak yang harus menyesuaikan diri
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Dalam hal ini media dapat dibagi
dalam tiga bentuk :
1. Pertama, media yang menyalurkan ucapan
(the spoken words), termasuk juga yang berbentuk bunyi, yang sejak dahulu sudah
dikenal dan dimanfaatkan sebagai medium yang utama dan hanya dapat ditangkap
oleh telinga dinamakan juga the audio media (media dengar). Media yang
termasuk dalam kategori ini antara lain adalah gendang, kentongan (alarm
block), telephon dan radio.
2. Kedua, media yang menyalurkan tulisan (the
printed writing) dan hanya dapat ditangkap oleh mata, disebut the visual
media (media pandang). Media yang masuk dalam golongan ini, antara lain
prasasti, selebaran, pamflet, poster, brosus, baliho, spanduk, surat kabar,
majalah, dan buku.
3. Ketiga, yang menyalurkan gambar hidup dan
karena dapat ditangkap oleh mata dan telinga sekaligus disebut the audio visual
media (media pandang dengar). Media yang termasuk dalam bentuk ini adalah
film (termasuk video) dan televisi.
Selain itu media juga sering
dibedakan antara media antarpersona (antar pribadi) seperti telepon, surat dan
telegram dengan media massa seperti pers, radio, film, dan televisi. Kemudian
dengan perkembangan teknologi muncul media baru yang dikenal sebagai media
interaktif melalui komputer yang sering juga disebut internet (international
networks). Internet adalah sesungguhnya penggabungan antara komputer,
telepon dan televisi.
Kekuatan pesan Gus Dur tercermin sedikitnya dalam lima
hal, yaitu (1) kemampuan Gus Dur berkomunikasi dan Berhubungan langsung dengan
tokoh-tokoh lokal yang berpengaruh, (2) keleluasaan yang diarahkan kepada warga
Nu dan pesantren di daerah untuk mengambil sikap pragmatis dan hubungannya
dengan pemerintah dan kekuatan-kekuatan oportunis, (3) kemampuan dalam
memfasilitasi proses intelektualtas secara radikal di kalangan anak muda NU
dengan mengembangkan tema pemikiran yang liberal dan universal, (4) kemampuan
dalam menjaga citra keunggulan di mata jama’ah NU, dan (5) keseriusan mendorong
proses demokratisasi bersama dengan kekuatan masyarakat lain dari lintas suku,
agama, dan golongan. Bagi kalangan nahdliyin, posisi Gus Dur mencerminkan
kesungguhannya dalam mewujudkan ajaran rahmatan
lil’alamin.
Wacana agama menjadi kemasan yang dominan dalam proses
komunikasi politik yang di kembangkan oleh Gus Dur, karena ia memang merupakan
cermin dari organisasi yang menjadi latar belakang utamanya. Pesan-pesan
politiknya memberikan kesan kuat sebagai pesan-pesan agama yang disampaikan
melalui proses simbolisasi politik dalam nuans a agama. Hal ini memberikan efek
kesan yang mudah diterima kalangan Nahdliyin, karena proses pembentukan suasananya
yang dipandang relevan dengan suasana psikologis setiap partisipan komunikasi
yang terlibat. Menurut Mulyana dalam Muhtadi (2004:195) pesan tergantung pada
konteks fisik/ruang, waktu, sosial, dan psikologis. Demikian pula figur
komunikator yang menjadi juru bicara utama komunikasi politik Gus Dur selalu
memperlihatkan warna ganda yang diperankan, antara pemimpin politik dan
pemimpin agama.
Dalam konteks seperti ini, agama menjadi simbol yang
dapat memperlicin proses komunikasi untuk menemukan keasmaan-kesamaan rujukan
dan pengalaman di antara pihak yang terlibat dalam proses komunikasi. Lambang
atau simbol adalah suatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya,
berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Ia meliputi kata-kata (pesan verbal),
perilaku (pesan non-verbal), dan obyek yang maknanya disepakati bersama. Kata
’ishlah’ misalnya yang sering digunakan dalam pesan komunikasi politik Gus Dur,
lebih muda diterima oleh kalangan muslim pada umumnya dan kalangan Nadliyin
pada khususnya daripada kata ’rekonsiliasi’.
e)
Kondusifitas
politik humanis dan humoris Gus Dur
Di negara
yang sangat otoriter, seorang politikus boleh saja memanipulasi pemilihan umum,
membungkam pendapat, melumpuhkan gerakan demokrasi demi alasan stabilitas,
subversi, kiri, dan lain-lain. Akan tetapi terhadap yang namanya humor politik,
jelas mereka tidak berdaya. Paling banter mereka hanya bisa membunuh si tukang
cerita, akan tetapi humor itu sendiri menyelusup jauh di sela jeruji penjara
dan lolos dari segenap pengejaran.
Gus Dur dan
Humor
Kalau
Soeharto peletak dasar sistem protokoler pemerintahan yang mekanis, BJ Habibie
peletak dasar desakralisasi lembaga kepresidenan dan protokoler lembaga
tersebut, lantas dengan apa kita memberikan deskripsi untuk Preseiden ke–4 RI?
Mungkin secara sederhana, kita dapat ungkapkan bahwa Gus Dur lah peletak dasar
sistem protokoler yang lebih humanis dengan humor sebagai media komunikasi
politiknya. Banyak pihak melihat era di Gus Dur, protokoler kenegaraan
(khususnya kepresidenan) telah banyak berubah. Seolah protokoler itulah yang
mengikuti karakter Gus Dur dan bukan sebaliknya.
Fenomena
lebih menarik dapat kita cermati pada adanya ruang protokoler tidak resmi Gus
Dur yang tentu saja dianggap sebagai ruang preogatif presiden dalam kapasitasnya
sebagai Gus Dur (pribadi) yang disinyalir sebagai kabinet malam. Perubahan yang
lebih terasa dalam protokoler kepresidenan adalah Gus Dur membawa humor dan
lelucon dalam setiap acara kenegaraan dan pemerintahan, baik resmi maupun tidak
resmi.
Satu catatan
penting adalah, Gus Dur telah mengubah paradigma dan sakralisasi lembaga
keprisedenan sebagai lembaga yang pro rakyat (tidak membedakan strata sosial
dan waktu), melalui gaya komunikasi politik Gus Dus plus humor. Gaya komunikasi
politik pro rakyat terakhir bisa kita rasakan di Istana Wakil Presiden Jusuf
Kalla. Gaya komunikasi politik dan posisi lembaga kepresidenan SBY dan Boediono
sangat teknokratik, elegan dan perfeksionis.
Barangkali
rakyat Indonesia sebetulnya agak kecele terhadap prediksi, tentang tradisi apa
yang akan dibawa Gus Dur. Apakah tradisi santri di Pondok, tradisi NU
atau tradisi Kyai NU?.
Namun
ternyata tradisi baru yang menonjol dibawa Gus Dur yang sampai saat ini belum
berubah justru tradisi humornya. Tradisi ini jelas merupakan hal yang cukup
kontroversial, sesuai keberadaan humor politik yang cenderung kontradiktif bagi
etika politik dan protokoler pemerintahan/politik. Suka atau tidak suka,
politisi dibikin bingung oleh Gus Dur dengan rangkaian manuver politik yang
sarat dengan muatan humor politik, humor yang cenderung berisi kritikan pedas
dan bahkan bisa digolongkan pada sinisme atau sarkasme. Sebetulnya tidak lucu
dan mungkin sangat tidak sopan bagi beberapa pihak lain yang masih memandang
aspek-aspek protokoler dan formal masih perlu dikedepankan. Lihat saja beberapa
humor politik Gus Dur yang cukup kontroversial seperti; DPR Taman
kanak-kanak, PKB ibarat induk ayam, gitu aja kok repot, dll.
