Minggu, 02 Oktober 2011

Gusdur dan Politiknya


PENDAHULUAN
Komunikasi politik merupakan aktivitas yang tidak terpisahkan dari keseharian manusia di berbagai bidang. Dalam aktivitas politik, komunikasi memainkan peran yang dominan. Mengutip pendapat Redi Panuju (1997), apabila politik diartikan sebagai gejala manusia dalam rangka mengatur hidup bersama, maka esensi politik sebenarnya juga komunikasi. Komunikasi adalah hubungan antar manusia dalam rangka mencapai saling pengertian (mutual understanding). Dengan demikian, komunikasi sebagai proses politik, dapat diartikan sebagai gejala-gejala yang menyangkut pembentukan kesepakatan. Misalnya, kesepakatan menyangkut bagaimana pembagian sumberdaya kekuasaan atau bagaimana kesepakatan tersebut dibuat.Gabriel Almond berpendapat, bahwa komunikasi politik merupakan salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik, dalam kalimat Almond (1960) sendiri :
All of the functions performed in the political system-political sosialization and recrutment, interest articulations, interest aggregations, rule making, rule applications, and rule adjudication- are performed by means of communications.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa komunikasi politik bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya dijalankan. Keenam fungsi tersebut adalah sosialisasi dan rekrutmen politik, perumusan kepentingan, penggabungan kepentingan, pembuatan aturan, penerapan aturan dan keputusan aturan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inheren di dalam setiap fungsi sistem politik.
Secara harpiah, komunikasi (communication) berasal dari kata latin communis yang berarti “sama” (William Gordon, 1978) atau communicare yang berarti membuat sama atau to make common (Judy Person, 1979). Definisi komunikasi secara sederhana mengacu pada pengalihan informasi untuk memperoleh tanggapan atau saling berbagi informasi, gagasan dan sikap (Wilbur Schramm,1974) . Sementara definisi politik mengacu pada pendapat Deliar Noer, sebagai aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat.

A.           Pengertian politik humanis
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.
Humanisme adalah sebuah gerakan filsafat dan literatur yang bermula dari Italia pada paruh kedua abad ke-14 kemudian menjalar ke negara-negara Eropa lainnya. Gerakan ini menjadi salah satu faktor munculnya peradaban baru. Humanisme adalah paham filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai kriteria segala sesuatu. Dengan kata lain, humanisme menjadikan tabiat manusia beserta batas-batas dan kecenderungan alamiah manusia sebagai obyek.
Pada arti awalnya, humanisme merupakan sebuah konsep monumental yang menjadi aspek fundamental bagi Renaisans, yaitu aspek yang di jadikan para pemikir sebagai pegangan untuk mempelajari kesempurnaan manusia di alam natural dan di dalam sejarah sekaligus meriset interpretasi manusia tentang ini. Istilah humanisme dalam pengertian ini adalah derivat dari kata-kata humanitas yang pada zaman Cicero dan Varro berarti pengajaran masalah-masalah yang oleh orang-orang Yunani disebut paidea yang berarti kebudayaan. Pada zaman Yunani kuno pendidikan dilakukan sebagai seni-seni bebas, dan ketentuan ini dipandang layak hanya untuk manusia karena manusia berbeda dengan semua binatang.
Kaum humanis bertekad untuk mengembalikan kepada manusia spirit yang pernah dimiliki manusia pada era klasik dan kemudian musnah pada zaman pertengahan. Spirit itu tak lain ialah spirit kebebasan yang telah menjustifikasi klaim-klaim mengenai otonomi manusia dan yang telah merestui manusia untuk mencari kemampuan membuat alam natural dan sejarah sebagai wilayah kekuasaannya serta menguasainya tatkala manusia melihat dirinya dibuat tak berdaya oleh faktor alam dan sejarah.
Humanisme yang kembali kepada era klasik bukan berarti mereformasi era klasik, melainkan bertujuan menghidupkan dan mengembangkan potensi dan kemampuan yang pernah dimiliki dan dikerahkan oleh orang-orang terdahulu.
·               Politik humanis
Politik hanya dimaknai sebagai instrumen dalam memuluskan tujuan atau kepentingan. Sehingga yang ada segala cara dilakukan, baik itu cara yang baik maupun tidak baik.
 Rakyat sudah muak dengan segala tingkah laku politisi kita yang melepaskan prinsip-prinsip humanis. prinsip-prinsip humanis tersebut yaitu prinsip keadilan, persamaan, dan kebebasan.
Prinsip keadilan meniscayakan adanya tegaknya keadilanbagi semua.  Keadilan yang tidak memandang kelas, baik itu orang kaya maupun miskin, dan lain sebagainya.
Prinsip persamaan merupakan sebuah implikasi dari tegaknya keadilan. Dalam politik humanis setiap orang berhak memperoleh persamaan hak. Kewajiban umum, dan kesempatan. Setiap orang berhak memperoleh hak yang sama, termasuk penegakan hukum.
Prinsip kebebasan merupakan konsekuensi logis dari tegaknya keadilan dan persamaan. Setiap orang memiliki kebebasan dalam berekspresi, bertindak, dan menganut agama tertentu. Artinya, setiap orang memiliki kemerdekaan individu, tetapi tidak boleh merenggut kemerdekaan individu-individu lain.
Ketiga prinsip tersebut berjalan integral dan koheren, dan sekali lagi saya katakan menjadi kebutuhan setiap orang. Oleh karena itu setiap orang hendaknya menjunjung tinggi politik humanis (keadilan, persamaan, dan kebebasan). Sebagai harapan terealisasinya politik humanis rakyat menjadi bahagia, makmur, dan sejahtera dalam menjalankan aktifitas sehari-harinya

B.           Pengertian politik humanis menurut ilmuan
Erik Fromm mencoba memaparkan bagaimana membangun sebuah komunitas mondial yang berbobot humanistik. Di dalamnya ia berupaya meyakinkan pembaca bahwa kualitas kehidupan sosial bukan pada uang, bukan pada kekuasaan, bukan pula pada bangkitnya naluri-naluri kebinatangan yang berintikan pada sikap agresif dan destruktif dalam praksis, melainkan pada basis kesadaran akan membangkitkan dan menghargai sisi mendasar kemanusiaan. Seyogianya sebagai bagian dari kehidupan manusia Erik Fromm melihat politik juga perlu dibangun atas fundasi nilai- nilai kemanusiaan itu.
Naluri Kebinatangan
Namun Fromm melihat yang berlaku dalam politik adalah antitesis dari humanisme itu sendiri. Karena de facto yang mengejawantah dalam sejarah dunia politik justru eliminasi dan penghancuran terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Yang hidup adalah naluri kebinatangan.
Fromm memetakan pada umumnya tiga naluri kebinatangan yang menghantui para politisi. Pertama, naluri necrophilia. Naluri ini selalu mengedepankan upaya penghancuran terhadap orang lain (baca: pihak lawan). Dasar dari sikap ini adalah permusuhan.
Dalam politik, Fromm melihat justru naluri ini menguasai politisi. Mereka saling sikat dan sikut. Pihak yang berseberangan dengannya tidak dilihat sebagai bagian dari dirinya. Mereka justru dianggap musuh yang harus dihancurkan. Mereka tidak boleh eksis. Yang bisa eksis hanya dirinya. Karena itulah segala macam cara yang dipakai politisi untuk menyingkirkan lawannya.
Kedua, agresi destruktif-sadistis. Sikap ini terkait dengan yang pertama. Kepuasan dari seorang nekrophiliis terletak pada kehancuran pihak lain secara terus-menerus. Dengan demikian semakin pihak lawan tersiksa karena agresivitasnya, semakin tinggilah kepuasan yang dirasakan oleh politisi itu sendiri. Di sini tidak ada pertimbangan rasional. Yang mendominasi adalah naluri kebinatangan.
Ketiga, semangat memiliki. Bagi Fromm bercokolnya naluri necrophilia dan naluri agresif destruktif dan sadistis dalam diri para politisi bersumber pada penghayatan modus kehidupan "memiliki". Modus ini justru berintikan pada keyakinan bahwa segala hal diukur dari hak milik pribadi. Opsi politisi di sini adalah bagaimana memperoleh harta milik yang berlimpah dan bagaimana mempertahankan apa yang telah dimiliki itu sepanjang hayatnya.
Karena itu partisipasi orang tidak diberikan ruang gerak yang luas, karena partisipasi itu akan membuatnya kehilangan kepemilikan. Kesadaran bahwa pentingnya nilai pribadi tereliminasi di sini. Yang eksis justru harta kekayaan. Karena modus ini pula, Fromm melihat para politisi melakukan segala macam cara untuk mempertahankan miliknya, termasuk kekuasaannya. Sebenarnya menurut Fromm yang ingin dipertahankan adalah hak milik privat itu.




PEMBAHASAN
A.                     Pendekatan Teoritis
1.                       Menurut  Al-Qur’an dan Hadist
Konsep Politik dalam Islam.
Kalau al-Qur’an, al-Sunnah dan sejarah  yang telah diukir  oleh umat Islam sepanjang masa  dikaji secara kritis dan mendalam, maka akan dapat dilihat bahwa Islam sesungguhnya bersifat pasti dan meyakinkan dalam semua prinsip umum yang selalu sesuai  setiap saat dan tempat.
 Karenanya, kalau prinsip-prinsip tersebut dijalankan maka setiap orang akan merasakan  kelenturan syari’at dan kecenderungannya kepada penalaran  yang bebas, termasuk dalam bidang politik.  Dengan demikian dapatlah dilihat bahwa  kalaupun secara tegas masalah politik ini tidak disebutkan dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, namun dari isyarat-isyarat  dan prinsip-prinsip yang dikandungnya, sesungguhnya telah cukup untuk mengatakan bahwa  Islam mengatur masalah politik secara umum.
Islam tidak hanya mengatur ketentuan akidah keagamaan atau ketentuan moral dan  etika saja, akan tetapi Islam juga membawa  syari’at yang jelas dalam rangka mengatur manusia, prilakunya dan hubungannya satu dengan yang lain  dalam segala aspek, baik  bersifat individu, keluarga, hubungan individu dengan masyarakat dan hubungan-hubungan yang lebih luas lagi.
.Berdasarkan  kenyataan ini, sebenarnya Islam telah membawa ketentuan syari’at yang menjadi tuntutan otomatis bagi kepentingan terwujudnya  suatu umat dan negara berdasarkan prinsip-prinsip yang rasional dan memenui kebutuhan masyaraka.
          Namun demikian untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diketengahkan  alasan-alasan  tentang keharusan adanya  negara, sebagai berikut:
1.  Bahwa al-Qur’an itu memuat hukum-hukum yang menghendaki suatu kekuatan yang dapat menjamin  terwujudnya dan diberlakukannya hukum-hukum tersebut. Karena ini menyangkut kepentiangan umum dan ketertiban  wilayah yang kalau tidak ada suatu kekuatan yang mengatur dan mempunyai wewenang memaksa, maka ketenteraman tidak akan terwujud.  Dalam masalah ini imam Khumaini  pernah mengatakan: bahwa supaya hukum itu sanggup menjamin kebaikan dan kebahagiaan manusia, diperlukan adanya kekuatan eksekutif  atau pelaksana. Dan bahkan dia  mengatakan  bahwa siapa  saja yang  berpendapat bahwa pembentukan pemerintahan Islam tidak lagi diperlukan, maka secara tidak langsung ia telah menolak perlunya menjalankan hukum dan syari`at Islam, menolak universalitas dan keluasan hukum Islam.
2. Nabi Muhammad saw. sendiri pernah bersabda:
لا يحل لثلا ثة يكو ن بفلا ت من الارض الا امروا عليهم احد هم
Tidak boleh ada tiga orang yang berada di suatu tempat di atas bumi ini, kecuali dijadikannya salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.
Ibnu Taimiyah dalam mengomentari hadis ini mengatakan: bahwa Nabi Muhammad saw. mewajibkan  adanya pimpinan dalam perkumpulan kecil pada sebuah perjelanan ini, hakekatnya adalah megingatkan kepada semua perkumpulan. Lebih-lebih perkumpulan orang dalam wilayah yang luas (negara), tentu adanya seorang pemimpin itu  mutlak diperlukan.
3. Aktifitas Nabi Muhammad saw. sendiri; yakni bahwa Nabi Muhammad saw. ternyata telah mendirikan negara Madinah.  Kenyataan ini tidak hanya diakui oleh  umat Islam sendiri, tetapi juga oleh orang non Islam.  Misalnya Dr. Firt Gerald pernah mengatakan Bahwa Islam bukanlah sekedar agama, melainkan juga sebuah tatanan politik, sekalipun pada saat-saat terakhir ini ada beberapa oknum muslim yang menamakan dirinya sebagai kaum modernis berusaha untuk memisahkan antara  agama dan tatanan politik.  Namun konsep Islam yang sebenarnya ternyata seluruhnya dibangun di atas kedua prinsip yang saling berkaitan, sehingga tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. C.A. Nollino juga pernah mengatakan bahwa  pada saat yang sama, Muhammad sekaligus memberikan agama dan negara.  Sedangkan peraturan-peraturan  negaranya selalu tepat sepanjang  hidupnya.
4. Aktifitas para sahabat setelah  Nabi Muhammad saw. wafat, membuktikan responsi mereka terhadap pentingnya arti negara untuk menjamin terlaksananya hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya.
5. Para ulama sejak tumbuhnya Islam hingga kini selalu memasukkan hal negara (kepemimpinan) dalam buku-buku fiqh mereka.  Bahkan Ibnu Hazm mengklaim bahwa seluruh Ahli Sunnah, golongan Murji’ah, Syi’ah dan Khawarij telah sepakat tentang wajibnya mendirikan  negara (imamah).
          Dengan demikian jelas, bahwa Islam secara  keseluruhan memang menghendaki hadirnya negara  sebagai sarana untuk mewujudkan  pelaksanaan hukum-hukum Tuhan,
Humanisme (kemanusiaan), dalam kamus umum diartikan sebagai “sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural manapun”.
Definisi paling jelas tentang Humanisme ini dikemukakan oleh Corliss Lamont yang menyatakan bahwa humanisme meyakini bahwa alam merupakan jumlah total dari realitas, bahwa materi-energi dan bukan pikiran yang merupakan bahan pembentuk alam semesta, dan bahwa entitas supernatural sama sekali tidak ada.
Dari definisi humanisme di atas, nampak sekali para humanis menganggap bahwa manusia adalah segala pusat aktifitas dengan meninggalkan peran Tuhan dalam kehidupannya. Hal ini berbeda dengan Islam yang meyakini ada kekuatan lain pada diri manusia yaitu pencipta alam ini.
Dalam Islam, yang dimaksud dengan humanisme adalah memanusiakan manusia sesuai dengan tugas sebagai khalifah Allah di atas bumi. Dalam menyebutkan manusia ini Al-Qur'an menggunakan empat term yang memiliki arti yang berbeda sesuai dengan konteks yang dimaksud Al-Qur'an, antara lain :
1.    Basyar (البشر), digunakan untuk menjelaskan bahwa manusia merupakan makhluk biologis. Sebagaimana tertuang dalam surat Ali Imron ayat 47 yang menjelaskan tentang kekuasaan Allah yang telah menjadikan maryam memiliki anak sementara tidak ada seorangpun yang mempergaulinya.
2.    Al-Nas (الناس), untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk sosial, seperti dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal mengenal.
3.    Bani Adam (بني آدم), untuk menunjukkan bahwa manusia itu sebagai makhluk rasional, seperti di dalam surat al-Isra ayat 70 yang menjelaskan bahwa Allah akan memuliakan manusia dan memberikan sarana dan prasarana baik di darat maupun di lautan. Ini menunjukkan bahwa manusia berpotensi melalui akalnya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
4.    Al-Insan (الإنسان), untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk spiritual. Seperti dalam surat Al-Dzariyat ayat 56, yang menjelaskan bahwa manusia dan jin diciptakan oleh Allah tidak lain hanyalah untuk menyembah kepada-Nya.
2.             Menurut pendapat ilmuan