Nah,
khasanah kontroversial kaidah humor memang agak berbeda dengan polemik dan
manuver politik. Kaidah humor tetap ada orang yang memandang sebagai humor yang
segar, menarik dan menggelitik. Atau bahkan dirasa sebagai sesuatu yang cukup
menyegarkan, menggairahkan, atau lebih ekstrem lagi membangunkan orang yang
sudah lelap dan membuat terjaga yang terlanjur mengantuk oleh pidato
politik/acara yang terlalu melantur dan monoton.
Beberapa
sebab yang mengakibatkan komunikasi politik humor Gus Dur menjadi agak kondusif
dan memasuki relung pemerintahan dan lolos dari sekat-sekat protokoler.
Pertama, humor politik Gus Dur diawali oleh tipe kepribadian yang memang sudah
cukup mengakar di dalam pribadi Gus Dur, bahkan sebetulnya lingkungan pondok
pesantren merupakan lingkungan yang sarat dengan anekdot dan lelucon. Di
samping tentu saja Gus Dur sendiri yang suka humor.
Kedua yang
cukup signifikan barangkali adalah implikasi kultur kiai dan pesantren. Model
struktur pesantren yang sentralistik dan kultus terhadap otoritas keluarga,
menjadi split terbesar kultur NU. Sentralisasi kiai di mata santri begitu
sempurna menegasikan aspirasi-aspirasi kelas bawah (santri) terhadap kebijakan
kiai dengan paradigma tradisi kewalian kiai. Implikasi sistemiknya adalah
komunikasi yang muncul berada dalam skala yang instruktif, monologis dan bukan
dialogis transformatif. Kondisi inilah yang memberikan lahan yang cukup subur
untuk tumbuhnya tradisi lelucon di kalangan santri.
Ketiga,
secara politis Gus Dur menerima rangkaian tekanan dari berbagai pihak sehingga
intensitas ketegangan politik terhadap pribadi Gus Dur atau atas nama presiden
cukup tinggi seiring dengan persoalan yang melanda di negeri ini. Maka otomatis
harus ada wahana penyalur ketegangan lain sehingga Gus Dur bisa memiliki rasa
enjoy, rileks dan santai. Nah kebetulan humor dan lelucon inilah yang menjadi
pilihan utamanya.
Keempat,
intensitas tuntutan (agregasi kepentingan) dalam hierarki kekuasaan mengacu
pada masa euforia kebebasan yang kita tidak tahu kapan akan berakhir. Euforia
politik ini mengakibatkan tuntutan rakyat dan publik terhadap
pemerintah/penguasa sangat tajam, sehingga pada prinsipnya publik memiliki
kekuatan yang seimbang dengan penguasa. Keseimbangan politik ini jelas
mengakibatkan kebijakan politik menjadi tidak stabil dalam pelaksanaan
pemerintahan, konsekuensi logisnya pemerintah yang harus menjadi bulan-bulanan
publik. Hal yang paling menonjol saat ini adalah protes dan gugatan
rakyat kepada pemerintah cenderung diikuti dengan intensifnya tekanan melalui
aksi–aksi massa yang cenderung progresif. Yang lucu mungkin adalah publik tidak
terlalu tertarik lagi dengan humor politik bawah tanah dan tinggal ikut tertawa
terhadap humor politik yang disajikan oleh politikus sendiri.
Kelima dalam
etika politik memang tidak ada yang bisa membatasi humor, karena barangkali
lontaran Gus Dur di satu pihak membuat orang tidak suka dan kemudian timbul
tuntutan untuk mencabut kata-katanya. Pasti dengan enteng Gus Dur mengatakan,
“Cabut ya cabut gitu aja kok repot.“
Secara etika
sidang dan protokoler mungkin humor itu akan berhenti sampai di situ.Namun
humornya itu sendiri akan lolos ke publik/khalayak masyarakat secara langsung dan
sulit lagi untuk dibendung.
Perlu kita
catat bahwa humor sebagai bagian dari epos kehidupan masyarakat sebetulnya juga
turut andil dalam mewarnai sejarah dan kehidupan suatu bangsa. Tidak ada
salahnya kita sejenak merenungi apa yang pernah dikeluhkan oleh Berold Brecht:
“Sengsara, hidup di negara yang tidak memiliki humor, tetapi lebih sengsara
lagi, hidup di negara yang membutuhkan humor.“
f)
Perilaku Kalangan Nahdliyin dalam Menerima Pesan komunikasi Gus
Dur
Dalam prespektif interakasi simbolik, perilaku manusia
muncul melalui proses pemaknaan terhadap obyek disekitarnya. Menurut George H.
Mead dalam Muhtadi (2004:196) bahwa orang-orang sebagai peserta komunikasi
bersifat aktif, reaktif, dan kreatif dalam menafsirkan, menampilkan perilaku
yang rumit dan sulit diramalkan.
Perilaku politk kalangan Nahdliyin yang konsisten
mendukung pesan politik Gus Dur tidak lebih dari pemaknaan terhadap
isyarat-isyarat politik yang berlangsung secara aktif, reflektif, dan keratif.
Perubahan-perubahan perilaku kalangan Nahdliyin berlangsung sejalan dengan
perubahan-perubahan politik yang melingkupinya. Sedangkan makna agama yang
digunakan untuk menjustifikasi perilaku tersebut muncul karena ketersediaan
bahan rujukan yang dimiliki para pelaku politik, serta kuatnya ikatan emosional
dengan ’lambang-lambang’ agama yang telah akrab dalam kesadaran hidupnya.
Dalam konteks inilah, warna agama telah memberikan
cirinya yang khas dalam perjalanan politik Gus Dur, meskipun secara umum hampir
semua kekuatan sosial politik di Indonesia menggunakan agama sebagai kendaraan
politik yang ditungganginya.
Berkenaan dengan lambang-lambang komunikasi yang
digunakan Gus Dur dalam aktivitas politiknya, sekurang-kurangnya ada dua alasan
mengapa Gus Dur memilih tema agama sebagai salah atu kendaraan komunikasi
politiknya, pertama alasan kultur internal massa NU yang memang berakar dari
tradisi pesantren dan kaum tradisional. Bagi kalangan pesantren, tema-tema di
luar agama tidak termasuk agenda penting dalam kehidupannya. Sebaliknya,
’bahasa agama’ dapat dengan mudah dicerna komunitas tersebut meskipun esensi
pesan-pesan yang dikandungnya tidak termasuk pada tema agama dalam arti yang
terbatas. Karena itu kampanye pembangunan yang dialamatkan pada komunitas
pesantren seringkali dilakukan dengan menggunakan ’bahasa agama’, melalui
momentum keagamaan, serta dengan menampilkan tokoh agama sebagai aktor
komunikannya.
Kedua, alasan latar belakang masyarakat beragama di
Indonesia, dengan komposisi mayoritas umat Islam. Secara sosiologis, agama
merupakan intrumen sensitif yang dapat menjadi alat pengikat masyarakat,
ekalipun menjadi sumber perbedaan yang dapat memicu komplik. Dalam konteks komunikasi, khususnya untuk
kepentingan pembentukan opini publik, dua kenyataan tersebut di atas merupakan
faktor potensial yang digunakan sebagai saluran penyebaran pesan-pesan
komunikasi politik Gus Dur.
Karena karakteristik sensitif yang dimiliki, agama dapat
berfungsi sebagai mediator dalam menyampaikan pesan apa pun bagi kalangan
Nahdliyin. Agama secara tidak langsung memiliki wacana yang memungkinkan
sesuatu provokasi dapat mudah tersosialisasi. Lebih-lebih pada masyarakat
beragama yang didominasi oleh dimensi-dimensi emosional, seperti umumnya kaum
pesantren, apa pun yang menyentuh kesadaran religus atau keyakinannya dapat
mengubah keyakinan itu menjadi perilaku yang agresif. Itulah sebabnya tema-tema
agama yang dikemas dalam pesan-pesan komunikasi politik Gus Dur selalu
diangkat. Untuk menyebutkan beberapa contoh, hampir setiap momentum politik
nasional, istilah-istilah agama seperti ’istighosa’, doa bersama, silaturahmi,
dan jihad banyak digunakan Gus Dur yang menghiasi media massa.
Faktor-faktor yang memperkuat sosok Gus Dur sebagai
komunikator politik adalah karena kekuatan kharisma yang menyebabkan munculnya
kepengikutan massa secara irrasional. Otoritas Gus Dur sebagai tokoh karismatik
berperan sebagai sumber inspirasi di antara pengikutnya, sehingga pesan-pesan
yang disampaikan akan diterima secara seksama. Sebagai contoh pada saat Gus Dur
menyatakan dukungan Ibu Megawati sebagai calon presiden (padahal sebelumnya NU
tidak memperbolehkan kaum wanita menjadi pemimpin), kalangan Nadliyin
(khususnya pesantren) langsung
memberikan dukungan. Kalangan tersebut akan mengatakan ’kuning’ pada
sesuatu yang sebetulnya bukan ’kuning’ jika Gus Dur telah mengatakan bahwa
sesuatu itu adalah kuning. Komunikasi irrasional seperti ini, dalam banyak hal,
tentu akan berdampak pada peningkatan efek kepengikutan massa secara
siginifkan. Simbol-simbol komunikasinya ditafsirkan secara subjektif sesuai
dengan konteks lingkungan pada saat berlangsungnya komunikasi.
Umumnya kalangan Nahdliyin menganggap sosok Gus Dur
sangat istimewa. Figur Gus Dur bukan hanya karena kata-katanya yang megandung
fatwa agama, tetapi kehadirannya secara fisik pun dipandang sebagai sumber
keberkahan bagi para jamaahnya. Keyakinan seperti ini terlihat, misalnya pada
pemandangan keramaian setiap kali penyelenggaraan muktamar atau
momentum-momentum lain yang menjadi arena perkumpulan para kia. Mereka datang
dari berbagai pelosok desa, mereka lawan teriknya panas matahari dan tidak lagi
memperdulikan barisan pengaman berseragam loreng ataupun aparat keamanan
lainnya, hanya untuk dapat melihat Gus Dur untuk memperoleh barokah.
2.
Data
statistik pemikiran politik humanis Gus Dur
Data
otentik tentang pemikiran dan konsep politik Gus Dur dapat kita kaji dengan Peta
Intelektualisme dan Tema Pokok Pemikiran Gus Dur.
kehadiran
Gus Dur—panggilan akrab KH. Abdurrahman Wahid, Presiden RI Keempat dan Ketua
Umum PBNU 1984-1999 yang wafat pada 30 Desember 2009—tidak bisa
dipisahkan dari sejarah kontroversi dan kenylenehan di negeri ini, utamanya
sepanjang era Orde Baru. Semenjak kepulangan dari studinya di Mesir dan Irak
sekitar awal 1970-an, ia mulai membuat kejutan-kejutan baru. Baik lewat
tulisan-tulisannya di pelbagai media massa terkemuka saat itu, maupun
lompatan-lompatan tindakannya dari bandara tradisi habitatnya, pondok
pesantren, Gus Dur selalu menggulirkan wacana kritis ke hadapan publik—jika ia
sendiri tidak menjadi konsumsi untuk wacana publik. Pertanyaannya kemudian:
mengapa terjadi kontroversi dan mengapa dianggap nyleneh? Apakah karena faktor
Gus Dur yang memicu kontroversi ataukah karena kondisi masyarakat atau negara
yang belum siap menerima ajakan Gus Dur, sehingga menimbulkan kontroversi dan
menganggapnya nyleneh?.
Pertanyaan
ini penting dimajukan setidaknya karena dua hal. Pertama, untuk menguji
sejauhmana kualitas pemikiran Gus Dur di hadapan publik sehingga mampu membuat
kontroversi dan dianggap nyleneh. Kedua, sebaliknya, untuk menilai sejauhmana
kedewasaan masyarakat atau negara dalam menghadapi dan menerima
pemikiran-pemikiran cerdas dan tindakan-tindakan kritis yang mengagetkan di
luar mainstream. Kedua hal ini memang harus dilihat dan diketahui agar kita
bisa membaca secara jernih pemikiran atau tindakan Gus Dur, baik dari aspek
substantif maupun dari segi pengaruh sosialnya ketika hal itu dilontarkan. Dari
sini akan menjadi jelas mana dimensi ontologis dan epistemologis pemikiran Gus
Dur—yang oleh beberapa ahli filsafat ilmu bisa bebas nilai—dan mana dimensi
aksiologisnya yang tidak bisa mengabaikan sistem nilai di mana pemikiran itu
hendak diterapkan.
Pengakuan Berbagai Kalangan
Terlepas
dari debat filosofi pemikiran dan tindakannya, sebagaimana umum diketahui, jauh
sebelum jadi presiden, Gus Dur memang sering memerankan dirinya sebagai aktor
kritis terhadap negara. Perjuangannya yang gigih menegakkan demokrasi dan
pemikirannya yang di luar kebiasaan umum selalu diposisikan sebagai 'pesaing
politik' dari negara. Menjadi tak heran, kalau ia kemudian dianggap sebagai
satu-satunya kekuatan sosial politik paling independen di Indonesia sepanjang
Orde Baru. Jika Presiden Soeharto dengan kalangan tentara dan birokrasi, pada
saat itu, dianggap sayap negara (the state), maka Gus Dur dengan NU dan
kalangan pro-demokrasi adalah sayap masyarakat sipil (the civil society). Tak
ayal lagi, negara dan civil society selalu berhadapan dan bersitegang akibat
proses demokratisasi yang selalu membentur benteng otoritarianisme-birokrasi
raksasa politik Orde Baru.
Juga tak
aneh kemudian, bila komentar-komentarnya dan gerakannya selalu menghiasi
halaman-halaman media massa sebanding lurus dengan penampilan negara yang kian
hegemonik. Demikian juga keberaniannya menentang arus utama negara dan dalam
hal-hal tertentu juga arus masyarakat yang tidak sesuai dengan gagasan dan
pikirannya, serta kesetiaannya pada Islam dan nilai-nilai kebangsaan,
menjadikannya sebagai tokoh yang populer dan disegani sekaligus dimusuhi dan
dicaci-maki sepanjang hidupnya.
Walhasil,
Gus Dur menjadi the news maker dan pernah terpilih menjadi tokoh terpopuler
tiga kali: pertama, tokoh tahun 1989 oleh Surat Kabar Pikiran Rakyat; kedua,
tokoh tahun 1990 oleh Majalah Editor, dan ketiga, tokoh tahun 1999 oleh Surat
Kabar Kompas. Lebih dari itu, dia juga banyak menerima penghargaan nasional
maupun internasional, baik dalam bidang akademik maupun non-akademik.