B.           Pendekatan praktis
1.             Fakta sosial politik  Gus Dur
a)            Pemikiran politik Gus Dur
Pada dasarnya, gagasan besar Abdurrahman Wahid dalam komunikasi politik lebih diletakkan pada upaya membangun pemikiran liberal mengenai agama, negara dan masyarakat. Gagasan-gagasan liberal terhadap persoalan tersebut merupakan konsekuensi logis dipilihnya paradigma liberal dalam memberikan penafsirannya atas wacana-wacana yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam merespon derasnya arus modernitas, Abdurrahman Wahid lebih banyak bersikap positif dan fleksibel. Bagi Abdurrahman Wahid, watak pluralistik dan multi-kommunal masyarakat Indonesia modern harus dihormati dan dipertahankan dari kecenderungan-kecenderungan sektarianistik. Fakta pada hampir semua realitas kekerasan yang terjadi di negeri ini lebih menonjolkan dimensi sektarian yang anti pluralitas.
Salah satu yang menonjol dari pemikiran Abdurrahman Wahid adalah kemampuannya untuk mengombinasikan apa yang terbaik di dalam nilai-nilai modernitas dan komitmennya terhadap rasionalitas dan keulamaan maupun kebudayaan tradisional.
Liberalisasi pemikiran Abdurrahman Wahid dapat terlihat secara jelas dalam berbagai bentuk gagasan besarnya, yang dianggap oleh banyak pengamat keluar dari jalur kelaziman, utamanya dari logika arus mainstream yang berkembang pada zamannya. Tidak berlebihan bila Hakim (1993:86) mengatakan bahwa cara untuk memahami pemikiran Abdurrahman Wahid adalah dengan tiga kata kunci, yaitu liberalisme, demokrasi dan universalisme.
a.    Universalitas  Nilai-Nilai kemanusiaan
Salah satu pemikiran Abdurrahman Wahid yang (paling) menonjol adalah komitmennya untuk mengeluarkan gagasan tentang perlunya ditegakkan kemanusiaan dalam masyarakat. Hal ini sebenarnya tampak dalam kesukannya pada musik, utamanya pada musik yang berisikan nilai-nilai perdamaian dan persaudaraan manusia.
Terlepas dari kegemaran tersebut, pandangan Abdurrahman Wahid tentang nilai kemanusiaan adalah penting untuk dikedepankan. Dalam keseluruhan konstelasi pemikiran Abdurrahman Wahid, pandangan tentang nilai ini telah menjadi titik tolak dalam menelusuri alur atau paradigma pemikirannya. Baginya, penghayatan atas nilai-nilai kemanusiaan adalah inti dari ajaran agama. Tanpa nilai-nilai tersebut, dunia hanya dipenuhi oleh berbagai bentuk kekerasan dan konflik sosial.  
b.    Makna Keadilan dalam Pluralitas  Masyarakat
Abdurrahman Wahid, di samping terkenal dengan konsep humanisme universalnya, ia juga berusaha untuk mengedepankan nilai-nilai keadilan sosial di tengah masyarakat plural. Keadilan harus ditegakkan tanpa memandang etnisitas dan agama. Prinsip ini seolah sebagai kelanjutan dari visi humanisme yang dikembangkannya yang bersifat universal tanpa memandang sekat-sekat agama.
Abdurrahman Wahid sangat menginginkan dijunjung tingginya nilai dasar dalam membangun masyarakat, yaitu keadilan, persamaan dan demokrasi. Upaya menjunjung tinggi dasar tersebut adalah meninggalkan formalisasi agama di tengah-tengah masyarakat plural, sebagaimana yang terjadi di indonesia. Baginya, masyarakat seharusnya dirangsang untuk tidak terlalu memikirkan manifestasi simbolik dari agama dalam kehidupan, akan tetapi lebih mementingkan esensinya. Keadilan, baginya, adalah milik semua agama, dan harus ditegakkan oleh umat beragama.

c.     Makna Kebudayaan dalam Pluralitas Masyarakat
Persoalan lain yang menjadi perhatian utama dalam pemikiran Gus Dur adalah perihal hubungan agama dan kebudayaan. Sebagaimana hubungan agama dan negara yang masih problematik, bagi Gus Dur dalam konteks ke-Indonesia-an, hubungan antara agama, negara, dan kebudayaan ternyata masih juga memunculkan masalah serius.
Pemikiran tentang relasi agama, negara dan kebudayaan merupakan salah satu perhatian utama pemikiran dan aksi politik Gus Dur, yang sama besarnya dengan persoalan lain. Berbagai problem kebudayaan yang seringkali hadir dalam realitas masyarakat selalu membuatnya gelisah, apalagi ketika problem tersebut dibenturkan dengan keyakinan agama serta diletakkan dalam rangka uniformitas kebudayaan.
Gus Dur memiliki suatu pandangan bahwa kebudayaan sebuah bangsa pada hakikatnya adalah kenyataan yang majemuk dan pluralistik. Penyeragaman atau sentralisasi kebudayaan (sebagaiman yang telah dipraktekkan oleh negara) merupakan suatu tindakan yang dianggapnya tidak berbudaya (Santoso :2004:118). Karenanya, sebuah entitas budaya yang berlingkup lebih luas, seperti kebudayaan sebuah bangsa, haruslah memiliki wajah pluralitas dan menghargai kemajemukan. Gagasannya terhadap persoalan ini adalah perlunya dikembangkan sebuah kebijaksanaan pengembangan desentralisasi kebudayaan.

d.    Progresivitas Pemikiran Ke-Islam-an
Pada dasarnya pemikiran liberal dan liberalisasi pemikiran Gus Dur sudah diteliti, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Greg Barton adalah orang yang mungkin pertama kali melakukan penelitian atas pemikiran liberal Gus Dur, yang kemudian dituangkan dalam bukunya yang monumental ”the Emergence of Neo-modernisme A progressive, Liberal Movement of Islamic thought in Indonensia”. Greg Barton mengemukakan beberapa aspek liberal dalam pemikiran Gus Dur (Santoso :2004:124), baik yang menyangkut tentang kekuatan Islam Tradisional dan sistem pemerintahan, keberaniannya dalam mengatakan kelemahan Islam Tradisional di Indonesia, unsur-unsur dinamisasi pesantren sebagai kekuatan untuk menanggapi lahirnya tantangan moderenitas, pluralisme, maupun persoalan tentang humanitarianisme.
Liberaliasme pemikiran Gus Dur disadari merupakan gaya pikir divergen, yang menjelajah keluar dari cara-cara berpikir konvensional (seperti lazimnya) (Santoso, 2004:124). Gagasan dalam pemikirannya memang cenderung melompat-lompat, sehingga ritmenya sering dipahami tidak beraturan. Tapi mainstream utama yang dibidik adalah agar pemahaman dan pengetahuan keagamaan dan sikap politik umat tidak stagnan. Setiap bentuk pengetahuan dan pemahaman harus bisa dilihat secara kritis sehingga dapat memunculkan kritis atas hal tersebut.
Menurut Mujamil Qomar dalam Santoso (2004:125) bahwa Gus Dur adalah orang yang sangat yakin atas kesempurnaan Islam, tapi ia berbeda dengan pandangan ulama pada umumnya yang mengira bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan hidup sudah lengkap dibahas dalam Al-Quran.