Dalam bidang
akademik, Gus Dur banyak menerima gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari berbagai
universitas dunia ternama. Gus Dur disejajarkan dengan Soekarno sebagai ilmuwan
yang masuk ke dalam deretan orang-orang pandai di dunia. Soekarno mampu
mengantongi 24 gelar Doktor Honoris Causa (HC), Gus Dur memperoleh 10 gelar
Doktor HC. Dalam bidang non-akademik, Gus Dur, di antaranya, memperoleh
penghargaan Ramon Magsaysay Award dari Philipina (1993), Global Tolerance Award
dari Friends of the United Nations New York (2003), World Peace Prize Award
dari World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul Korea Selatan (2003),
Presiden World Headquarters on Non-Violence Peace Movement (2003), Simon
Wiethemtal Center, AS (2008), penghargaan dari Mebal Valor, AS (2008),
penghargaan Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan dari Pemerintah Mesir,
penghargaan dan kehormatan dari Temple University, Philadelphia, AS, yang
memakai namanya untuk penghargaan terhadap studi dan pengkajian kerukunan
antarumat beragama, Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Studies (2008).
Sedangkan
penghargaan nasional, di antaranya, adalah Bintang Tanda Jasa Kelas 1, Pin
Penghargaan Keluarga Berencana dari Perhimpunan Keluarga Berencana I, Bintang
Mahaputera Utama dari Presiden RI BJ Habibie. Tidak hanya semasa hidupnya
penghargaan diperoleh, setelah wafat pun penghargaan masih mengalir
diberikan kepadanya. Di antaranya adalah Universitas Mahendradatta memberikan
Mahendradatta Award A di bidang akademik (2010), Dewan Adat Papua (DAP)
menganugerahi Bapak Demokrasi Papua oleh (2010), dan LSM Charta Politika
memberikan anugerah Lifetime Achievement Charta Politika Award (2010). Julukan
Guru Bangsa dan Bapak Bangsa—bahkan Pahlawan Nasional--hampir diberikan oleh
seluruh komponen organisasi, baik dari lembaga Negara, Pemerintah, NGO’s,
maupun komunitas sosial lainnya.
Penghargaan-penghargaan
ini suatu bukti pengakuan nasional dan internasional terhadap peran dan
kontribusinya dalam proses kebangsaan Indonesia dalam mewujudkan masyarakat
demokratis, adil, dan berkeadaban.
Tokoh Muslim Terkemuka
Pada sisi
pemikiran, sejak terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidhiyyah PBNU pada tahun 1984,
Gus Dur telah menjadi salah seorang intelektual muslim Indonesia yang sangat
berpengaruh dan diperhitungkan. Hal ini bukan saja didukung oleh posisinya di
NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, melainkan
juga karena percikan-percikan pemikirannya yang progresif tentang Islam,
pluralisme, Pancasila, dan demokrasi. Douglas E Ramage1, Greg Barton2, Adam
Schwarz3, Mitsuo Nakamura4, dan Einar
M. Sitompul5, secara
umum—meskipun tersirat—sepakat menyebutnya sebagai salah seorang intelektual
Indonesia yang paling berpengaruh dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer
dengan corak pemikiran Islam yang kritis dan progresif6. Dalam
penjelasan mereka, Gus Dur pada satu sisi dipandang dan dikenal banyak orang
sebagai figur genius dan karismatik setingkat wali, namun pada sisi lain, ia
ditafsirkan oleh banyak orang, khususnya kelas menengah terdidik Indonesia,
sebagai politisi yang sekular atau sebagai intelektual liberal. Kedua posisi
inilah yang, dalam perjalanan sosial Gus Dur, menjadi kekuatan sekaligus juga
sasaran kritik dari banyak kalangan Islam sendiri.
"Kontroversial"
dan kenylenehan" menjadi fokus, karena titik-titik inilah yang telah
banyak dijelaskan para ahli pada bidangnya, yakni oleh agamawan, budayawan,
politikus, politisi, feminis, ekonom, dan ahli tasawuf. Pencatatan ini penting
dilakukan, setidak-tidaknya, sebagai pintu masuk (entry point) kita dalam
memahami Gus Dur melalui pendekatan antropologis.
Disadari,
memang tidak mudah merumuskan pokok-pokok pemikiran Gus Dur. Karena
pemikirannya tersebar ke berbagai media massa dan ditulis dalam waktu yang
berlainan secara singkat-singkat, jika tidak hanya berupa lontaran-lontaran
gagasan belaka. Kesulitan demikian diakui sendiri oleh Gus Dur ketika memulai
kata pengantarnya untuk dua buah buku bunga rampainya, Bunga Rampai Pesantren
(1978) dan Muslim di Tengah Pergumulan (1983). Dia menyadari bahwa betapa
sukarnya untuk mengumpulkan tulisan-tulisannya itu ke dalam sebuah tema atau
susunan yang utuh, bukan saja bagi pembaca tapi juga bagi dirinya sendiri.
Kata Barton,
peneliti tulisan-tulisan Gus Dur dari Australia, pengakuan Gus Dur tersebut
merupakan ekspresi dari kenyataan yang ada, bahwa kedua bukunya itu memuat
sejumlah artikel yang ditulis untuk maksud serta audiens yang berbeda. Meski
begitu, tidak berarti bahwa pemikiran-pemikiran Gus Dur tak memiliki tema pokok
yang dapat memayunginya sebagai sebuah tawaran pemikiran alternatif.
Tulisan-tulisan yang berjumlah lebih dari 500 buah itu jika dilakukan
klasifikasi dan reformulasi secukupnya kiranya bisa membuahkan satu bangunan
pemikiran yang relatif utuh. Karena itu, seperti dikatakan Barton, pengakuan
yang disampaikan Gus Dur secara terang-terangan itu sebenarnya hanyalah
ungkapan halus dari sikap rendah hatinya kepada para pembaca7. Buktinya,
secara konsisten, Gus Dur tetap berada pada mainstream paradigma pemikiran
makronya, meski dengan gaya zig-zag dalam implementasi partikularnya. Ingin
dikatakan, bahwa gaya zig-zag inilah yang sering disalahpahami dan menjadi
sasaran kontroversi di tingkat publik.
Tema-Tema
Pokok Pemikiran Gus Dur
Dari studi
bibliografis yang saya lakukan, ternyata ditemukan ada 493 buah tulisan Gus Dur
sejak awal 1970-an hingga awal tahun 2000. Kini hingga akhir hayatnya (2009)
bisa jadi telah lebih dari 600 buah tulisan Gus Dur. Karya intelektual yang
ditulis selama lebih dari dua dasa warsa itu kami klasifikasikan ke dalam
delapan bentuk tulisan, yakni tulisan dalam bentuk buku, terjemahan, kata
pengantar buku, epilog buku, antologi buku, artikel, kolom, dan makalah.
Rincian jumlah dari setiap klasifikasi tersebut sebagai berikut:
Jumlah Tulisan Gus Dur dengan Berbagai Bentuknya Tahun
1970-an hingga Tahun 2000)
No.
|
Bentuk Tulisan
|
Jumlah
|
Keterangan
|
1.
|
Buku
|
12 buku
|
Terdapat pengulangan tulisan
|
2.
|
Buku Terjemahan
|
1 buku
|
Bersama Hasyim Wahid
|
3.
|
Kata Pengantar Buku
|
20 buku
|
-
|
4.
|
Epilog Buku
|
1 buku
|
-
|
5.
|
Artikel
|
41 buku
|
-
|
6.
|
Antologi Buku
|
263 buku
|
Di berbagai majalah, surat kabar, jurnal, dan media
masa
|
7.
|
Kolom
|
105 buku
|
Di berbagai majalah
|
8.
|
Makalah
|
50 buku
|
Sebagian besar tidak dipublikasikan
|
|
493 buku
|
|
Dari tabel di atas jelaslah bahwa Gus Dur tidak
sekadar membuat pernyataan dan melakukan aksi-aksi sosial politik, kebudayaan,
dan pemberdayaan civil society belaka, melainkan juga merefleksikannya ke dalam
tulisan, baik dalam bentuk artikel, kolom, makalah, maupun kata pengantar buku,
yang sebagian tulisan tersebut belakangan diterbitkan dalam bentuk buku. Hanya
saja, karena buku-buku yang diterbitkan itu dalam bentuk bunga rampai, tanpa
ada rekonstruksi dari Gus Dur sendiri, maka kesan ketidakutuhan bangunan
pemikiran menjadi tidak bisa dihindari. Tetapi itulah barangkali cermin dari
latar intelektual Gus Dur yang bukan dari tradisi akademik "sekolah
modern" di mana setiap tulisan mesti terikat dengan suatu metodologi dan
referensi formal.
Gus Dur adalah seorang intelektual bebas (independen),
atau mungkin —meminjam istilah Antonio Gramsci— "intelektual organik"
dari tradisi akademik pesantren, sehingga tulisan-tulisannya cenderung bersifat
reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas, bahkan
senantiasa bermotifkan transformatif. Referensi formal akademis dan pengikatan
diri terhadap satu metodologi tidaklah menjadi penting, sepenting substansi
yang disampaikannya.
Sejumlah karya tulis ini membuktikan intelektualisme
Gus Dur yang kaya dengan gagasan dan pemikiran yang kreatif-transformatif dan
inovatif. Tulisan-tulisan ini juga mungkin suatu bukti bahwa gerakan atau aksi
Gus Dur tidak hampa teori atau tidak tanpa visi, yang suatu waktu bisa
terjerumus pada oportunisme dan pragmatisme politik. Ketajamannya membaca
realitas dan kekritisannya mengambil keputusan bisa dilihat dari kecenderungan
tulisan-tulisan tersebut.
Sebanding dengan waktu dan kepentingan tulisan-tulisan
tersebut dibuat, tema pembicaraan atau wacana yang dikembangkannya pun sangat
beragam dan kompleks: mengenai apa saja. Mulai dari wacana fikih praktis di
pesantren hingga wacana global "rekayasa masa depan" disinggung oleh
Gus Dur. Jenis tulisannya pun beragam. Mulai dari bentuk tulisan yang
serius-akademis hingga tulisan ringan-populer, semuanya dilakukan Gus Dur.
Namun begitu, untuk kepentingan pemahaman makro pemikiran Gus Dur, secara
simplifikasi tulisan-tulisan tersebut saya kelompokkan ke dalam tujuh tema
pokok.
Ketujuh tema pokok ini juga menandai gagasan besar
yang menjadi perhatian Gus Dur selama ini, baik melalui tulisannya maupun visi
gerakannya. Tujuh hal yang dimaksud adalah:
1.
pandangan-dunia pesantren,
2.
pribumisasi Islam,
3. keharusan
demokrasi,
4. finalitas
negara-bangsa Pancasila,
5. pluralisme
agama,
6.
humanitarianisme universal, dan
7. antropologi
kiai.
Ketujuh tema pokok ini secara umum
menjelaskan keluasan wawasan dan besarnya perhatian Gus Dur terhadap tema-tema
kontemporer yang menjadi isu global abad XX, yakni demokrasi, HAM, lingkungan
hidup, dan gender. Tema-tema pokok inilah barangkali yang melandasi seluruh
gerakan Gus Dur selama ini, baik dalam wilayah keagamaan, politik, kebudayaan,
maupun ekonomi. Semua tema tersebut, dalam banyak tulisan, dibidik Gus Dur dari
pemahaman keagamaan (Islam) melalui kekayaan intelektual dan kebudayaan
pesantren. Ini tidak lain karena pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh
dari dunia pesantren yang sangat akrab dengan budaya lokal. Lembaga inilah yang
membentuk karakter keberagamaan Gus Dur. Sementara pengembaraannya di Timur
Tengah dan di Barat telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai isu-isu mondial
yang membuat Gus Dur harus berpikir kosmopolit dan progresif.
Tema Pokok Pemikiran Gus Dur (1970-an sampai 2000)
No.
|
Bentuk Tulisan
|
Jumlah
|
Keterangan
|
1.
|
Pandangan dunia pesantren
|
70 buah
|
Termasuk tema pesantren vs modernisasi, dan
pengembangan masyarakat
|
2.
|
Pribumisasi Islam
|
43 buah
|
Termasuk tema pembaruan Islam
|
3.
|
Keharusan demokrasi
|
140 buah
|
Termasuk tema civil society dan pemberdayaan ekonomi
|
4.
|
Finalitas negara bangsa Pancasila
|
73 buah
|
Termasuk tema hubungan NU, agama dan negara
|
5.
|
Pluralisme agama
|
31 buah
|
Termasuk tema Islam toleransi dan inklusif
|
6.
|
Humanitarianisme universal
|
72 buah
|
Termasuk tema HAM, gender, dan lingkungan hidup
|
7.
|
Antropologi kiai
|
24 buah
|
Sebagian besar berbentuk kolom
|
Jika dilacak, dari segi kultural, Gus Dur memang
melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang
sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan
budaya lokal; kedua, budaya Timur Tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga,
lapisan budaya Barat yang liberal, rasional, dan sekuler. Semua lapisan
kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur membentuk
sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus
Dur. Sampai akhir hayatnya, Gus Dur senantiasa berdialog dengan semua watak
budaya tersebut. Inilah, barangkali, anasir yang menyebabkan Gus Dur selalu
kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias kontroversial.
Sementara Moeslim Abdurrahman, sahabat dekatnya,
mengibaratkan Gus Dur sebagai tokoh yang hendak membebaskan umat dari beban
sejarah politik masa lalunya, seraya menyeru agar umat Islam Indonesia mampu
menjawab beberapa persoalan mendesak, seperti kemajemukan dalam berbangsa dan
bernegara, demokratisasi, dan keadilan sosial. Di sisi lain, Gus Dur,
menurutnya, termasuk salah satu tokoh penting yang melengkapi khazanah
intelektual Islam Indonesia lewat literatur klasik. Dalam konteks inilah, ia
—bersama Nurcholish Madjid— lantas disebut sebagai kelompok neo-modernist.
Mempertimbangkan penjelasan di atas, kita kadang
menyayangkan sekali mengapa sebagian orang bisa mencapai kesimpulan bahwa
pemikiran atau tindakan Gus Dur tidak konsisten, hanya karena melihat zig-zag
politiknya yang artistik itu. Padahal tampak jelas visi dan gagasan makronya.
Hal itu bisa jadi karena mereka tidak begitu intens membaca tulisan-tulisan Gus
Dur dan tidak menangkap narasi-besar Gus Dur. Jika mereka bersedia membaca
lebih dekat tulisan-tulisan yang dihasilkan Gus Dur, maka akan terlihat
konsistensi pemikiran dan sikap Gus Dur, meski dengan cara zig-zag dan melawan
arus ke sana ke mari. Keterkaitan satu tulisan dengan tulisan lainnya itulah
yang membentuk substansi pemikiran progresif, kritis-transformatif, dari Gus
Dur.
Untuk mengetahui spektrum intelektualitas Gus Dur dari
waktu ke waktu, dan kecenderungan wacana yang dikembangkannya, lihat
periodesasi berdasarkan dekade. Dari tabel tersebut, tergambar produktivitas
tulisan Gus Dur dari periode ke periode. Secara kuantitatif, statistika tulisan
Gus Dur dari tahun ke tahun kian meningkat: dari 37 buah (1970-an) ke 189 buah
(1980-an) hingga 253 buah (1990-an). Wacana yang dikembangkannya pun tampaknya
mengikuti garis statistik ini.