b)            Komunikasi politik Gus Dur
Untuk memperjelas konsep komunikasi politik, menarik kiranya mengkaji komunikasi politik dari Maswadi Ra’uf. Menurutnya, komunikasi politik sebagai kegiatan politik merupakan penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh aktor-aktor politik kepada pihak lain. Telaah atas substansi komunikasi politik, selalu menempatkan rumusan komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh, baik dilevel orientasi, pemikiran politik atau ideologi tertentu dalam rangka menguasai dan mempertahankan kekuasaan (Maswadi Ra'up, 1993).
Gus Dur sebagai tokoh nasional merupakan representasi satu kekuatan nyata dalam peta politik nasional. Tidak hanya karena Gus Dur menjadi motor penggerak mesin politik PKB, akan tetapi lebih dari itu, sosok Gus Dur merupakan sosok penuh kharisma di kalangan kaum Naddliyin. Sumberdaya politik Gus Dur (political resource) sangat tinggi, sehingga dia sanggup menjadi katalisator berbagai pilihan politik NU. Dalam konteks itulah Gus Dur faham betul, pemanfaatan komunikasi politik dengan berbagai kekuatan yang ada.
Ide besar yang selalu diusung Gus Dur selama ini adalah proses demokratisasi di Indonesia yang sedang mengalami peralihan. Sehingga, kalau kita perhatikan betul, Gus Dur sebisa mungkin selalu membuat berbagai dikursus di publik untuk menjelaskan aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan tumbuhnya kekuasaan yang demokratis dan mempengaruhi publik untuk mengubah atau mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat yang demokratis pula. Bertemunya Gus Dur dengan beragam orang dan kekuatan politik, bisa mengundang tafsir bahwa gaya politik Gus Dur adalah politik akomodasi.
Padahal, sesungguhnya komunikasi politik Gus Dur menekankan pada pengkoordinasian tata nilai politik yang diinginkan. sehingga mencapai tingkat kesepahaman yang tinggi antar elemen bangsa. Memang tidak bisa dinafikan bahwa Gus Dur juga seringkali melakukan mobilisasi sosial guna memperoleh dukungan, kepatuhan dan integrasi politik. Suatu hal yang lumrah, karena dalam konstelasi nasional Gus Dur tidak lagi menjadikan wilayah kultural sebagai basis perjuangannya. Gus Dur kini lebih banyak berada di ranah politik praktis, sehingga sudah semestinya Gus Dur melakukan sosialisasi sikap dan pilihan politiknya, melakukan rekrutmen politik, merumuskan kepentingan, mengagregasi kepentingan seoptimal mungkin melalui sayap politiknya (PKB) dan mempengaruhi pembuatan serta penerapan aturan yang nantinya akan dipakai oleh masyarakat.
Perlu diberi catatan, pengharapan politik rakyat pasca Pemilu 2004 ini adalah perubahan. Konsekuensinya, keberpihakan terhadap agenda reformasi dan rakyat kecil menjadi pertaruhan besar bagi siapapun pemimpin Indonesia. Menurut Dan Nimmo, bagi komunikator politik, untuk menjadi pemimpin politik ia harus berprilaku sebagaimana yang diharapkan orang dari pemimpin. Ada tiga jenis kecenderungan yang menunjukan arah perbuatan seseorang yakni kepercayaan, nilai dan pengharapan (Dan Nimmo, 1995). Dengan demikian jika bangsa Indonesia memiliki pengharapan akan perubahan, maka perubahan tersebut harus dikonsolidasikan dengan baik. Maka wajarlah jika Gus Dur bertemu banyak tokoh yang berpotensi ikut megadakan perubahan, dia juga mengkritik banyak orang sebagai bentuk kontrol atas kehati-hatian arah perubahan Indonesia di masa depan.
Perbedaan Pendekatan
Sebelum mengkaji pendekatan komunikasi yang biasa Gus Dur terapkan, akan lebih baik jika sebelumnya kita bandingkan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia yang lain. Terdapat perbedaan pendekatan komunikasi yang dilakukan para pemimpin bangsa ini. Soekarno misalnya, banyak memakai pendekatan behavioristik. Pendekatan yang menekankan refleksitas kognisi ini amat berhubungan dengan penempaan pesan sehingga prilaku penerima pesan menjadi reflektor yang setia. Seluruh prilaku manusia, kecuali instink, dalam pendekatan ini diasumsikan sebagai hasil belajar. Belajar artinya perubahan prilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Pola-pola indoktrinasi ala Soekarno seperti seringnya pengulangan kata-kata “Revolusi Belum Usai”, “Kontrarevolusi”, “ganyang Malaysia” dan lainnya di berbagai forum dan kesempatan, terkadang menyisihkan rasionalitas dan otonomi individu penerima pesan terlepas dari baik-buruknya dampak indoktrinasi itu bagi masyarakat.
Di era Soeharto, pendekatan komunikasi yang digunakan bersifat transmisional dimana jalinan komunikasinya bersifat searah. Soeharto yang saat itu sangat powerfull membentuk dan mengarahkan komunikasi, sementara rakyat selalu dalam posisi sebagai receiver (penerima pesan) tanpa bisa leluasa memberikan feedback, kecuali sesuai dengan arahan dari Soeharto sendiri. Kebijakan publik yang dikeluarkannya, selalu dikomunikasikan dengan cara-cara dominatif dan eksploitatif.
Pasca Soeharto jatuh, pendekatan yang mendominasi proses komunikasi bangsa Indonesia adalah interaksional. Semua orang bebas mengekspresikan sikap dan pandangannya, sehingga jalinan komunikasinya interaktif. Kebebasan yang melahirkan euforia ini menjadi kontraproduktif karena tingkat pendidikan politik dan kesadaran berbangsa rendah. Kebebasan seringkali memunculkan kebablasan. Fenomena interaksional ini lebih mengkristal saat Gus Dur terpilih sebagai Presiden. Gus Dur selalu bergerak dengan percaya diri meski seringkali melawan mainstream publik.
Di tengah situasi pendekatan interaksional, Megawati tampil menggantikan Gus Dur. Ada kecenderungan Megawati dan pemerintahannya dalam batas-batas tertentu kembali menggunakan pola transmisional. Tiba-tiba banyak kebijakan publik diputuskan tanpa proses sosialisasi yang memadai di tingkat rakyat. Keengganan berkomunikasi ala Megawati sesungguhnya dapat kita analisa dengan menggunakan teori-teori produksi pesan, terutama Communication Apprehention (CA) Theory dari James McCroskey dan Sensitivitas Retoris dari Darnel dan Brockriede. McCroskey menemukan, bahwa keengganan berkomunikasi merupakan problem praktis serius bagi banyak orang, terbentang dari yang rendah sampai keengganan berkomunikasi yang bersifat patologis (McCroscky, 1984).
Keengganan berkomunikasi bisa merupakkan sifat bisa juga keadaan. Traitlike Communication Apprehention (keengganan berkomunikasi yang menjadi sifat) merupakan tendensi yang abadi dalam berbagai setting. Individu yang menderita menghindari seluruh jenis komunikasi oral. Sementara Statelike Communiaction Apprehention hanya memiliki keengganan berkomunikasi tertentu. Misalnya keengganan berbicara dan berdebat di depan publik mengenai suatu kebijakan publik. Keengganan berkomentar atau menanggapi masalah-masalah krusial, serta keengganan berpolemik dengan lawan politiknya secara langsung. Hal inilah yang rupanya dominan kita temukan dalam diri Megawati.
Gaya Gus Dur
Secara umum ada dua kecenderungan gaya komunikasi yang dilakukan Gus Dur. Pertama, kebiasaan Gus Dur memproduksi pesan politik secara equivocal. Meminjam istilah teori Janet Beaving Bavelas, komunikasi equivocal berarti pesan-pesan dengan sengaja dibuat tidak jelas, tidak langsung dan tidak berterus terang (Stephen W Littlejohn, 1999). Penerima pesan harus menduga artinya daripada menangkapnya secara langsung. Dalam politik sebagai Art of possibility, equivocal terkadang perlu.
Hal ini memang menjadi kebiasaan lama Gus Dur, sehingga langkah-langkahnya tidak mudah diprediksikan oleh lawan politiknya. Namun gaya seperti ini juga seringkali menjadi masalah, ketika hal itu menyangkut kebijakan mengenai hajat hidup orang banyak. Seperti saat Gus Dur menjadi presiden, banyak kebijakannya yang equivocal sehingga tidak tersosialisasikan dengan baik. Substansi kiprah Gus Dur dilihat dari pengalaman-pengalaman masa lalu sangat pro rakyat dan demokrasi, hanya saja sebagian rakyat seringkali tidak bisa menangkap metakomunikasi dari pesan yang disampaikan. Sehingga bagi yang tak mengenal sosok Gus Dur secara baik, akan muncul asumsi bahwa Gus Dur adalah simbol ketidak konsistenan (Hamid Awaludin, Harian Umum Kompas 13 Juli 2004).
Kedua, gaya komunikasi Gus Dur seringkali agresif. Hal ini menarik dikaji dari konsep agresif Dominick A. Ifante yang ditulisnya dalam buku Argumentativeness and Verbal Agressivness (Ifante, 1996). Terutama, berkaitan dengan dua sifat agresi yang dominan pada diri Gus Dur. Kedua sifat itu ialah kesukaan berdebat dan keagresifan verbal. Kesukaan berdebat merupakan tendensi mengajak bercakap-cakap tentang topik-topik kontroversial. Lihat saja polemik Gus Dur mengenai TAP MPR No.VII/2000 pasal 7 ayat (3) dan pasal 3 ayat (3) tentang pengangkatan dan pemberhentian kapolri. Polemik tentang TAP MPR No. 25, alasan pemecatan beberapa mentri, pernyataan mengenai permintaan penagguhan pemeriksaan beberapa konglemerat, gonjang-ganjing dekrit, golput di Pemilu Presiden 2004 dan masih banyak contoh lainnya.
Sementara keagresifan verbal, seringkali identik dengan gaya komunikasi Gus Dur sebelum, selama maupun sesudah dia jadi presiden. Sifat ini adalah kebiasaan menyerang ide, keyakinan, ego atau konsep diri dimana argumen bernalar. Agresi verbal Gus Dur biasanya berupa ledekan emosional yang bisa menghasilkan kemarahan bagi pihak yang dituju. Biasanya Gus Dur melakukan ini dengan pertimbangan tertentu, misalnya saat Gus Dur harus melindungi kelompok minoritas yang terancam, mengalihkan konflik di tingkat akar rumput ke konflik elit, atau saat dibutuhakn shock terapi bagi orang dan kekuatan politik besar tertentu.
Ketiga, dalam keadaan normal sebenarnya Gus Dur adalah tipe rhetorically sensitive. Yakni tipe yang memoderatkan dua kutub ekstrim noble selves dan rhetorical reflector. Sensitif retoris mewujudkan kepentingan sendiri, orang lain dan sikap situasional. Sebagai individu tentu seorang pemimpin mempunyai kepentingan, tetapi dia juga mendengar dan menerima input dari masyarakat .
 Dengan kepekaan terhadap situasi dan kondisi inilah, dia akan menuju kearah pemahaman yang lebih efektif dengan penerimaan ide-ide secara meluas. Gus Dur sudah lama dikenal sebagai sosok yang pluralis, sehingga lebih banyak diterima oleh berbagai kalangan yang berbeda etnis, agama maupun ras.
c)             Model  komunikasi politik Gus Dur
Satu hal lain yang menarik dari sosok Gus Dur sebagai tokoh sekaligus aktor politik sangat berpengaruh di ranah politik Indonesia kontemporer adalah model komunikasi politik yang dipraktikkannya. Gus Dur ibarat oase di tengah gersanganya komunikasi para elit negeri ini. Di saat kebanyakan elit politik kita nyaris seragam didominasi oleh budaya high context culture yang ditandai dengan politik harmoni, Gus Dur justru kerapkali hadir dengan gayanya yang di luar mainstream. Banyak pesan yang diproduksi Gus Dur, menghadirkan kedalaman wacana dan mengundang minat untuk menjadi perbincangan publik. Komunikasi penuh warna ala Gus Dur tidak sekedar memenuhi formalitas kehadiran sang tokoh di ranah publik, melainkan juga kaya dengan bahan diskursus mulai dari warung kopi hingga kajian ilmiah di berbagai kampus maupun pusat-pusat studi.
·       Model Interaksional
Model komunikasi pertama yang dominan dipraktikkan Gus Dur adalah model interaksional. Model ini, menempatkan diri komunikator dalam posisi sejajar dengan komunikator lain sehingga terjadi interplay yang demokratis dalam kuadran komunikasi saling memberi dan menerima. Dia tidak alergi untuk bertemu banyak orang, mendengar dan membangun kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk dengan orang atau kekuatan politik yang pernah bersebrangan dengannya.
Membaca Gus Dur ibarat skenario cerita yang diwarnai oleh interaksi aktor di banyak kejadian tidak terduga. Hal ini pula, yang membuka peluang bagi munculnya multitafsir atas berbagai gaya yang ditampilkan Gus Dur. Misalnya, pada Pemilu 2004 tidak ada yang mengira Gus Dur akan membangun komunikasi politik secara intensif dengan Partai Golkar dan Wiranto. Siapapun tahu, bahwa Gus Dur sempat disakiti oleh Partai Golkar terutama saat dirinya dilengserkan dari jabatannya sebagai Presiden RI. Begitu juga dengan Wiranto, di antara keduanya pernah mengalami ketidakcocokan. Sewaktu menjadi Presiden, Gus Dur dengan berani memberhentikan Wiranto dari jajaran kabinetnya. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaannya dengan Golkar dan Wiranto tidak lantas membuat Gus Dur bersikap kaku dalam berkomunikasi politik.
Sikap politik Gus Dur yang lentur, menjadikan dirinya sebagai kekuatan yang selalu diperhitungkan oleh siapapun. Pada Pemilu 2004, saat dirinya tidak lolos menjadi calon presiden akibat persyaratan yang dibuat KPU, Gus Dur memilih untuk Golput. Secara bersamaan dia juga merestui pasangan Wiranto-Solahuddin untuk didukung kaum Nahdliyin.
Dengan tegas Gus Dur menyatakan tidak akan bekerjasama dengan Megawati karena dianggap telah melakukan kesalahan konstitusional. Namun, lagi-lagi Gus Dur melakukan hal yang tak terduga. Setelah Pilpres putaran pertama yang berlangsung 5 Juli 2004 menempatkan SBY-JK dan Megawati-Hasyim sebagai pasangan kandidat yang akan maju ke putaran ke dua, Gus Dur dengan sangat santai kembali bertemu dan berdialog dengan Megawati. Begitupun sikapnya terhadap tokoh-tokoh lain seperti Amien Rais dan SBY. Meski kerapkali bersebrangan dan saling mengkritik, secara pribadi Gus Dur tetap bisa berhubungan baik dengan kedua tokoh ini.
Model interaksional juga dipraktikkan Gus Dur dalam membangun semangat pularisme dan multikulturalisme. Dia membangun komunikasi yang harmonis dengan banyak tokoh dan komunitas lintas agama, lintas etnis bahkan lintas ideologi. Melindungi kelompok minoritas tidak hanya dalam retorika tetapi juga dalam berbagai aktivitas dan kebijakan nyata baik saat dia di luar maupun di dalam kekuasaan. Tidak banyak tokoh muslim kontemporer yang mampu menjembatani pluralisme di level aksi, terlebih di hal-hal tertentu yang kontroversial dan bertentangan dengan mainstream.
Gus Dur telah sukses mengomunikasikan ajaran Islam damai dan rahmat bagi semesta alam dalam sebuah pemahaman bersama (mutual understanding) melalui penguatan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Di tengah menguatnya radikalisme atas nama agama termasuk jaringan terorisme yang kian aktual di Indonesia dan dunia, Gus Dur tidak bosan-bosanya memerankan diri sebagai pembawa pesan bahwa inklusivisme Islam adalah keharusan.
·       Model Transaksional
Satu hal lagi yang tidak bisa kita nafikan saat membaca komunikasi politik Gus Dur adalah model transaksional. Gus Dur adalah satu diantara aktor politik yang banyak memberi pelajaran berharga mengenai bagaimana seharusnya kita menegosiasikan ide, gagasan, pemikiran dan tindakan sosial politik kita di tengah lingkungan yang kian kompetitif. Gus Dur kerap membuka diskursus di media massa tentang banyak hal, termasuk yang oleh sebagian orang dianggap sebagai isu sensitif.
Bagi Gus Dur, mengkritik dan bersikap oposan terhadap orang dan kelompok tertentu yang dianggap menyeleweng adalah hal yang lumrah, meski terhadap kelompok mayoritas sekalipun. Kita tentu ingat, bagaimana kegigihan Gus Dur memperjuangan demokratisasi meski harus berhadapan dengan tembok kekuasaan Orde Baru. Melalui berbagai ceramah, tulisan, sentilan joke dan lain-lain Gus Dur menjadi salah satu pengkritik utama pemerintahan Soeharto.
Secara Secara umum ada dua kecenderungan komunikasi yang dilakukan Gus Dur dalam mengimplementasikan model transaksional ini. Pertama, kebiasaan Gus Dur memproduksi pesan politik yang mengharuskan penerima pesan mengurai sendiri substansi maknanya. Komunikan harus menduga dan memberi tafsir, daripada menangkap penjelasan maknanya secara langsung. Misalnya beberapa tahun lalu, Gus Dur menyebut inisial “ES” sebagai dalang kerusuhan yang terjadi di beberapa tempat di tanah air. Sebuah upaya mengalihkan sekaligus meminimalisir konflik horisontal di masyarakat yang kian eskalatif dan membahayakan ratusan nyawa, ke konflik di level elit.
Kedua, kebiasaan Gus Dur untuk membawa ranah perdebatan pada topik-topik dan kebijakan kontroversial. Misalnya saat Gus Dur melindungi Ahmadiyah, berbagai cercaan dan perdebatan mengemuka. Di berbagai kesempatan, Gus Dur justru tampil konsisten dan berani berdebat mengapa kelompok Ahmadiyah layak dia dibela.
Ide besar yang selalu diusung Gus Dur selama ini adalah proses demokratisasi di Indonesia yang sedang mengalami peralihan. Sehingga kalau kita perhatikan, Gus Dur sebisa mungkin selalu membuat berbagai dikursus di ruang publik untuk menjelaskan aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan konsolidasi demokrasi di negeri ini. Komunikasi politik Gus Dur menekankan pada pengordinasian tata nilai politik yang diinginkan, sehingga mencapai tingkat kesepahaman yang tinggi antar elemen bangsa.
Hingga saat ini, masih banyak orang yang tidak bisa menangkap metakomunikasi dari pesan yang disampaikan dan diartikulasikan  oleh Gus Dur. Sehingga, bagi yang tak mengenal sosok Gus Dur secara baik, akan muncul asumsi bahwa dia adalah simbol ketidakkonsistenan. Gus Dur memang identik dengan gaya komunikasi verbal agresif. Hal ini bisa diamati dari kebiasaanya menyerang ide, keyakinan, ego atau konsep diri dimana argumen bernalar, namun demikian biasanya Gus Dur melakukan ini dengan pertimbangan nilai luhur.  Misalnya, karena Gus Dur harus melindungi kelompok minoritas yang terancam, mengalihkan konflik di tingkat akar rumput ke konflik elit, atau saat dibutuhkan terapi kejut bagi orang dan kekuatan politik tertentu yang tidak lagi memerhatikan etika dan aturan politik yang disepakati.
Gus Dur adalah sebuah fenomena, tokoh dengan sejuta makna dari komunikasi politik yang telah dicatatkannya dalam perjalanan negeri ini. Giliran kita memaknai fenomena tersebut, hingga kita memahami substansi pesan di balik komunikasi yang telah disumbangkan Gus Dur untuk rakyat di negeri ini.