Periodesasi Tulisan dan Kecenderungan Wacananya
(1970-an sampai 2000)
No.
|
Periode
|
Jumlah Tulisan
|
Kecenderungan
Wacana
|
1.
|
1970-an
|
37 buah
|
Tradisi
pesantren, modernisasi pesantren, NU, HAM, reinterpretasi ajaran,
pembangunan, demokrasi
|
2.
|
1980-an
|
189 buah
|
Dunia
pesantren, NU, ideologi negara (pancasila), pembangunan, militerisme,
pengembangan masyarkat, pribumisasi Islam, HAM, modernisme, kontekstualisasi
ajaran, partai politik
|
3.
|
1990-an
|
253 buah
|
Pembaruan
ajaran Islam, demokrasi, kepemimpinan umat, pembangunan, HAM, kebangsaan,
partai politik, gender, toleransi agama, universalisme Islam, NU, globalisasi
|
Kompleksitas
wacana yang menjadi perhatian Gus Dur menunjukkan bahwa Gus Dur adalah seorang
generalis, bukan spesialis keilmuan tertentu. Hampir setiap isu kontemporer
direspon Gus Dur. Ini mungkin berkaitan dengan posisinya sebagai pemimpin
publik dan aktivis gerakan sosial, terutama di organisasi NU. Sebagai pemimpin
berjuta-juta umat pada level nasional dan internasional (selaku Presiden WCRP)
memaksa Gus Dur untuk terlibat dalam segala urusan publik, mulai dari wacana
internal keagamaan dan ke-NU-an hingga wacana global yang menjadi trend Dunia
Ketiga.
Meski secara
kuantitatif garis statistiknya kian meningkat, namun belum tentu untuk kualitas
tulisan-tulisan tersebut. Untuk mengetahui secara pasti kualitas masing-masing
tulisan tersebut kiranya butuh penelitian khusus. Tetapi dengan asumsi bahwa
standar tulisan di jurnal ilmiah, seperti Prisma, lebih serius dan lebih bermutu
ketimbang tulisan artikel atau kolom di Majalah atau Surat Kabar Harian, maka
periode pertengahan akhir 1970-an hingga pertengahan pertama 1980-an merupakan
puncak keemasan intelektual Gus Dur. Kurun waktu inilah kiranya bisa disebut
"periode ilmiah" Gus Dur. Sepanjang tahun tersebut, Gus Dur
mencurahkan energi intelektualnya ke berbagai media massa terkemuka, seperti di
Prisma, Tempo, dan Kompas. Beberapa tulisannya juga termuat di berbagai media
massa ternama, seperti Pelita, Pesantren, Aula Horison, Pesan, dan Peninjau.
Tulisan-tulisan serius di Prisma, dan kolom-kolom kritis di Tempo, lahir pada
periode ini. Selain beberapa dalam bentuk antologi buku,10 ada dua buah buku
yang diterbitkan dalam periode ini, yaitu buku Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta:
CV Dharma Bhakti, 1978) dan buku Muslim di Tengah Pergumulan (Jakarta:
Lappenas, 1981). Dua-duanya bunga rampai dari tulisan-tulisannya tentang pondok
pesantren dan tentang Islam versus modernitas dengan berbagai pembaruannya.
Sementara
pada periode pertengahan akhir 1980-an hingga pertengahan awal 1990-an, tulisan
Gus Dur memang tersebar ke berbagai media massa dengan jangkauan lebih luas
lagi. Bukan hanya Prisma, Tempo, Kompas, Pesantren, melainkan juga di Panji
Masyarakat, Aula, Pelita, Editor, Amanah, Media Indonesia, Jawa Pos, Forum
Keadilan, dan sejenisnya. Akan tetapi, tulisan-tulisan periode ini relatif
lebih pendek dan singkat ketimbang pada periode sebelumnya. Sebagian tulisannya
diterbitkan dalam bentuk antologi.11 Sedangkan dalam bentuk bunga rampai hanya
satu, yakni Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan
Transformasi (Gakarta: RMI bekerjasama dengan Jawa Pos, 1989).
Sementara
pada periode 1990-an akhir, tulisan-tulisan Gus Dur selain dalam bentuk artikel
dan kolom di pelbagai media massa juga menulis kata pengantar untuk sejumlah
buku. Pada periode inilah tulisan-tulisan Gus Dur mulai diterbitkan dalam
bentuk buku dan antologi buku secara meluas.12 Praktis, tulisan-tulisan periode
ini, boleh dikatakan, selain memang ada inovasi baru, juga berupa pengembangan
dan reproduksi dari gagasan-gagasan besar periode sebelumnya.
Mengapa
demikian? Sebab, seperti berulang kali dikemukakan sebelumnya, Gus Dur itu
selain intelektual dan pemikir, juga seorang aktifis organisasi dan gerakan
sosial. Di sini, produktivitas tulisan Gus Dur tampaknya menunjukkan garis
berbanding terbalik dengan frekuensi aktivitas gerakan sosialnya. Ketika Gus
Dur belum menjadi Ketua Umum PBNU, Gus Dur sangat kreatif dan produktif
menulis: menghasilkan banyak karya tulis intelektual yang bermutu dan genuine.
Tulisannya tajam, kritis, dan disertai referensi yang handal. Tetapi, setelah
Gus Dur duduk di puncak kepemimpinan PBNU lebih sering terlibat di berbagai
gerakan sosial, seperti NGO's, Forum Demokrasi, WCRP, GANDI, dengan akselarasi
gerakan yang tinggi, maka produktivitas tulisan pun menurun. Tulisan-tulisan
ilmiah bermutu itu berganti dengan komentar-komentar dan statemen-statemen yang
hampir tiap hari menghiasi wacana Koran atau Majalah. Apalagi setelah nuansa
gerakan politiknya kian pekat di penghujung 1990-an, di mana Gus Dur menjadi
deklarator PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan sekarang menjadi Presiden RI
Keempat, maka tulisan-tulisan itu tampaknya akan berubah menjadi pidato-pidato
dan statemen-statemen politik saja. Demikian gambaran singkat spektrum
intelektualitas Gus Dur dan hubungannya dengan gerakan praksis sosialnya.
Dengan
pemaparan data-data karya tulis intelektual ini, tampak jelas bahwa Gus Dur
ternyata bukan hanya seorang aktifis gerakan sosial dan gerakan politik semata,
melainkan juga seorang intelektual dan pemikir cerdas yang terkemuka, sejajar
dengan pemikir-pemikir besar lainnya, baik di Indonesia maupun di kalangan
internasional. Meski ia tak pernah belajar di dunia akademik yang terdepan
dalam ilmu-ilmu sosial, tetapi dalam daftar karya intelektual Gus Dur itu jelas
terlihat kedalamannya meramu ilmu-ilmu sosial dengan pengetahuan keagamaan
kritis.
Ilmuwan
Multitalenta
Dalam
beberapa kali diskusi rutin kami di INCReS Bandung sepuluh tahun yang lalu dan
di Fahmina-institute lima tahun terakhir ini, tersirat suatu kesimpulan untuk
tidak memposisikan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke dalam kelompok-kelompok
aliran pemikiran yang ada atau ke dalam golongan-golongan ahli disiplin ilmu yang
lazim diberikan oleh perguruan tinggi kita. Bukan karena takut salah atau
latah, juga bukan karena khawatir terkena tuduhan Benedict R.O'G Anderson
tentang scholarly prejudices (prasangka ilmiah) dalam studi-studi Indonesia
yang pernah ditujukan pada para Indonesianis yang karenanya untuk beberapa
dasawarsa wacana Nahdlatul Ulama (NU) seolah menjadi tak terpikirkan
(unthought-of).
Akan tetapi
memang terdapat sejumlah keberatan untuk memposisikan Gus Dur dalam satu segi
disiplin ilmu saja. Selain karena tak cukup dukungan ilmiah yang kuat dan
meyakinkan, juga secara relatif Gus Dur bisa masuk ke dalam semua kategori dan
golongan-golongan yang telah dibuat orang. Lebih dari itu, Gus Dur bisa berada
di luar semua kategori-kategori positivistik itu (beyond the categories of
positivism).
Membaca
kembali secara cermat tulisan-tulisan Gus Dur sejak tahun 1970-an hingga
sekarang, baik yang sudah dibukukan belakangan maupun yang masih manuskrip,
terasa ada nuansa reflektif yang mendalam untuk beberapa cabang disiplin ilmu.
Tak tampak bahwa dia pakar dalam satu disiplin ilmu secara penuh, juga tidak
tepat apabila Gus Dur diposisikan secara eksesif bahwa ia tidak menguasai satu
bidang keilmuanpun. Tulisan-tulisan Gus Dur yang berjumlah lebih dari 500 judul
itu tampak menyediakan banyak hal untuk banyak objek kajian, tapi tak satu pun
dari kajian itu yang tuntas hingga ke akar-akarnya, kecuali jika direkonstruksi
ke dalam satu wacana yang utuh. Tulisan-tulisan itu memang kompleks dan secara
materi boleh dikata komprehensif, menarik, tajam, dan selalu mengandung
gagasan-gagasan cerdas, tetapi tetap saja masih menyisakan ruang untuk bertanya
akibat penulisannya yang singkat dan kadang terkait dengan peristiwa atau
wacana yang ngetren saat itu.
Akan tetapi
sebagai penggagas dan pemikir, Gus Dur sangat maju dan kreatif melontarkan
hal-hal baru, semaju dan kreatifnya dalam memperjuangkan liku-liku demokrasi di
Indonesia. Jika diibaratkan suatu hidangan dalam suatu pesta, maka Gus Dur
adalah seorang koki yang serba bisa masak berbagai jenis makanan dan mampu
menyediakannya ke dalam pesta itu secara menarik; di dalam setiap masaknya,
koki itu kerap menemukan ramuan masakan terbaru yang belum ada sebelumnya,
tetapi —entah kenapa— ramuan terbaru itu tak pernah dimasaknya hingga selesai.
Walhasil,
secara kelakar —meniru catatan harian Ahmad Wahib— dapat dikatakan bahwa "Gus Dur bukanlah seorang sosiolog,
bukan seorang politikus, bukan seorang politisi, bukan seorang seniman, bukan
seorang budayawan, bukan seorang agamawan, bukan seorang feminis, dan juga
bukan seorang pemikir, tapi Gus Dur adalah semuanya". Lebih dari itu, Gus
Dur juga seorang humoris. Sebagai budayawan, agamawan, politikus, atau apa
saja namanya, orang segera memahami Gus Dur, tapi untuk status yang terakhir
ini ada penjelasan kecil dari Gus Dur. Lewat tulisan kolomnya "Melawan
Melalui Lelucon" di Tempo tahun 1981, Gus Dur menyatakan "Lelucon,
dan bentuk-bentuk humor lain, memang tidak dapat mengubah keadaan atas 'tenaga sendiri',
sebagaimana juga ideologi-ideologi besar tidak mampu melakukan hal itu
sendirian. Namun, lelucon yang kreatif tetapi kritis akan merupakan bagian yang
tidak boleh tidak harus diberi tempat dalam tradisi perlawanan kultural suatu
bangsa, kalau bangsa itu sendiri tidak ingin kehilangan kehidupan waras dan
sikap berimbang dalam menghadapi kenyataan pahit dalam lingkup sangat luas.
Dera kepahitan dalam jangka panjang tidak mustahil akan ditundukkan oleh
kesegaran humor."
Kelakar
model ini menemukan pembenarannya ketika dihubung-hubungkan dengan gerakan dan
manuver-manuvernya, baik sebelum maupun saat dan setelah menjadi Presiden RI
Keempat. Jika hanya dilihat dari satu perspektif saja, manuver dan gerakan itu
selalu mengundang kontroversi dan kenylenehan-kenylenehan yang berarti.
Kontroversi ini tidak saja dirasakan oleh kalangan NU, melainkan juga oleh
mereka yang sering disebut dengan berbagai julukan akademis itu. Ini tidak lain
karena Gus Dur selalu menampilkan peran yang multidimensi dengan multistatus di
alam kehidupan ini sekaligus.
Oleh karena
itu, kami setuju dengan Hairus Salim HS dan Nuruddin Amin, dua peneliti muda
kreatif NU yang lahir dari rahim LKiS Yogyakarta, bahwa untuk memahami sosok
Gus Dur secara utuh harus dilakukan oleh banyak pengamat dari banyak jalur
disiplin. Periodesasi juga penting dilakukan untuk mengetahui masa-masa yang
paling menentukan bagi formasi intelektualitas Gus Dur.
Dasawarsa
1970-an hingga 1980-an awal, jika kita mau membagi-bagi secara periodik, di
mana Gus Dur sangat kreatif menulis, bisa disebut sebagai
"periode-ilmiah" Gus Dur. Yakni ketika Gus Dur lagi gandrung dengan
penggunaan metodologi ilmu sosial —terutama antropologi— untuk menjelaskan
'ideologi'nya. Pada periode ini, pemikiran dan gerakan Gus Dur terfokus pada
persoalan sosial, budaya, politik, dan keagamaan yang langsung berkaitan dengan
pergolakan dunia pesantren. Sementara akhir dasawarsa 1980-an hingga 1990-an
awal adalah periode sepak terjang politik Gus Dur dan munculnya ide-ide Gus Dur
yang berkaitan dengan demokrasi, pluralisme agama, humanitarianisme, kebebasan
berpendapat, pribumisasi Islam, dan lain-lain, yang bisa dianggap sebagai
praksis dari pelbagai pemikiran yang dilontarkannya sekitar satu dasawarsa
silam.
Belakangan,
1990-an akhir, Gus Dur lebih tampak sebagai politisi yang ikut terlibat dalam
gonjang-ganjing politik dalam negeri. Lebih-lebih setelah dirinya dipilih MPR
sebagai Presiden RI Keempat, menggantikan BJ Habibie, pada 20 Oktober 1999.
Meski sebagai politisi, tetapi Gus Dur tetap menjadi budayawan yang manuver dan
pernyataannya membuat dunia politik menjadi dunia seni, yang tidak sakral,
tidak hitam-putih, dan tidak menang-menangan. Itu sumbangan terbesar Gus Dur
kepada praksis politik kita.
Sejalan
dengan berkurangnya produktivitas tulisannya, pernyataan dan manuvernya kian
nyleneh dan kontroversial, yang oleh sebagian orang sulit dipahami dengan
ukuran rasionalisme dan logika-logika positivistik. Begitulah seni dan
menariknya: Gus Dur bukan lagi koki, ia malah hidangan pesta itu sendiri, di mana
setiap orang bisa datang ke pesta itu dan bisa menikmati setiap jenis makanan
sesuai selera. Greg Barton, Greg Fealy, Douglas E Ramage, Al-Zastrouw Ng, Arief
Affandi, Ellyasa K.H. Dharwis, Dedy Djamaluddin Malik & Idi Subandy
Ibrahim, Laode Ida & A Thantowi Jauhari, Ahmad Bahar, Ma'mun Murod
al-Barabasy, dan Saeful Arief, melalui bukunya masing-masing adalah sedikit
orang yang mampu menikmati hidangan itu. Bagi orang yang tidak memahami
kosmologi dan antropologi Gus Dur tampak tak dapat menikmati, bahkan enggan
mencicipi.