d)            Komunikasi Politik Gus Dur dalam gerakan Demokrasi di Indonesia
Demokrasi merupakan salah satu tema besar dalam pemikiran politik Gus Dur. Aksi pemikiran dan gerakan sosial yang selama ini dimainkan tidak pernah bergeser dari gagasan besarnya untuk menciptakan demoratisasi dalam masyarakat.
Agama dalam perpektif Gus Dur merupakan sumber nilai bagi penegakan demokrasi. Artinya demokrasi adalah implementasi dari ajaran agama, tanpa harus menyebutkan formulasinya dalam formulasi agama.
Prespektif demokrasi yang dikembangkan GuS Dur di atas menjadikan sebagai sosok fenomenal, unik sekaligus luar biasa. Pesan yang dilontarkan memang cenderung mengagetkan banyak orang, terlebih orang yang terbiasa hidup dengan menganggap sikap dan pikirannya sebagai kebenaran satu-satunya.
Pada dasarnya politik pemikiran Gus Dur bisa dipahami sebagai produk dari pergumulan intensifnya dengan tiga kepedulian utama, yaitu : revitalisasi khazanah Islam tradisional ahlussunnah wal Jama’ah, khususnya kurang dipahami dan dikembangkan oleh NU, keterlibatan dalam wacana dan kiprah modernitas, dan pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam di Indonesia.
Yang pertama terlihat bahwa sejak awal pemikirannya, kata kunci yang sering dipakai Gus Dur adalah ’dinamisasi’. istilah dinamisasi yang digunakan Gus Dur merupakan sebuah terebosan kreatif, lewat kahazanah Islam tradisional dapat digali untuk menjawab tantangan-tantangan dunia modern, termasuk di bidang politik. Islam tradisional yang sering dianggap konservatif, oleh Gus Dur justru dianggap sebagai salah satu kelompok yang paling siap mengantisipasi perubahan dalam masyarakat di Indonesia.
Salah satu nilai yang berhasil didinamisasikan Gus Dur dalam melakukan pembaharuan di bidang politik adalah komitmen kemanusiaan (humanitarianism, insaniyyah) yang ada dalam ajaran Islam. Menurut Hakim (1993: 90) bahwa dalam pandangan Gus Dur, nilai kemanusiaan digunakan sebagai dasar bagi penyelesaian tuntas persoalan utama kipra politik umat, yakni posisi komunitas di dalam sebuah masyarakat modern dan pluralistik di Indonesia. Humanistik Islam pada intinya menghargai sikap toleran dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap kerukunan sosial (social harmony).
Modus keberadaan  politik yang diperjuangkan oleh Gus Dur secara konsisten adalah komitmen terhadap sebuah tatanan politik nasional yang dihasilkan oleh proklamasi kemerdekaan, di mana semua warga negara memiliki derajat yang sama tanpa memandang asal usul agama, ras, etnis, bahasa dan jenis kelamin. Konsekuensinya, politik umat Islam di Indonesia terikat dengan komitmen tersebut. Segala bentuk eksklusivisme, sektarianisme dan previlege-previlege politik harus dijauhi. Termasuk disini adalah pemberlakukan ajaran melalui negara dan hukum formal, demikian pula ide proporsionalitas dalam perwakilan di lembaga-lembaga negara. Tuntunan semacam ini jelas berlawan dengan asas kesetaraan (egalitarianism) bagi warga negara.
Implikasi lain dari komitmen terhadap asas kesetaraan ini adalah penolakan Gus Dur terhadap ide pembentukan masyarakat dan negara Islam sebagai tujuan politik umat di Indonesia. Menurutnya, kedua ide tersebut pada prinsipnya memiliki persamaan tujuan : formalisasi ajaran dalam masyarakat lewat perangkat hukum. Ini berarti keinginan untuk menegakkan sebuah komunitas politik yang ekslusif di luar jangkauan hukum dan objektiv yang diberlakukan kepada seluruh warga negaranya. Ini terang tidak konsisten dengan semangat UUD 1945 yang hanya mengakui komunitas politik tunggal yaitu warga negara Indonesia. Karenanya, bagi Gus Dur, seperti dikemukakan oleh Douglas (dalam Afandi 1996 :92) sebuah masyarakat Islam tidak perlu ada di negeri ini. Yang harus diperjuangkan oleh umat dalam politik adalah sebuah masyarakat Indonesia dimana ’umat Islam yang kuat, dalam pengertian berfungsi dengan baik’ sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan yang lain.
a. Sumber media yang Digunakan Kalangan Nadliyin dalam Memperoleh Pesan Komunikasi Politik Gus Dur
Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Komunikator harus memilih media atau saluran komunikasi yang efesien untuk menyampaikan pesan.
Media adalah perluasan alat indera manusia. Dengan kata lain kehadiran media dalam komunikasi tidak lain dari upaya untuk melakukan perpanjangan dari telinga dan mata, misalnya telepon adalah perpanjangan telinga, televisi adalah perpanjangan mata. Pendapat tersebut dikenal sebagai teori perpanjangan indera (sense extension theory). Olehnya, dapat dikatakan, media merupakan alat untuk menyalurkan berbagai pesan bagi manusia dalam masyarakat dan perkembangannya pun kian hari kian meningkat.
 Perkembangan media massa  tersebut sangat pesat, termasuk di negara kita. Perubahan-perubahannya begitu cepat berlangsung terutama dari segi teknologi. Seiring dengan itu, pola pemikiran manusia pun semakin berkembang.
Revolusi komunikasi saat ini tengah berlangsung. Teori-teori dasar yang ada selama ini banyak yang harus menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Dalam hal ini media dapat dibagi dalam tiga bentuk :
1.    Pertama, media yang menyalurkan ucapan (the spoken words), termasuk juga yang berbentuk bunyi, yang sejak dahulu sudah dikenal dan dimanfaatkan sebagai medium yang utama dan hanya dapat ditangkap oleh telinga dinamakan juga the audio media (media dengar). Media yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah gendang, kentongan (alarm block), telephon dan radio.
2.    Kedua, media yang menyalurkan tulisan (the printed writing) dan hanya dapat ditangkap oleh mata, disebut the visual media (media pandang). Media yang masuk dalam golongan ini, antara lain prasasti, selebaran, pamflet, poster, brosus, baliho, spanduk, surat kabar, majalah, dan buku.
3.    Ketiga, yang menyalurkan gambar hidup dan karena dapat ditangkap oleh mata dan telinga sekaligus disebut the audio visual media (media pandang dengar). Media yang termasuk dalam bentuk ini adalah film (termasuk video) dan televisi.
Selain itu media juga sering dibedakan antara media antarpersona (antar pribadi) seperti telepon, surat dan telegram dengan media massa seperti pers, radio, film, dan televisi. Kemudian dengan perkembangan teknologi muncul media baru yang dikenal sebagai media interaktif melalui komputer yang sering juga disebut internet (international networks). Internet adalah sesungguhnya penggabungan antara komputer, telepon dan televisi.
Kekuatan pesan Gus Dur tercermin sedikitnya dalam lima hal, yaitu (1) kemampuan Gus Dur berkomunikasi dan Berhubungan langsung dengan tokoh-tokoh lokal yang berpengaruh, (2) keleluasaan yang diarahkan kepada warga Nu dan pesantren di daerah untuk mengambil sikap pragmatis dan hubungannya dengan pemerintah dan kekuatan-kekuatan oportunis, (3) kemampuan dalam memfasilitasi proses intelektualtas secara radikal di kalangan anak muda NU dengan mengembangkan tema pemikiran yang liberal dan universal, (4) kemampuan dalam menjaga citra keunggulan di mata jama’ah NU, dan (5) keseriusan mendorong proses demokratisasi bersama dengan kekuatan masyarakat lain dari lintas suku, agama, dan golongan. Bagi kalangan nahdliyin, posisi Gus Dur mencerminkan kesungguhannya dalam mewujudkan ajaran rahmatan lil’alamin.
Wacana agama menjadi kemasan yang dominan dalam proses komunikasi politik yang di kembangkan oleh Gus Dur, karena ia memang merupakan cermin dari organisasi yang menjadi latar belakang utamanya. Pesan-pesan politiknya memberikan kesan kuat sebagai pesan-pesan agama yang disampaikan melalui proses simbolisasi politik dalam nuans a agama. Hal ini memberikan efek kesan yang mudah diterima kalangan Nahdliyin, karena proses pembentukan suasananya yang dipandang relevan dengan suasana psikologis setiap partisipan komunikasi yang terlibat. Menurut Mulyana dalam Muhtadi (2004:195) pesan tergantung pada konteks fisik/ruang, waktu, sosial, dan psikologis. Demikian pula figur komunikator yang menjadi juru bicara utama komunikasi politik Gus Dur selalu memperlihatkan warna ganda yang diperankan, antara pemimpin politik dan pemimpin agama.
Dalam konteks seperti ini, agama menjadi simbol yang dapat memperlicin proses komunikasi untuk menemukan keasmaan-kesamaan rujukan dan pengalaman di antara pihak yang terlibat dalam proses komunikasi. Lambang atau simbol adalah suatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Ia meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku (pesan non-verbal), dan obyek yang maknanya disepakati bersama. Kata ’ishlah’ misalnya yang sering digunakan dalam pesan komunikasi politik Gus Dur, lebih muda diterima oleh kalangan muslim pada umumnya dan kalangan Nadliyin pada khususnya daripada kata ’rekonsiliasi’.
e)             Kondusifitas politik humanis dan humoris Gus Dur
Di negara yang sangat otoriter, seorang politikus boleh saja memanipulasi pemilihan umum, membungkam pendapat, melumpuhkan gerakan demokrasi demi alasan stabilitas, subversi, kiri, dan lain-lain. Akan tetapi terhadap yang namanya humor politik, jelas mereka tidak berdaya. Paling banter mereka hanya bisa membunuh si tukang cerita, akan tetapi humor itu sendiri menyelusup jauh di sela jeruji penjara dan lolos dari segenap pengejaran.
Gus Dur dan Humor
Kalau Soeharto peletak dasar sistem protokoler pemerintahan yang mekanis, BJ Habibie peletak dasar desakralisasi lembaga kepresidenan dan protokoler lembaga tersebut, lantas dengan apa kita memberikan deskripsi untuk Preseiden ke–4 RI? Mungkin secara sederhana, kita dapat ungkapkan bahwa Gus Dur lah peletak dasar sistem protokoler yang lebih humanis dengan humor sebagai media komunikasi politiknya. Banyak pihak melihat era di Gus Dur, protokoler kenegaraan (khususnya kepresidenan) telah banyak berubah. Seolah protokoler itulah yang mengikuti karakter Gus Dur dan bukan sebaliknya.
Fenomena lebih menarik dapat kita cermati pada adanya ruang protokoler tidak resmi Gus Dur yang tentu saja dianggap sebagai ruang preogatif presiden dalam kapasitasnya sebagai Gus Dur (pribadi) yang disinyalir sebagai kabinet malam. Perubahan yang lebih terasa dalam protokoler kepresidenan adalah Gus Dur membawa humor dan lelucon dalam setiap acara kenegaraan dan pemerintahan, baik resmi maupun tidak resmi.
Satu catatan penting adalah, Gus Dur telah mengubah paradigma dan sakralisasi lembaga keprisedenan sebagai lembaga yang pro rakyat (tidak membedakan strata sosial dan waktu), melalui gaya komunikasi politik Gus Dus plus humor. Gaya komunikasi politik pro rakyat terakhir bisa kita rasakan di Istana Wakil Presiden Jusuf Kalla. Gaya komunikasi politik dan posisi lembaga kepresidenan SBY dan Boediono sangat teknokratik, elegan dan perfeksionis.
Barangkali rakyat Indonesia sebetulnya agak kecele terhadap prediksi, tentang tradisi apa yang akan dibawa Gus Dur. Apakah tradisi santri di Pondok, tradisi NU atau  tradisi Kyai NU?.
Namun ternyata tradisi baru yang menonjol dibawa Gus Dur yang sampai saat ini belum berubah justru tradisi humornya. Tradisi ini jelas merupakan hal yang cukup kontroversial, sesuai keberadaan humor politik yang cenderung kontradiktif bagi etika politik dan protokoler pemerintahan/politik. Suka atau tidak suka, politisi dibikin bingung oleh Gus Dur dengan rangkaian manuver politik yang sarat dengan muatan humor politik, humor yang cenderung berisi kritikan pedas dan bahkan bisa digolongkan pada sinisme atau sarkasme. Sebetulnya tidak lucu dan mungkin sangat tidak sopan bagi beberapa pihak lain yang masih memandang aspek-aspek protokoler dan formal masih perlu dikedepankan. Lihat saja beberapa humor politik Gus Dur yang cukup kontroversial seperti; DPR Taman kanak-kanak,  PKB ibarat induk ayam, gitu aja kok repot, dll.
Nah, khasanah kontroversial kaidah humor memang agak berbeda dengan polemik dan manuver politik. Kaidah humor tetap ada orang yang memandang sebagai humor yang segar, menarik dan menggelitik. Atau bahkan dirasa sebagai sesuatu yang cukup menyegarkan, menggairahkan, atau lebih ekstrem lagi membangunkan orang yang sudah lelap dan membuat terjaga yang terlanjur mengantuk oleh pidato politik/acara yang terlalu melantur dan monoton.
Beberapa sebab yang mengakibatkan komunikasi politik humor Gus Dur menjadi agak kondusif dan memasuki relung pemerintahan dan lolos dari sekat-sekat protokoler. Pertama, humor politik Gus Dur diawali oleh tipe kepribadian yang memang sudah cukup mengakar di dalam pribadi Gus Dur, bahkan sebetulnya lingkungan pondok pesantren merupakan lingkungan yang sarat dengan anekdot dan lelucon. Di samping tentu saja Gus Dur sendiri yang suka humor.
Kedua yang cukup signifikan barangkali adalah implikasi kultur kiai dan pesantren. Model struktur pesantren yang sentralistik dan kultus terhadap otoritas keluarga, menjadi split terbesar kultur NU. Sentralisasi kiai di mata santri begitu sempurna menegasikan aspirasi-aspirasi kelas bawah (santri) terhadap kebijakan kiai dengan paradigma tradisi kewalian kiai. Implikasi sistemiknya adalah komunikasi yang muncul berada dalam skala yang instruktif, monologis dan bukan dialogis transformatif. Kondisi inilah yang memberikan lahan yang cukup subur untuk tumbuhnya tradisi lelucon di kalangan santri.
Ketiga, secara politis Gus Dur menerima rangkaian tekanan dari berbagai pihak sehingga intensitas ketegangan politik terhadap pribadi Gus Dur atau atas nama presiden cukup tinggi seiring dengan persoalan yang melanda di negeri ini. Maka otomatis harus ada wahana penyalur ketegangan lain sehingga Gus Dur bisa memiliki rasa enjoy, rileks dan santai. Nah kebetulan humor dan lelucon inilah yang menjadi pilihan utamanya.
Keempat, intensitas tuntutan (agregasi kepentingan) dalam hierarki kekuasaan mengacu pada masa euforia kebebasan yang kita tidak tahu kapan akan berakhir. Euforia politik ini mengakibatkan tuntutan rakyat dan publik terhadap pemerintah/penguasa sangat tajam, sehingga pada prinsipnya publik memiliki kekuatan yang seimbang dengan penguasa. Keseimbangan politik ini jelas mengakibatkan kebijakan politik menjadi tidak stabil dalam pelaksanaan pemerintahan, konsekuensi logisnya pemerintah yang harus menjadi bulan-bulanan publik. Hal yang paling menonjol saat ini adalah  protes dan gugatan rakyat kepada pemerintah cenderung diikuti dengan intensifnya tekanan melalui aksi–aksi massa yang cenderung progresif. Yang lucu mungkin adalah publik tidak terlalu tertarik lagi dengan humor politik bawah tanah dan tinggal ikut tertawa terhadap humor politik yang disajikan oleh politikus sendiri.
Kelima dalam etika politik memang tidak ada yang bisa membatasi humor, karena barangkali lontaran Gus Dur di satu pihak membuat orang tidak suka dan kemudian timbul tuntutan untuk mencabut kata-katanya. Pasti dengan enteng Gus Dur mengatakan, “Cabut ya cabut gitu aja kok repot.“
Secara etika sidang dan protokoler mungkin humor itu akan berhenti sampai di situ.Namun humornya itu sendiri akan lolos ke publik/khalayak masyarakat secara langsung dan sulit lagi untuk dibendung.
Perlu kita catat bahwa humor sebagai bagian dari epos kehidupan masyarakat sebetulnya juga turut andil dalam mewarnai sejarah dan kehidupan suatu bangsa. Tidak ada salahnya kita sejenak merenungi apa yang pernah dikeluhkan oleh Berold Brecht: “Sengsara, hidup di negara yang tidak memiliki humor, tetapi lebih sengsara lagi, hidup di negara yang membutuhkan humor.“
f)             Perilaku Kalangan Nahdliyin dalam Menerima Pesan komunikasi Gus Dur
Dalam prespektif interakasi simbolik, perilaku manusia muncul melalui proses pemaknaan terhadap obyek disekitarnya. Menurut George H. Mead dalam Muhtadi (2004:196) bahwa orang-orang sebagai peserta komunikasi bersifat aktif, reaktif, dan kreatif dalam menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.
Perilaku politk kalangan Nahdliyin yang konsisten mendukung pesan politik Gus Dur tidak lebih dari pemaknaan terhadap isyarat-isyarat politik yang berlangsung secara aktif, reflektif, dan keratif. Perubahan-perubahan perilaku kalangan Nahdliyin berlangsung sejalan dengan perubahan-perubahan politik yang melingkupinya. Sedangkan makna agama yang digunakan untuk menjustifikasi perilaku tersebut muncul karena ketersediaan bahan rujukan yang dimiliki para pelaku politik, serta kuatnya ikatan emosional dengan ’lambang-lambang’ agama yang telah akrab dalam kesadaran hidupnya.
Dalam konteks inilah, warna agama telah memberikan cirinya yang khas dalam perjalanan politik Gus Dur, meskipun secara umum hampir semua kekuatan sosial politik di Indonesia menggunakan agama sebagai kendaraan politik yang ditungganginya.
Berkenaan dengan lambang-lambang komunikasi yang digunakan Gus Dur dalam aktivitas politiknya, sekurang-kurangnya ada dua alasan mengapa Gus Dur memilih tema agama sebagai salah atu kendaraan komunikasi politiknya, pertama alasan kultur internal massa NU yang memang berakar dari tradisi pesantren dan kaum tradisional. Bagi kalangan pesantren, tema-tema di luar agama tidak termasuk agenda penting dalam kehidupannya. Sebaliknya, ’bahasa agama’ dapat dengan mudah dicerna komunitas tersebut meskipun esensi pesan-pesan yang dikandungnya tidak termasuk pada tema agama dalam arti yang terbatas. Karena itu kampanye pembangunan yang dialamatkan pada komunitas pesantren seringkali dilakukan dengan menggunakan ’bahasa agama’, melalui momentum keagamaan, serta dengan menampilkan tokoh agama sebagai aktor komunikannya.
Kedua, alasan latar belakang masyarakat beragama di Indonesia, dengan komposisi mayoritas umat Islam. Secara sosiologis, agama merupakan intrumen sensitif yang dapat menjadi alat pengikat masyarakat, ekalipun menjadi sumber perbedaan yang dapat memicu komplik.  Dalam konteks komunikasi, khususnya untuk kepentingan pembentukan opini publik, dua kenyataan tersebut di atas merupakan faktor potensial yang digunakan sebagai saluran penyebaran pesan-pesan komunikasi politik Gus Dur.
Karena karakteristik sensitif yang dimiliki, agama dapat berfungsi sebagai mediator dalam menyampaikan pesan apa pun bagi kalangan Nahdliyin. Agama secara tidak langsung memiliki wacana yang memungkinkan sesuatu provokasi dapat mudah tersosialisasi. Lebih-lebih pada masyarakat beragama yang didominasi oleh dimensi-dimensi emosional, seperti umumnya kaum pesantren, apa pun yang menyentuh kesadaran religus atau keyakinannya dapat mengubah keyakinan itu menjadi perilaku yang agresif. Itulah sebabnya tema-tema agama yang dikemas dalam pesan-pesan komunikasi politik Gus Dur selalu diangkat. Untuk menyebutkan beberapa contoh, hampir setiap momentum politik nasional, istilah-istilah agama seperti ’istighosa’, doa bersama, silaturahmi, dan jihad banyak digunakan Gus Dur yang menghiasi media massa.
Faktor-faktor yang memperkuat sosok Gus Dur sebagai komunikator politik adalah karena kekuatan kharisma yang menyebabkan munculnya kepengikutan massa secara irrasional. Otoritas Gus Dur sebagai tokoh karismatik berperan sebagai sumber inspirasi di antara pengikutnya, sehingga pesan-pesan yang disampaikan akan diterima secara seksama. Sebagai contoh pada saat Gus Dur menyatakan dukungan Ibu Megawati sebagai calon presiden (padahal sebelumnya NU tidak memperbolehkan kaum wanita menjadi pemimpin), kalangan Nadliyin (khususnya pesantren) langsung  memberikan dukungan. Kalangan tersebut akan mengatakan ’kuning’ pada sesuatu yang sebetulnya bukan ’kuning’ jika Gus Dur telah mengatakan bahwa sesuatu itu adalah kuning. Komunikasi irrasional seperti ini, dalam banyak hal, tentu akan berdampak pada peningkatan efek kepengikutan massa secara siginifkan. Simbol-simbol komunikasinya ditafsirkan secara subjektif sesuai dengan konteks lingkungan pada saat berlangsungnya komunikasi.
Umumnya kalangan Nahdliyin menganggap sosok Gus Dur sangat istimewa. Figur Gus Dur bukan hanya karena kata-katanya yang megandung fatwa agama, tetapi kehadirannya secara fisik pun dipandang sebagai sumber keberkahan bagi para jamaahnya. Keyakinan seperti ini terlihat, misalnya pada pemandangan keramaian setiap kali penyelenggaraan muktamar atau momentum-momentum lain yang menjadi arena perkumpulan para kia. Mereka datang dari berbagai pelosok desa, mereka lawan teriknya panas matahari dan tidak lagi memperdulikan barisan pengaman berseragam loreng ataupun aparat keamanan lainnya, hanya untuk dapat melihat Gus Dur untuk memperoleh barokah.

2.             Data statistik pemikiran politik humanis Gus Dur
Data otentik tentang pemikiran dan konsep politik Gus Dur dapat kita kaji dengan Peta Intelektualisme dan Tema Pokok Pemikiran Gus Dur.
kehadiran Gus Dur—panggilan akrab KH. Abdurrahman Wahid, Presiden RI Keempat dan Ketua Umum PBNU 1984-1999 yang wafat pada 30 Desember 2009—tidak  bisa dipisahkan dari sejarah kontroversi dan kenylenehan di negeri ini, utamanya sepanjang era Orde Baru. Semenjak kepulangan dari studinya di Mesir dan Irak sekitar awal 1970-an, ia mulai membuat kejutan-kejutan baru. Baik lewat tulisan-tulisannya di pelbagai media massa terkemuka saat itu, maupun lompatan-lompatan tindakannya dari bandara tradisi habitatnya, pondok pesantren, Gus Dur selalu menggulirkan wacana kritis ke hadapan publik—jika ia sendiri tidak menjadi konsumsi untuk wacana publik. Pertanyaannya kemudian: mengapa terjadi kontroversi dan mengapa dianggap nyleneh? Apakah karena faktor Gus Dur yang memicu kontroversi ataukah karena kondisi masyarakat atau negara yang belum siap menerima ajakan Gus Dur, sehingga menimbulkan kontroversi dan menganggapnya nyleneh?.
Pertanyaan ini penting dimajukan setidaknya karena dua hal. Pertama, untuk menguji sejauhmana kualitas pemikiran Gus Dur di hadapan publik sehingga mampu membuat kontroversi dan di­anggap nyleneh. Kedua, sebaliknya, untuk menilai sejauhmana kedewasaan masyarakat atau negara dalam menghadapi dan menerima pemikiran-pemikiran cerdas dan tindakan-tindakan kritis yang mengagetkan di luar mainstream. Kedua hal ini memang harus dilihat dan diketahui agar kita bisa membaca secara jernih pemikiran atau tindakan Gus Dur, baik dari aspek substantif maupun dari segi pengaruh sosialnya ketika hal itu dilontarkan. Dari sini akan menjadi jelas mana dimensi ontologis dan epistemologis pemikiran Gus Dur—yang oleh beberapa ahli filsafat ilmu bisa bebas nilai—dan mana dimensi aksiologisnya yang tidak bisa mengabaikan sistem nilai di mana pemikiran itu hendak diterapkan.
Pengakuan Berbagai Kalangan
Terlepas dari debat filosofi pemikiran dan tindakannya, sebagaimana umum diketahui, jauh sebelum jadi presiden, Gus Dur me­mang sering memerankan dirinya sebagai aktor kritis terhadap ne­gara. Perjuangannya yang gigih menegakkan demokrasi dan pemikirannya yang di luar kebiasaan umum selalu diposisikan sebagai 'pesaing politik' dari negara. Menjadi tak heran, kalau ia kemudian dianggap sebagai satu-satunya kekuatan sosial politik paling independen di Indonesia sepanjang Orde Baru. Jika Presiden Soeharto dengan kalangan tentara dan birokrasi, pada saat itu, dianggap sayap negara (the state), maka Gus Dur dengan NU dan kalangan pro-demokrasi adalah sayap masyarakat sipil (the civil society). Tak ayal lagi, negara dan civil society selalu berhadapan dan bersitegang akibat proses demokratisasi yang selalu membentur benteng otoritarianisme-birokrasi raksasa politik Orde Baru.
Juga tak aneh kemudian, bila komentar-komentarnya dan gerakannya selalu menghiasi halaman-halaman media massa sebanding lurus dengan penampilan negara yang kian hegemonik. Demikian juga keberaniannya menentang arus utama negara dan dalam hal-hal tertentu juga arus masyarakat yang tidak sesuai dengan gagasan dan pikirannya, serta kesetiaannya pada Islam dan nilai-nilai kebangsaan, menjadikannya sebagai tokoh yang populer dan disegani sekaligus dimusuhi dan dicaci-maki sepanjang hidupnya.
Walhasil, Gus Dur menjadi the news maker dan pernah terpilih menjadi tokoh terpopuler tiga kali: pertama, tokoh tahun 1989 oleh Surat Kabar Pikiran Rakyat; kedua, tokoh tahun 1990 oleh Majalah Editor, dan ketiga, tokoh tahun 1999 oleh Surat Kabar Kompas. Lebih dari itu, dia juga banyak menerima penghargaan nasional maupun internasional, baik dalam bidang akademik maupun non-akademik.
Dalam bidang akademik, Gus Dur banyak menerima gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari berbagai universitas dunia ternama. Gus Dur disejajarkan dengan Soekarno sebagai ilmuwan yang masuk ke dalam deretan orang-orang pandai di dunia. Soekarno mampu mengantongi 24 gelar Doktor Honoris Causa (HC), Gus Dur memperoleh 10 gelar Doktor HC. Dalam bidang non-akademik, Gus Dur, di antaranya, memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay Award dari Philipina (1993), Global Tolerance Award dari Friends of the United Nations New York (2003), World Peace Prize Award dari World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul Korea Selatan (2003), Presiden World Headquarters on Non-Violence Peace Movement (2003), Simon Wiethemtal Center, AS (2008), penghargaan dari Mebal Valor, AS (2008), penghargaan Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan dari Pemerintah Mesir, penghargaan dan kehormatan dari Temple University, Philadelphia, AS, yang memakai namanya untuk penghargaan terhadap studi dan pengkajian kerukunan antarumat beragama, Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Studies (2008).
Sedangkan penghargaan nasional, di antaranya, adalah Bintang Tanda Jasa Kelas 1, Pin Penghargaan Keluarga Berencana dari Perhimpunan Keluarga Berencana I, Bintang Mahaputera Utama dari Presiden RI BJ Habibie. Tidak hanya semasa hidupnya penghargaan diperoleh, setelah wafat  pun penghargaan masih mengalir diberikan kepadanya. Di antaranya adalah Universitas Mahendradatta memberikan Mahendradatta Award A di bidang akademik (2010), Dewan Adat Papua (DAP) menganugerahi Bapak Demokrasi Papua oleh (2010), dan LSM  Charta Politika memberikan anugerah Lifetime Achievement Charta Politika Award (2010). Julukan Guru Bangsa dan Bapak Bangsa—bahkan Pahlawan Nasional--hampir diberikan oleh seluruh komponen organisasi, baik dari lembaga Negara, Pemerintah, NGO’s, maupun komunitas sosial lainnya.
Penghargaan-penghargaan ini suatu bukti pengakuan nasional dan internasional terhadap peran dan kontribusinya dalam proses kebangsaan Indonesia dalam mewujudkan masyarakat demokratis, adil, dan berkeadaban.
Tokoh Muslim Terkemuka
Pada sisi pemikiran, sejak terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidhiyyah PBNU pada tahun 1984, Gus Dur telah menjadi salah seorang intelektual muslim Indonesia yang sangat berpengaruh dan diperhitungkan. Hal ini bukan saja didukung oleh posisinya di NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, melainkan juga karena percikan-percikan pemikirannya yang progresif tentang Islam, pluralisme, Pancasila, dan demokrasi. Douglas E Ramage1, Greg Barton2, Adam Schwarz3, Mitsuo Nakamura4, dan Einar M. Sitompul5, secara umum—meskipun tersirat—sepakat menyebutnya sebagai salah seorang intelektual Indonesia yang paling berpengaruh dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer dengan corak pemikiran Islam yang kritis dan progresif6. Dalam penjelasan mereka, Gus Dur pada satu sisi dipandang dan dikenal banyak orang sebagai figur genius dan karismatik setingkat wali, namun pada sisi lain, ia ditafsirkan oleh banyak orang, khususnya kelas menengah terdidik Indonesia, sebagai politisi yang sekular atau sebagai intelektual liberal. Kedua posisi inilah yang, dalam perjalanan sosial Gus Dur, menjadi kekuatan sekaligus juga sasaran kritik dari banyak kalangan Islam sendiri.
"Kontroversial" dan kenylenehan" menjadi fokus, karena titik-titik inilah yang telah banyak dijelaskan para ahli pada bidangnya, yakni oleh agamawan, budayawan, politikus, politisi, feminis, ekonom, dan ahli tasawuf. Pencatatan ini penting dilakukan, setidak-tidaknya, sebagai pintu masuk (entry point) kita dalam memahami Gus Dur melalui pendekatan antropologis.
Disadari, memang tidak mudah merumuskan pokok-pokok pemikiran Gus Dur. Karena pemikirannya tersebar ke berbagai media massa dan ditulis dalam waktu yang berlainan secara singkat-singkat, jika tidak hanya berupa lontaran-lontaran gagasan belaka. Kesulitan demikian diakui sendiri oleh Gus Dur ketika memulai kata pengantarnya untuk dua buah buku bunga rampainya, Bunga Rampai Pesantren (1978) dan Muslim di Tengah Pergumulan (1983). Dia menyadari bahwa betapa sukarnya untuk mengumpulkan tulisan-tulisannya itu ke dalam sebuah tema atau susunan yang utuh, bukan saja bagi pembaca tapi juga bagi dirinya sendiri.
Kata Barton, peneliti tulisan-tulisan Gus Dur dari Australia, pengakuan Gus Dur tersebut merupakan ekspresi dari kenyataan yang ada, bahwa kedua bukunya itu memuat sejumlah artikel yang ditulis untuk maksud serta audiens yang berbeda. Meski begitu, tidak berarti bahwa pemikiran-pemikiran Gus Dur tak memiliki tema pokok yang dapat memayunginya sebagai sebuah tawaran pemikiran alternatif. Tulisan-tulisan yang berjumlah lebih dari 500 buah itu jika dilakukan klasifikasi dan reformulasi secukupnya kiranya bisa membuahkan satu bangunan pemikiran yang relatif utuh. Karena itu, seperti dikatakan Barton, pengakuan yang disampaikan Gus Dur secara terang-terangan itu sebenarnya hanyalah ungkapan halus dari sikap rendah hatinya kepada para pembaca7. Buktinya, secara konsisten, Gus Dur tetap berada pada mainstream paradigma pemikiran makronya, meski dengan gaya zig-zag dalam implementasi partikularnya. Ingin dikatakan, bahwa gaya zig-zag inilah yang sering disalahpahami dan menjadi sasaran kontroversi di tingkat publik.



Tema-Tema Pokok Pemikiran Gus Dur
Dari studi bibliografis yang saya lakukan, ternyata ditemukan ada 493 buah tulisan Gus Dur sejak awal 1970-an hingga awal tahun 2000. Kini hingga akhir hayatnya (2009) bisa jadi telah lebih dari 600 buah tulisan Gus Dur. Karya intelektual yang ditulis selama lebih dari dua dasa warsa itu kami klasifikasikan ke dalam delapan bentuk tulisan, yakni tulisan dalam bentuk buku, terjemahan, kata pengantar buku, epilog buku, antologi buku, artikel, kolom, dan makalah. Rincian jumlah dari setiap klasifikasi tersebut sebagai berikut:
Jumlah Tulisan Gus Dur dengan Berbagai Bentuknya Tahun 1970-an hingga Tahun 2000)
No.
Bentuk Tulisan
Jumlah
Keterangan
1.
Buku
12 buku
Terdapat pengulangan tulisan
2.
Buku Terjemahan
1 buku
Bersama Hasyim Wahid
3.
Kata Pengantar Buku
20 buku
-
4.
Epilog Buku
1 buku
-
5.
Artikel
41 buku
-
6.
Antologi Buku
263 buku
Di berbagai majalah, surat kabar, jurnal, dan media masa
7.
                    Kolom
105 buku
Di berbagai majalah
8.
Makalah
50 buku
Sebagian besar tidak dipublikasikan


493 buku

Dari tabel di atas jelaslah bahwa Gus Dur tidak sekadar membuat pernyataan dan melakukan aksi-aksi sosial politik, kebudayaan, dan pemberdayaan civil society belaka, melainkan juga merefleksikannya ke dalam tulisan, baik dalam bentuk artikel, kolom, makalah, maupun kata pengantar buku, yang sebagian tulisan tersebut belakangan diterbitkan dalam bentuk buku. Hanya saja, karena buku-buku yang diterbitkan itu dalam bentuk bunga rampai, tanpa ada rekonstruksi dari Gus Dur sendiri, maka kesan ketidakutuhan bangunan pemikiran menjadi tidak bisa dihindari. Tetapi itulah barangkali cermin dari latar intelektual Gus Dur yang bukan dari tradisi akademik "sekolah modern" di mana setiap tulisan mesti terikat dengan suatu metodologi dan referensi formal.
Gus Dur adalah seorang intelektual bebas (independen), atau mungkin —meminjam istilah Antonio Gramsci— "intelektual organik" dari tradisi akademik pesantren, sehingga tulisan-tulisannya cenderung bersifat reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas, bahkan senantiasa bermotifkan transformatif. Referensi formal akademis dan pengikatan diri terhadap satu metodologi tidaklah menjadi penting, sepenting substansi yang disampaikannya.
Sejumlah karya tulis ini membuktikan intelektualisme Gus Dur yang kaya dengan gagasan dan pemikiran yang kreatif-transformatif dan inovatif. Tulisan-tulisan ini juga mungkin suatu bukti bahwa gerakan atau aksi Gus Dur tidak hampa teori atau tidak tanpa visi, yang suatu waktu bisa terjerumus pada oportunisme dan pragmatisme politik. Ketajamannya membaca realitas dan kekritisannya mengambil keputusan bisa dilihat dari kecenderungan tulisan-tulisan tersebut.
Sebanding dengan waktu dan kepentingan tulisan-tulisan tersebut dibuat, tema pembicaraan atau wacana yang dikembangkannya pun sangat beragam dan kompleks: mengenai apa saja. Mulai dari wacana fikih praktis di pesantren hingga wacana global "rekayasa masa depan" disinggung oleh Gus Dur. Jenis tulisannya pun beragam. Mulai dari bentuk tulisan yang serius-akademis hingga tulisan ringan-populer, semuanya dilakukan Gus Dur. Namun begitu, untuk kepentingan pemahaman makro pemikiran Gus Dur, secara simplifikasi tulisan-tulisan tersebut saya kelompokkan ke dalam tujuh tema pokok.
Ketujuh tema pokok ini juga menandai gagasan besar yang menjadi perhatian Gus Dur selama ini, baik melalui tulisannya maupun visi gerakannya. Tujuh hal yang dimaksud adalah:
1.    pandangan-dunia pesantren,
2.    pribumisasi Islam,
3.    keharusan demokrasi,
4.    finalitas negara-bangsa Pancasila,
5.    pluralisme agama,
6.    humanitarianisme universal, dan
7.    antropologi kiai.
Ketujuh tema pokok ini secara umum menjelaskan keluasan wawasan dan besarnya perhatian Gus Dur terhadap tema-tema kontemporer yang menjadi isu global abad XX, yakni demokrasi, HAM, lingkungan hidup, dan gender. Tema-tema pokok inilah barangkali yang melandasi seluruh gerakan Gus Dur selama ini, baik dalam wilayah keagamaan, politik, kebudayaan, maupun ekonomi. Semua tema tersebut, dalam banyak tulisan, dibidik Gus Dur dari pemahaman keagamaan (Islam) melalui kekayaan intelektual dan kebudayaan pesantren. Ini tidak lain karena pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren yang sangat akrab dengan budaya lokal. Lembaga inilah yang membentuk karakter keberagamaan Gus Dur. Sementara pengembaraannya di Timur Tengah dan di Barat telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai isu-isu mondial yang membuat Gus Dur harus berpikir kosmopolit dan progresif.
Tema Pokok Pemikiran Gus Dur (1970-an sampai 2000)
No.
Bentuk Tulisan
Jumlah
Keterangan
1.
Pandangan dunia pesantren
70 buah
Termasuk tema pesantren vs modernisasi, dan pengembangan masyarakat
2.
Pribumisasi Islam
43 buah
Termasuk tema pembaruan Islam
3.
Keharusan demokrasi
140 buah
Termasuk tema civil society dan pemberdayaan ekonomi
4.
Finalitas negara bangsa Pancasila
73 buah
Termasuk tema hubungan NU, agama dan negara
5.
Pluralisme agama
31 buah
Termasuk tema Islam toleransi dan inklusif
6.
Humanitarianisme universal
72 buah
Termasuk tema HAM, gender, dan lingkungan hidup
7.
Antropologi kiai
24 buah
Sebagian besar berbentuk kolom

Jika dilacak, dari segi kultural, Gus Dur memang melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan budaya lokal; kedua, budaya Timur Tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga, lapisan budaya Barat yang liberal, rasional, dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur membentuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai akhir hayatnya, Gus Dur senantiasa berdialog dengan semua watak budaya tersebut. Inilah, barangkali, anasir yang menyebabkan Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias kontroversial.
Sementara Moeslim Abdurrahman, sahabat dekatnya, mengibaratkan Gus Dur sebagai tokoh yang hendak membebaskan umat dari beban sejarah politik masa lalunya, seraya menyeru agar umat Islam Indonesia mampu menjawab beberapa persoalan mendesak, seperti kemajemukan dalam berbangsa dan bernegara, demokratisasi, dan keadilan sosial. Di sisi lain, Gus Dur, menurutnya, termasuk salah satu tokoh penting yang melengkapi khazanah intelektual Islam Indonesia lewat literatur klasik. Dalam konteks inilah, ia —bersama Nurcholish Madjid— lantas disebut sebagai kelompok neo-modernist.
Mempertimbangkan penjelasan di atas, kita kadang menyayangkan sekali mengapa sebagian orang bisa mencapai kesimpulan bahwa pemikiran atau tindakan Gus Dur tidak konsisten, hanya karena melihat zig-zag politiknya yang artistik itu. Padahal tampak jelas visi dan gagasan makronya. Hal itu bisa jadi karena mereka tidak begitu intens membaca tulisan-tulisan Gus Dur dan tidak menangkap narasi-besar Gus Dur. Jika mereka bersedia membaca lebih dekat tulisan-tulisan yang dihasilkan Gus Dur, maka akan terlihat konsistensi pemikiran dan sikap Gus Dur, meski dengan cara zig-zag dan melawan arus ke sana ke mari. Keterkaitan satu tulisan dengan tulisan lainnya itulah yang membentuk substansi pemikiran progresif, kritis-transformatif, dari Gus Dur.
Untuk mengetahui spektrum intelektualitas Gus Dur dari waktu ke waktu, dan kecenderungan wacana yang dikembangkannya, lihat periodesasi berdasarkan dekade. Dari tabel tersebut, tergambar produktivitas tulisan Gus Dur dari periode ke periode. Secara kuantitatif, statistika tulisan Gus Dur dari tahun ke tahun kian meningkat: dari 37 buah (1970-an) ke 189 buah (1980-an) hingga 253 buah (1990-an). Wacana yang dikembangkannya pun tampaknya mengikuti garis statistik ini.
Periodesasi Tulisan dan Kecenderungan Wacananya (1970-an sampai 2000)
No.
Periode
Jumlah Tulisan
Kecenderungan Wacana
1.
1970-an
37 buah
Tradisi pesantren, modernisasi pesantren, NU, HAM, reinterpretasi ajaran, pembangunan, demokrasi
2.
1980-an
189 buah
Dunia pesantren, NU, ideologi negara (pancasila), pembangunan, militerisme, pengembangan masyarkat, pribumisasi Islam, HAM, modernisme, kontekstualisasi ajaran, partai politik
3.
1990-an
253 buah
Pembaruan ajaran Islam, demokrasi, kepemimpinan umat, pembangunan, HAM, kebangsaan, partai politik, gender, toleransi agama, universalisme Islam, NU, globalisasi

Kompleksitas wacana yang menjadi perhatian Gus Dur menunjukkan bahwa Gus Dur adalah seorang generalis, bukan spesialis keilmuan tertentu. Hampir setiap isu kontemporer direspon Gus Dur. Ini mungkin berkaitan dengan posisinya sebagai pemimpin publik dan aktivis gerakan sosial, terutama di organisasi NU. Sebagai pemimpin berjuta-juta umat pada level nasional dan internasional (selaku Presiden WCRP) memaksa Gus Dur untuk terlibat dalam segala urusan publik, mulai dari wacana internal keagamaan dan ke-NU-an hingga wacana global yang menjadi trend Dunia Ketiga.
Meski secara kuantitatif garis statistiknya kian meningkat, namun belum tentu untuk kualitas tulisan-tulisan tersebut. Untuk mengetahui secara pasti kualitas masing-masing tulisan tersebut kiranya butuh penelitian khusus. Tetapi dengan asumsi bahwa standar tulisan di jurnal ilmiah, seperti Prisma, lebih serius dan lebih bermutu ketimbang tulisan artikel atau kolom di Majalah atau Surat Kabar Harian, maka periode pertengahan akhir 1970-an hingga pertengahan pertama 1980-an merupakan puncak keemasan intelektual Gus Dur. Kurun waktu inilah kiranya bisa disebut "periode ilmiah" Gus Dur. Sepanjang tahun tersebut, Gus Dur mencurahkan energi intelektualnya ke berbagai media massa terkemuka, seperti di Prisma, Tempo, dan Kompas. Beberapa tulisannya juga termuat di berbagai media massa ternama, seperti Pelita, Pesantren, Aula Horison, Pesan, dan Peninjau. Tulisan-tulisan serius di Prisma, dan kolom-kolom kritis di Tempo, lahir pada periode ini. Selain beberapa dalam bentuk antologi buku,10 ada dua buah buku yang diterbitkan dalam periode ini, yaitu buku Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: CV Dharma Bhakti, 1978) dan buku Muslim di Tengah Pergumulan (Jakarta: Lappenas, 1981). Dua-duanya bunga rampai dari tulisan-tulisannya tentang pondok pesantren dan tentang Islam versus modernitas dengan berbagai pembaruannya.
Sementara pada periode pertengahan akhir 1980-an hingga pertengahan awal 1990-an, tulisan Gus Dur memang tersebar ke berbagai media massa dengan jangkauan lebih luas lagi. Bukan hanya Prisma, Tempo, Kompas, Pesantren, melainkan juga di Panji Masyarakat, Aula, Pelita, Editor, Amanah, Media Indonesia, Jawa Pos, Forum Keadilan, dan sejenisnya. Akan tetapi, tulisan-tulisan pe­riode ini relatif lebih pendek dan singkat ketimbang pada periode sebelumnya. Sebagian tulisannya diterbitkan dalam bentuk antologi.11 Sedangkan dalam bentuk bunga rampai hanya satu, yakni Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan Transformasi (Gakarta: RMI bekerjasama dengan Jawa Pos, 1989).
Sementara pada periode 1990-an akhir, tulisan-tulisan Gus Dur selain dalam bentuk artikel dan kolom di pelbagai media massa juga menulis kata pengantar untuk sejumlah buku. Pada periode inilah tulisan-tulisan Gus Dur mulai diterbitkan dalam bentuk buku dan antologi buku secara meluas.12 Praktis, tulisan-tulisan periode ini, boleh dikatakan, selain memang ada inovasi baru, juga berupa pengembangan dan reproduksi dari gagasan-gagasan besar periode sebelumnya.
Mengapa demikian? Sebab, seperti berulang kali dikemukakan sebelumnya, Gus Dur itu selain intelektual dan pemikir, juga seorang aktifis organisasi dan gerakan sosial. Di sini, produktivitas tulisan Gus Dur tampaknya menunjukkan garis berbanding terbalik dengan frekuensi aktivitas gerakan sosialnya. Ketika Gus Dur belum menjadi Ketua Umum PBNU, Gus Dur sangat kreatif dan produktif menulis: menghasilkan banyak karya tulis intelektual yang bermutu dan genuine. Tulisannya tajam, kritis, dan disertai referensi yang handal. Tetapi, setelah Gus Dur duduk di puncak kepemimpinan PBNU lebih sering terlibat di berbagai gerakan sosial, seperti NGO's, Forum Demokrasi, WCRP, GANDI, dengan akselarasi gerakan yang tinggi, maka produktivitas tulisan pun menurun. Tulisan-tulisan ilmiah bermutu itu berganti dengan komentar-komentar dan statemen-statemen yang hampir tiap hari menghiasi wacana Koran atau Majalah. Apalagi setelah nuansa gerakan politiknya kian pekat di penghujung 1990-an, di mana Gus Dur menjadi deklarator PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan sekarang menjadi Presiden RI Keempat, maka tulisan-tulisan itu tampaknya akan berubah menjadi pidato-pidato dan statemen-statemen politik saja. Demikian gambaran singkat spektrum intelektualitas Gus Dur dan hubungannya dengan gerakan praksis sosialnya.
Dengan pemaparan data-data karya tulis intelektual ini, tampak jelas bahwa Gus Dur ternyata bukan hanya seorang aktifis gerakan sosial dan gerakan politik semata, melainkan juga seorang intelektual dan pemikir cerdas yang terkemuka, sejajar dengan pemikir-pemikir besar lainnya, baik di Indonesia maupun di kalangan internasional. Meski ia tak pernah belajar di dunia akademik yang terdepan dalam ilmu-ilmu sosial, tetapi dalam daftar karya intelektual Gus Dur itu jelas terlihat kedalamannya meramu ilmu-ilmu sosial dengan pengetahuan keagamaan kritis.
Ilmuwan Multitalenta
Dalam beberapa kali diskusi rutin kami di INCReS Bandung sepuluh tahun yang lalu dan di Fahmina-institute lima tahun terakhir ini, tersirat suatu kesimpulan untuk tidak memposisikan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke dalam kelompok-kelompok aliran pemikiran yang ada atau ke dalam golongan-golongan ahli disiplin ilmu yang lazim diberikan oleh perguruan tinggi kita. Bukan karena takut salah atau latah, juga bukan karena khawatir terkena tuduhan Benedict R.O'G Anderson tentang scholarly prejudices (prasangka ilmiah) dalam studi-studi Indonesia yang pernah ditujukan pada para Indonesianis yang karenanya untuk beberapa dasawarsa wacana Nahdlatul Ulama (NU) seolah menjadi tak terpikirkan (unthought-of).
Akan tetapi memang terdapat sejumlah keberatan untuk memposisi­kan Gus Dur dalam satu segi disiplin ilmu saja. Selain karena tak cukup dukungan ilmiah yang kuat dan meyakinkan, juga secara relatif Gus Dur bisa masuk ke dalam semua kategori dan golongan-golongan yang telah dibuat orang. Lebih dari itu, Gus Dur bisa berada di luar semua kategori-kategori positivistik itu (beyond the categories of positivism).
Membaca kembali secara cermat tulisan-tulisan Gus Dur sejak tahun 1970-an hingga sekarang, baik yang sudah dibukukan belakangan maupun yang masih manuskrip, terasa ada nuansa reflektif yang mendalam untuk beberapa cabang disiplin ilmu. Tak tampak bahwa dia pakar dalam satu disiplin ilmu secara penuh, juga tidak tepat apabila Gus Dur diposisikan secara eksesif bahwa ia tidak menguasai satu bidang keilmuanpun. Tulisan-tulisan Gus Dur yang berjumlah lebih dari 500 judul itu tampak menyediakan banyak hal untuk banyak objek kajian, tapi tak satu pun dari kajian itu yang tuntas hingga ke akar-akarnya, kecuali jika direkonstruksi ke dalam satu wacana yang utuh. Tulisan-tulisan itu memang kompleks dan secara materi boleh dikata komprehensif, menarik, tajam, dan selalu mengandung gagasan-gagasan cerdas, tetapi tetap saja masih menyisakan ruang untuk bertanya akibat penulisannya yang singkat dan kadang terkait dengan peristiwa atau wacana yang ngetren saat itu.
Akan tetapi sebagai penggagas dan pemikir, Gus Dur sangat maju dan kreatif melontarkan hal-hal baru, semaju dan kreatifnya dalam memperjuangkan liku-liku demokrasi di Indonesia. Jika diibaratkan suatu hidangan dalam suatu pesta, maka Gus Dur adalah seorang koki yang serba bisa masak berbagai jenis makanan dan mampu menyediakannya ke dalam pesta itu secara menarik; di dalam setiap masaknya, koki itu kerap menemukan ramuan masakan terbaru yang belum ada sebelumnya, tetapi —entah kenapa— ramuan terbaru itu tak pernah dimasaknya hingga selesai.
Walhasil, secara kelakar —meniru catatan harian Ahmad Wahibdapat dikatakan bahwa "Gus Dur bukanlah seorang sosiolog, bukan seorang politikus, bukan seorang politisi, bukan seorang seniman, bukan seorang budayawan, bukan seorang agamawan, bukan seorang feminis, dan juga bukan seorang pemikir, tapi Gus Dur adalah semuanya". Lebih dari itu, Gus Dur juga se­orang humoris. Sebagai budayawan, agamawan, politikus, atau apa saja namanya, orang segera memahami Gus Dur, tapi untuk status yang terakhir ini ada penjelasan kecil dari Gus Dur. Lewat tulisan kolomnya "Melawan Melalui Lelucon" di Tempo tahun 1981, Gus Dur menyatakan "Lelucon, dan bentuk-bentuk humor lain, memang tidak dapat mengubah keadaan atas 'tenaga sendiri', sebagaimana juga ideologi-ideologi besar tidak mampu melakukan hal itu sendirian. Namun, lelucon yang kreatif tetapi kritis akan merupakan bagian yang tidak boleh tidak harus diberi tempat dalam tradisi perlawanan kultural suatu bangsa, kalau bangsa itu sendiri tidak ingin kehilangan kehidupan waras dan sikap berimbang dalam menghadapi kenyataan pahit dalam lingkup sangat luas. Dera kepahitan dalam jangka panjang tidak mustahil akan ditundukkan oleh kesegaran humor."
Kelakar model ini menemukan pembenarannya ketika dihubung-hubungkan dengan gerakan dan manuver-manuvernya, baik sebelum maupun saat dan setelah menjadi Presiden RI Keempat. Jika hanya dilihat dari satu perspektif saja, manuver dan gerakan itu selalu mengundang kontroversi dan kenylenehan-kenylenehan yang berarti. Kontroversi ini tidak saja dirasakan oleh kalangan NU, melainkan juga oleh mereka yang sering disebut dengan berbagai julukan akademis itu. Ini tidak lain karena Gus Dur selalu menampilkan peran yang multidimensi dengan multistatus di alam kehidupan ini sekaligus.
Oleh karena itu, kami setuju dengan Hairus Salim HS dan Nuruddin Amin, dua peneliti muda kreatif NU yang lahir dari rahim LKiS Yogyakarta, bahwa untuk memahami sosok Gus Dur secara utuh harus dilakukan oleh banyak pengamat dari banyak jalur disiplin. Periodesasi juga penting dilakukan untuk mengetahui masa-masa yang paling menentukan bagi formasi intelektualitas Gus Dur.
Dasawarsa 1970-an hingga 1980-an awal, jika kita mau membagi-bagi secara periodik, di mana Gus Dur sangat kreatif menulis, bisa disebut sebagai "periode-ilmiah" Gus Dur. Yakni ketika Gus Dur lagi gandrung dengan penggunaan metodologi ilmu sosial —terutama antropologi— untuk menjelaskan 'ideologi'nya. Pada periode ini, pemikiran dan gerakan Gus Dur terfokus pada persoalan sosial, budaya, politik, dan keagamaan yang langsung berkaitan dengan pergolakan dunia pesantren. Sementara akhir dasawarsa 1980-an hingga 1990-an awal adalah periode sepak terjang politik Gus Dur dan munculnya ide-ide Gus Dur yang berkaitan dengan demokrasi, pluralisme agama, humanitarianisme, kebebasan berpendapat, pribumisasi Islam, dan lain-lain, yang bisa dianggap sebagai praksis dari pelbagai pemikiran yang dilontarkannya sekitar satu dasawarsa silam.
Belakangan, 1990-an akhir, Gus Dur lebih tampak sebagai politisi yang ikut terlibat dalam gonjang-ganjing politik dalam negeri. Lebih-lebih setelah dirinya dipilih MPR sebagai Presiden RI Keempat, menggantikan BJ Habibie, pada 20 Oktober 1999. Meski sebagai politisi, tetapi Gus Dur tetap menjadi budayawan yang manuver dan pernyataannya membuat dunia politik menjadi dunia seni, yang tidak sakral, tidak hitam-putih, dan tidak menang-menangan. Itu sumbangan terbesar Gus Dur kepada praksis politik kita.
Sejalan dengan berkurangnya produktivitas tulisannya, pernyataan dan manuvernya kian nyleneh dan kontroversial, yang oleh sebagian orang sulit dipahami dengan ukuran rasionalisme dan logika-logika positivistik. Begitulah seni dan menariknya: Gus Dur bukan lagi koki, ia malah hidangan pesta itu sendiri, di mana setiap orang bisa datang ke pesta itu dan bisa menikmati setiap jenis makanan sesuai selera. Greg Barton, Greg Fealy, Douglas E Ramage, Al-Zastrouw Ng, Arief Affandi, Ellyasa K.H. Dharwis, Dedy Djamaluddin Malik & Idi Subandy Ibrahim, Laode Ida & A Thantowi Jauhari, Ahmad Bahar, Ma'mun Murod al-Barabasy, dan Saeful Arief, melalui bukunya masing-masing adalah sedikit orang yang mampu menikmati hidangan itu. Bagi orang yang tidak memahami kosmologi dan antropologi Gus Dur tampak tak dapat menikmati, bahkan enggan mencicipi.
Itulah sebagian sosok Gus Dur, beyond the positivism. Penampilannya di wilayah publik selalu mengundang polemik: kritik dan apresiasi. Pemikiran, gagasan, dan perilakunya tidak mudah begitu saja dipahami. "Sulit memahami Gus Dur". Pernyataan ini biasanya terdengar dari orang-orang yang kebingungan membaca berbagai pernyataan Gus Dur. Para pengamat politik yang menganalisis pernyataan Gus Dur hanya dengan kerangka teori tertentu pasti tak mudah segera memahaminya. Membaca Gus Dur dengan paradigma positivistik diduga kuat akan gagal memberikan penjelasan yang sebenarnya.
Pernah ada pada tahun 1999, seorang pengamat politik muda yang marah-marah dengan (memaksa) melarang pers memberitakan manuver Gus Dur karena dianggap irrasional. Sinyalemen pun muncul —entah ngejek atau memuji— untuk menandai manuvernya, bahwa Gus Dur merupakan tambahan baru dari tiga rahasia Tuhan yang pernah disitir Nabi SAW. Tak seorang pun akan bisa mengetahui kecuali Allah SWT tentang: kematian, rizki, jodoh, dan Gus Dur.

3.             Informasi Media
Seperti pemberitaan berbagai media massa, di penghujung tahun 2009 lalu, bangsa Indonesia telah kehilangan mantan Presiden Republik Indonesia periode 1999-2001, K.H. Abdurrahman Wahid, lebih akrab dipanggil GusDur, seorang tokoh nasionalis yang humanis dan humoris. Dari pemaparan media massa cetak maupun elektronika, dapat disimak bagaimana kiprah GusDur sebagai bapak bangsa, saat memimpin negara ataupun ketika membesarkan organisasi keumatan. Ada beberapa teladan utama, menurut opini pribadi, yang terkesan tampak secara personal, dari kisah biografi GusDur sebagai panutan bangsa.
1. Hargai dan Hormati Setiap Perbedaan
Ketika jaman pra reformasi, kebebasan berekspresi dalam kemajemukan adat, tradisi, ras, etnis, agama, agak terkekang pelaksanaannya, maka pada era GusDur semua itu difasilitasi dengan mudah. Beliau selalu mengingatkan pentingnya saling menghargai dan menghormati suasana perbedaan pruralisme (kemajemukan) yang terdapat dalam lingkungan pergaulan bangsa. Sebagaimana spirit semboyan bangsa Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap dalam satu kesatuan bangsa.
2. Jangan Menyerah Pada Keadaan dan Keterbatasan
Teladan semangat GusDur, turut berpartisipasi aktif dalam kancah dunia politik sampai mengantarkannya menjadi kepala negara, ditengah keterbatasan fisik yang dialaminya, merupakan rekor spesial dalam sejarah bangsa. Berarti, segala sesuatunya mungkin saja terjadi, bukan karena faktor kebetulan. Semuanya membutuhkan semangat, kerja keras, pantang mundur, untuk tidak menyerah pada keadaan dan tidak menyalahkan keterbatasan.
3. Katakan Sesuatu dengan Santai Penuh Humor
Penampilan GusDur yang bersahaja, bersahabat, dan berbicara santai apa adanya, telah banyak memberikan inspirasi bagi berbagai pihak. Dalam setiap pertemuan formal ataupun  informal, Gus Dur selalu menyempatkan diri menyelipkan selingan kata-kata humor, sehingga bisa mencairkan suasana yang kaku menjadi rileks.
C.           Analisis penulis
Dari berbagai literatur dan data statistik saya berpendapat Gus Dur tidak hanya bermain cantik dan lihai dalam berpolitik tapi seorang komunikator yang suskses meyedot komunikan untuk menafsirkan berbagai pernyataan dan tingkah polahnya.
Tanpa mengindahkan pencitraaan dengan tampil apa adanya, Gus Dur berhasil menggiring komunikan memaknai pesan darinya. Sikap luwes dan rileks Gus Dur tidak saja mencairkan ketegangan para politikus para lawan politiknya, tapi menjadi ketakutan sendiri bagi lawan politiknya.
Gus Dur telah berhasil menjadi sosok komunikator politik yang berhasil menampilkan warna baru dalam berpolitik yaitu politik humanis.
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
Pesan komunikasi politik Gus Dur dalam Gerakan Demokrasi Di Indonesia pada kalangan Nahdliyin di Samarinda dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu: (a)  pesan kemanusiaan. (b) pesan keadilan dalam pluralitas masyarakat. (c) pesan kebudayaan dalam pluralitas masyarakat, dan (d) pesan progrevitas pemikiran ke-Islam-an..
ada beberapa sebab yang mengakibatkan komunikasi politik humor Gus Dur menjadi agak kondusif dan memasuki relung pemerintahan dan lolos dari sekat-sekat protokoler. Pertama, humor politik Gus Dur diawali oleh tipe kepribadian yang memang sudah cukup mengakar di dalam pribadi Gus Dur, bahkan sebetulnya lingkungan pondok pesantren merupakan lingkungan yang sarat dengan anekdot dan lelucon. Di samping tentu saja Gus Dur sendiri yang suka humor.
Kedua yang cukup signifikan barangkali adalah implikasi kultur kiai dan pesantren. Model struktur pesantren yang sentralistik dan kultus terhadap otoritas keluarga, menjadi split terbesar kultur NU. Sentralisasi kiai di mata santri begitu sempurna menegasikan aspirasi-aspirasi kelas bawah (santri) terhadap kebijakan kiai dengan paradigma tradisi kewalian kiai. Implikasi sistemiknya adalah komunikasi yang muncul berada dalam skala yang instruktif, monologis dan bukan dialogis transformatif. Kondisi inilah yang memberikan lahan yang cukup subur untuk tumbuhnya tradisi lelucon di kalangan santri.
Ketiga, secara politis Gus Dur menerima rangkaian tekanan dari berbagai pihak sehingga intensitas ketegangan politik terhadap pribadi Gus Dur atau atas nama presiden cukup tinggi seiring dengan persoalan yang melanda di negeri ini. Maka otomatis harus ada wahana penyalur ketegangan lain sehingga Gus Dur bisa memiliki rasa enjoy, rileks dan santai. Nah kebetulan humor dan lelucon inilah yang menjadi pilihan utamanya.
Keempat, intensitas tuntutan (agregasi kepentingan) dalam hierarki kekuasaan mengacu pada masa euforia kebebasan yang kita tidak tahu kapan akan berakhir. Euforia politik ini mengakibatkan tuntutan rakyat dan publik terhadap pemerintah/penguasa sangat tajam, sehingga pada prinsipnya publik memiliki kekuatan yang seimbang dengan penguasa. Keseimbangan politik ini jelas mengakibatkan kebijakan politik menjadi tidak stabil dalam pelaksanaan pemerintahan, konsekuensi logisnya pemerintah yang harus menjadi bulan-bulanan publik. Hal yang paling menonjol saat ini adalah  protes dan gugatan rakyat kepada pemerintah cenderung diikuti dengan intensifnya tekanan melalui aksi–aksi massa yang cenderung progresif. Yang lucu mungkin adalah publik tidak terlalu tertarik lagi dengan humor politik bawah tanah dan tinggal ikut tertawa terhadap humor politik yang disajikan oleh politikus sendiri.
Kelima dalam etika politik memang tidak ada yang bisa membatasi humor, karena barangkali lontaran Gus Dur di satu pihak membuat orang tidak suka dan kemudian timbul tuntutan untuk mencabut kata-katanya. Pasti dengan enteng Gus Dur mengatakan, “Cabut ya cabut gitu aja kok repot.“



Tidak ada komentar:

Posting Komentar