Itulah
sebagian sosok Gus Dur, beyond the positivism. Penampilannya di wilayah publik
selalu mengundang polemik: kritik dan apresiasi. Pemikiran, gagasan, dan
perilakunya tidak mudah begitu saja dipahami. "Sulit memahami Gus
Dur". Pernyataan ini biasanya terdengar dari orang-orang yang kebingungan
membaca berbagai pernyataan Gus Dur. Para pengamat politik yang menganalisis
pernyataan Gus Dur hanya dengan kerangka teori tertentu pasti tak mudah segera
memahaminya. Membaca Gus Dur dengan paradigma positivistik diduga kuat akan
gagal memberikan penjelasan yang sebenarnya.
Pernah ada
pada tahun 1999, seorang pengamat politik muda yang marah-marah dengan
(memaksa) melarang pers memberitakan manuver Gus Dur karena dianggap
irrasional. Sinyalemen pun muncul —entah ngejek atau memuji— untuk menandai
manuvernya, bahwa Gus Dur merupakan tambahan baru dari tiga rahasia Tuhan yang
pernah disitir Nabi SAW. Tak seorang pun akan bisa mengetahui kecuali Allah SWT
tentang: kematian, rizki, jodoh, dan Gus Dur.
3.
Informasi
Media
Seperti
pemberitaan berbagai media massa, di penghujung tahun 2009 lalu, bangsa
Indonesia telah kehilangan mantan Presiden Republik Indonesia periode 1999-2001,
K.H. Abdurrahman Wahid, lebih akrab dipanggil GusDur, seorang tokoh nasionalis
yang humanis dan humoris. Dari pemaparan media massa cetak maupun elektronika,
dapat disimak bagaimana kiprah GusDur sebagai bapak bangsa, saat memimpin
negara ataupun ketika membesarkan organisasi keumatan. Ada beberapa teladan
utama, menurut opini pribadi, yang terkesan tampak secara personal, dari kisah biografi GusDur sebagai panutan bangsa.
1.
Hargai dan Hormati Setiap Perbedaan
Ketika
jaman pra reformasi, kebebasan berekspresi dalam kemajemukan adat, tradisi,
ras, etnis, agama, agak terkekang pelaksanaannya, maka pada era GusDur semua
itu difasilitasi dengan mudah. Beliau selalu mengingatkan pentingnya saling
menghargai dan menghormati suasana perbedaan pruralisme (kemajemukan)
yang terdapat dalam lingkungan pergaulan bangsa. Sebagaimana spirit semboyan
bangsa Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap dalam satu
kesatuan bangsa.
2.
Jangan Menyerah Pada Keadaan dan Keterbatasan
Teladan
semangat GusDur, turut berpartisipasi aktif dalam kancah dunia politik sampai
mengantarkannya menjadi kepala negara, ditengah keterbatasan fisik yang
dialaminya, merupakan rekor spesial dalam sejarah bangsa. Berarti, segala
sesuatunya mungkin saja terjadi, bukan karena faktor kebetulan. Semuanya
membutuhkan semangat, kerja keras, pantang mundur, untuk tidak menyerah pada keadaan
dan tidak menyalahkan keterbatasan.
3.
Katakan Sesuatu dengan Santai Penuh Humor
Penampilan
GusDur yang bersahaja, bersahabat, dan berbicara santai apa adanya, telah
banyak memberikan inspirasi bagi berbagai pihak. Dalam setiap pertemuan
formal ataupun informal, Gus Dur selalu menyempatkan diri menyelipkan
selingan kata-kata humor, sehingga bisa mencairkan suasana yang kaku menjadi
rileks.
C.
Analisis
penulis
Dari berbagai literatur dan data
statistik saya berpendapat Gus Dur tidak hanya bermain cantik dan lihai dalam
berpolitik tapi seorang komunikator yang suskses meyedot komunikan untuk
menafsirkan berbagai pernyataan dan tingkah polahnya.
Tanpa mengindahkan pencitraaan
dengan tampil apa adanya, Gus Dur berhasil menggiring komunikan memaknai pesan
darinya. Sikap luwes dan rileks Gus Dur tidak saja mencairkan ketegangan para
politikus para lawan politiknya, tapi menjadi ketakutan sendiri bagi lawan
politiknya.
Gus Dur telah berhasil menjadi
sosok komunikator politik yang berhasil menampilkan warna baru dalam berpolitik
yaitu politik humanis.
PENUTUP
Kesimpulan
dan Saran
Pesan komunikasi politik Gus Dur dalam Gerakan Demokrasi Di Indonesia pada
kalangan Nahdliyin di Samarinda dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu:
(a) pesan kemanusiaan. (b) pesan
keadilan dalam pluralitas masyarakat. (c) pesan kebudayaan dalam pluralitas
masyarakat, dan (d) pesan progrevitas pemikiran ke-Islam-an..
ada beberapa sebab yang mengakibatkan
komunikasi politik humor Gus Dur menjadi agak kondusif dan memasuki relung
pemerintahan dan lolos dari sekat-sekat protokoler. Pertama, humor politik Gus
Dur diawali oleh tipe kepribadian yang memang sudah cukup mengakar di dalam
pribadi Gus Dur, bahkan sebetulnya lingkungan pondok pesantren merupakan
lingkungan yang sarat dengan anekdot dan lelucon. Di samping tentu saja Gus Dur
sendiri yang suka humor.
Kedua yang cukup signifikan
barangkali adalah implikasi kultur kiai dan pesantren. Model struktur pesantren
yang sentralistik dan kultus terhadap otoritas keluarga, menjadi split terbesar
kultur NU. Sentralisasi kiai di mata santri begitu sempurna menegasikan
aspirasi-aspirasi kelas bawah (santri) terhadap kebijakan kiai dengan paradigma
tradisi kewalian kiai. Implikasi sistemiknya adalah komunikasi yang muncul
berada dalam skala yang instruktif, monologis dan bukan dialogis transformatif.
Kondisi inilah yang memberikan lahan yang cukup subur untuk tumbuhnya tradisi
lelucon di kalangan santri.
Ketiga, secara politis Gus Dur
menerima rangkaian tekanan dari berbagai pihak sehingga intensitas ketegangan
politik terhadap pribadi Gus Dur atau atas nama presiden cukup tinggi seiring
dengan persoalan yang melanda di negeri ini. Maka otomatis harus ada wahana
penyalur ketegangan lain sehingga Gus Dur bisa memiliki rasa enjoy, rileks dan
santai. Nah kebetulan humor dan lelucon inilah yang menjadi pilihan utamanya.
Keempat, intensitas tuntutan
(agregasi kepentingan) dalam hierarki kekuasaan mengacu pada masa euforia
kebebasan yang kita tidak tahu kapan akan berakhir. Euforia politik ini
mengakibatkan tuntutan rakyat dan publik terhadap pemerintah/penguasa sangat
tajam, sehingga pada prinsipnya publik memiliki kekuatan yang seimbang dengan
penguasa. Keseimbangan politik ini jelas mengakibatkan kebijakan politik
menjadi tidak stabil dalam pelaksanaan pemerintahan, konsekuensi logisnya
pemerintah yang harus menjadi bulan-bulanan publik. Hal yang paling menonjol
saat ini adalah protes dan gugatan rakyat kepada pemerintah cenderung
diikuti dengan intensifnya tekanan melalui aksi–aksi massa yang cenderung
progresif. Yang lucu mungkin adalah publik tidak terlalu tertarik lagi dengan
humor politik bawah tanah dan tinggal ikut tertawa terhadap humor politik yang
disajikan oleh politikus sendiri.
Kelima dalam etika politik memang
tidak ada yang bisa membatasi humor, karena barangkali lontaran Gus Dur di satu
pihak membuat orang tidak suka dan kemudian timbul tuntutan untuk mencabut
kata-katanya. Pasti dengan enteng Gus Dur mengatakan, “Cabut ya cabut gitu aja
kok repot.“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar