BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pandangan
hidup suatu bangsa akan mempengaruhi hubungan sosial masyarakatnya yang akan
membentuk sistem kemasyarakatan, secara makro dapat dikatakan bahwa pandangan
hidup, falsafah atau ideologi suatu bangsa akan menentukan sistem
ketatanegaraan.
Terkait
dengan masyarakat pers, hampir setiap negara memiliki sistem persnya
sendiri-sendiri, sesuai dengan kebudayaan, ideologi, dan struktur
masyarakatnya. Namun, pada umumnya sistem pers yang dibentuk berguna untuk
dijadikan acuan dalam tugas dan fungsi pers sebagai alat perjuangan dan
pembangunan, penerangan, hiburan, kontrol sosial, sekaligus sebagai penyalur
dan pembentuk pendapat umum.
Menurut William A. Hachten (dalam bukunya yang berjudul “The World News Prism” Tahun 1981), ada lima sistem pers yang berlaku di dunia, yakni :
Menurut William A. Hachten (dalam bukunya yang berjudul “The World News Prism” Tahun 1981), ada lima sistem pers yang berlaku di dunia, yakni :
Pers Otoriter
Pers Liberal
Pers Komunis
Pers Revolusioner
Pers Pembangunan (disebut juga Pers dunia ketiga)
Pers Liberal
Pers Komunis
Pers Revolusioner
Pers Pembangunan (disebut juga Pers dunia ketiga)
Sistem pers
otoriter hampir secara otomatis digunakan di semua negara ketika masyarakat
mulai mengenal surat kabar sebagai wahana komunikasi. Sistem pers otoriter
telah berhasil selama dua ratus tahun membentuk dasar khusus dalam menentukan
fungsi dan hubungan pers dengan masyarakat. Penggunaan sistem ini tidak
terbatas pada abad 15 hingga 17 saja, tetapi berlanjut sampai abad modern
seperti negara Jepang, Rusia, Jerman, Spanyol, dan beberapa Negara di Asia dan
Amerika Selatan.
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Sistem Pers Otoriter
Pers dalam pengertian sempit dapat diartikan sebagai
media massa cetak seperti surat kabar, majalah tabloid, dan sebagainya. Dalam
pengertian luasnya pers berarti suatu lembaga atau media massa cetak maupun elektronik (radio
siaran, televisi, internet dll) sebagai media yg menyiarkan karya jurnalistik.
Pers dalam menjalankan fungsinya merupakan bagian dari subsistem dari sistem
pemerintahan yang melalukan fungsi kontrol sosial terhadap pemerintah dalam
membuat dan menetapkan suatu kebijakan.
Realitas menunjukkan pers memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi lingkungan yang probabilistik. Hal ini disebabkan karena pers
selalu bergulat dengan struktur masyarakat yang ada sehingga masyarakat dapat
dengan mudah menerima informasi yang disebarkan. Dari penyebaran informasi
inilah kemudian timbul berbagai opini masyarakat tentang suatu kondisi sosial.
Ini berarti secara tidak langsung pers memiliki andil besar dalam pembentukan
opini masyarakat.
Sistem Pers
Otoritarian merupakan sistem pers dimana kepemilikan
pers dikuasai oleh pemegang kekuasaan maupun pemerintahan. Dalam sistem pers
otoritarian, hal-hal yang disampaikan tidak diperkenankan untuk mengkritisi
maupun mengomentari pemerintahan, pers dalam sistem ini berupa perwujudan
perpanjangan tangan pemerintah.
Pers dalam sistem ini dikekang dan diatur ketat oleh pemerintah
atau penguasa. Peran utama pers yaitu kontrol sosial hampir tidak pernah
dijalankan oleh pers. Pers lebih berperan sebagai penyambung lidah pemerintahan.
Dalam teori ini,
media massa berfungsi menunjang negara (kerajaan) dan pemerintah dengan
kekuasaan untuk memajukan rakyat sebagai tujuan utama. Oleh karena itu
pemerintah langsung menguasai dan mengawasi kegiatan media massa. Akibatnya
sistem media massa sepenuhnya berada di bawah pengawasan pemerintah. Kebebasan
pers sangat tergantung pada kekuasaan raja yang mempunyai kekuasaan mutlak.
B.
Sejarah
Pers Otoriter
Teori ini lahir
pada abad ke-15 sampai ke-16 pada masa bentuk pemerintahan bersifat otoriter
(kerajaan absolut), hampir secara otomatis dipakai di semua negara ketika
masyarakat mulai mengenal surat kabar sebagai wahana komunikasi.
Perkembangan
otorisme pada pertengahan abad ke-15 menyebabkan timbul satu konsep otoriter di
kehidupan pers di dunia, berawal di Inggris, Perancis dan Spanyol dan kemudian
menyebar ke Rusia, Jerman, Jepang, dan negara-negara lain di Asia dan Amerika
Latin pada abad ke-16. Dengan prinsip dasar otorisme yang cukup sederhana bahwa
pers hadir untuk mendukung negara dan pemerintah. Mesin cetak yang ketika itu
baru diciptakan tidak dapat digunakan untuk mengecam dan menentang negara atau
penguasa.
Pers
bertungsi secara vertikal dari atas ke bawah dan penguasa berhak menentukan apa
yang akan diterbitkan atau disebarluaskan dengan monopoli kebenaran di pihak
penguasa. Konsep ini didukung oleh teori Hegel, Plato dan Karl Marx yang pada
inti ajarannya (meskipun cenderung pada konsep sosialisme) mengagungkan negara
sedemikian rupa dan berpendapat bahwa negara memiliki hak dan kewajiban untuk
membela dan melindungi dirinya sendiri dengan segala cara yang dipandang perlu.
Kekuatan
pers yang diakui sebagai kekuatan keempat (fourth estate) menyebabkan negara
atau penguasa mengalami phobia terhadap pers yang selalu menjadi pihak yang
pertama tahu dan biang untuk menyebarkan kelemahan dan cela atau hal-hal yang
merugikan negara atau penguasa.
Bagi
penguasa otoriter keanekaragaman dapat menimbulkan konflik dan ketidaksepakatan
yang akibatnya sangat mengganggu dan bahkan sering subversif. Konsensus dan
keseragaman merupakan tujuan yang logis dan dapat dipahami dalam komunikasi
massa. Seperti pendapat yang dikemukakan Samuel Johnson bahwa setiap masyarakat
memiliki hak untuk mempertahankan ketertiban dan perdamaian di depan umum, maka
masyarakat berhak untuk melarang penyebaran pendapat yang cenderung berbahaya.
Pendapat
ini yang sebenarnya tidak masuk akal juga bagi pemimpin atau penguasa negara
berkembang yang miskin yang dihadapkan pada kenyataan bahwa keharusan untuk
melakukan integrasi politik dan pembangunan ekonomi lebih diutamakan akhirnya
tidak bisa membiarkan pendapatpendapat atau pandangan yang dianggapnya dapat
mengganggu dan menghasut.
Berkaitan
dengan konsep integritas yang diharapkan negara-negara yang sedang membangun
dimana struktur masyarakatnya berada dalam masa peralihan, media massa bisa
dianggap sebagai salah satu biang terganggunya perkembangan masyarakat dan
ketertiban. Hal inilah belakangan menjadi bahan yang menarik perhatian
mahasiswa atau sarjana komunikasi massa, dimana terdapat dugaan bahwa media
massa dilihat berkaitan dengan masalah urbanisasi yang berlangsung cepat,
mobilitas sosial, dan kerapuhan komunitas tradisional, yang secara khusus dihubungkan
dengan dislokasi sosial, dugaan meningkatnya kebobrokan moral, kriminalitas dan
kekacauan.
Munculnya
film dari luar dan ketakutan bahwa komikkomik impor berpotensi untuk merusak
dan menghambat perkembangan berpikir anak menjadikan pemerintah merasa memiliki
hak untuk mengawasi media massa. Komunikasi massa seringkali dikatakan
individualistis, impersonal, dan anomis, oleh karena itu komunikasi massa
sangat menunjang punahnya kontrol sosial dan solidaritas. Dari sinilah
pemerintah atau kelas penguasa mengambil tindakan dengan melakukan kontrol pada
media massa/pers. Secara sah atau tidak sah teori ini membenarkan penguasaan
media oleh pihak yang berkuasa dalam masyarakat.
C.
Fungsi
dan ciri-ciri Pers Otoriter
Kekuasaan
yang ada pada tangan pemerinah, pada mulanya ada di tangan gereja. Mereka
menganggap dirinya mendapat wahyu dari Yesus Kristus untuk membimbing
masyarakat agar tidak menyimpang. Akhirnya pemikiran-pemikiran yang dibenarkan
gereja menjadi keharusan. Tokoh-tokoh ini adalah Plato, Machiavelli, Hobbes,
Hegel, serta Trotsky.
Prinsip utama:
· Media
seyogyanya tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak wewenang yang ada.
· Media
selamanya (akhirnya) harus tunduk pada penguasa yang ada.
· Media
seyogyanya menghindari perbuatan yang menentang nilai-nilai moral dan politik atau
dominan mayoritas.
· Penyensoran
dapat dibenarkan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini.
· Kecaman
yang tidak dapat diterima terhadap penguasa, penyimpangan dari kebijaksanaan
resmi, atau perbuatan yang menentang kode moral dipandang sebagai perbuatan
pidana.
· Wartawan
atau ahli media lainnya tidak memiliki kebebasan di dalam organisasi medianya.
Para Tokoh Pemikir
a. Plato
Bentuk
pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan aristokrat atau kebangsawanan.
Sifat dasar manusia termasuk keinginan-keinginan materialnya dan perasaan
mementingkan diri sendiri cenderung merendahkan derajat pemerintahan. Plato
beranggapan bahwa negara akan selamat hanya apabila dipegang oleh orang-orang
bijak, misalnya pada magistrat yang memerintah yang memerintah denga otoritas
moral dan menggunakan otoritas tersebut untuk menjaga agar elemen masyarakat
yang paling dasar tetap pada garisnya. Plato yakin bahwa masyarakat yang ideal
adalah masyarakat di mana negara membentuk dan memaksakan tujuan-tujuan politik
dan budayanya. Pandangan demikian berarti bahwa ada pengendalian ketat terhadap
terjadinya opini dan diskusi dalam masyarakat.
b. Machiavelli
Machiavelli
tidak mempersoalkan tujuan dan arah negara. Yang dipermasalahkan adalah cara
untuk mendapatkan dan agar tetap memegang kekuasaan politik. Keamanan negara
harus dapat dicapai dengan kebijakan penguasa yang realistis dan nonmoralis.
Dibawah doktrin seperti itu diskusi dalam masyarakat harus dibatasi apabila penguasa
menganggap bahwa diskusi itu mengancam kedudukannya.
c. Thomas Hobbes
Berdasarkan
dua keinginan dasar manusia, yaitu bebas dari penderitaan dan ingin berkuasa,
Hobbes mengembangkan suatu sistem filsafat politik yang lengkap dimana
kekuasaan mengawasi kegiatan tiap orang demi kepentingan banyak orang ialah
yang terpenting. Kekuasaan untuk menjaga ketertiban dan kedamaian merupakan hal
yang utama.
d. George Hegel
d. George Hegel
Ahli
filsafat dari Jerman ini dijuluki sebagai pencetus cikal bakal komunisme dan
fasisme. Kebebasan perseorangan menurut Hegel untuk mengetahui bahwa orang
tersebut tidak bebas, tetapi tindakannya ditentukan oleh sejarah, masyarakat,
terutama ide absolut yang terwujud dalam negara.Kaum Tudor di Inggris pada abad
16 memberikan hak-hak paten yang sifatnya eksklusif kepada orang-orang pilihan
yang memonopoli bidang penerbitan dan mengeruk keuntungan sepanjang mereka
tidak berusaha menggoncangkan pemerintahan
Jurnal-jurnal
resmi yang mewakili pemerintah diterbitkan di semua negara Barat. Jurnal-jurnal
ini diberi tugas untuk memberikan gambaran yang tepat dan cermat tentang
kegiatan pemerintah agar disiarkan kepada masyarakat. Juga membuat tindakan
balasan untuk menghapus kesan yang salah akibat tulisan yang karena suatu dan
lain hal tidak terjangkau oleh pengawasan pemerintah.
Dikeluarkan
sistem lisensi atau perizinan untuk karya perseorangan, terutama dalam masalah
agama dan politik. Mereka harus menyerahkan hasil karya kepada wakil pemerintah
yang dianggap tahu mengenai tujuan pemerintah.
Cara
lain dalam mengawasi pers ialah pendakwaan melalui pengadilan atas pelanggaran
peraturan yang telah diterima oleh umum. Dalam semua tindakan hukum tuduhan
pengkhianatan merupakan tindakan kriminal terhadap masyarakat.
Ada
tiga kategori tindakan yang dapat digolongkan sebagai pengkhianatan, yaitu (1)
usaha menggulingkan negara, (2) terlibat dalam kegiatan yang dapat mengarah
pada penggulingan negara, dan (3) mendukung dan menganjurkan kebijaksanaan yang
dapat mengarahkan pada penggulingan negara. Hukuman bagi pengkhianatan biasanya
ialah hukuman mati sebagai senjata ampuh untuk membungkam pendapat yang
menyerang pemerintah.
Yang diijinkan
ialah semua hal yang mendukung dan mengembangkan tujuan dan kebijakan negara.
Sebaliknya, hal yang bersifat mengkritik para pemimpin politik beserta proyek-proyeknya
dilarang.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan mengenai ciri-ciri Pers Otoriter :
a) Media
tidak dapat melakukan hal-hal yang dapt merusak wewenang yang ada
b) Media
harus selamanya tunduk pada penguasa
c) Media
menghindari perbuatan yang menentang nilai moral dan politik
d) Penyensoran
dapat di benarkan untuk menerapkan prinsip-prinsip yang di anut
e) Kecaman
yang tidak dapat diterima terhadap penguasa penyimpangan dari kebijaksanaan
f) resmi
atau perbuatan yang menentang kode moral, di pandang sebagai perbuatan pidana
g) Wartawan
tidak memiliki kebebasan dalam organisasinya.
D.
Kelebihan
dan Kelemahan Sistem Pers Otoriter
Setiap
konsep yang memiliki relativisme yang tinggi karena tergantung oleh nilai,
norma bahkan kebutuhan masyarakatnya, setiap hal di dunia ini pada kodratnya
memiliki dua sisi, baik dan buruk, benar dan salah. Maka konsep otoritarian ini
pun memiliki kelebihan yang menyebabkan suatu konsep itu tetap digunakan dan
menimbulkan efek yang diinginkan masyarakat juga memiliki kekurangan.
v
Kelebihan teori otoriter:
Konflik
dalam masyarakat cenderung berkurang karena adanya pengawasan hal-hal yang
dianggap dapat menggoncangkan masyarakat. Mudah membentuk
penyeragaman/integritas dan konsensus yang diharapkan khususnya secara umum
pada negara sedang membangun yang memerlukan kestabilan. Meskipun telah disadari konsep ini cenderung
menekan hak-hak individu atau masyarakat khususnya untuk bebas mengungkapkan,
menyebarkan, dan mendapatkan informasi dari kebenaran fakta namun disadari juga
bahwa dalam masyarakat prademokrasi atau masyarakat yang berciri kediktatoran
adanya kecendrungan otoriter dalam hubungannya dengan media yang umumnya tidak bersifat
totaliter tidak bisa diabaikan. ltulah mengapa konsep itu tanpa disadari tetap bertahan
dan berlaku dengan kenyataan bahwa pada situasi tertentu konsep otoriterisme
mengungkapkan itikad yang populer dan dalam semua masyarakat terdapat berbagai
situasi di mana kebebasan pers bisa jadi bertentangan dengan kepentingan negara
atau masyarakat misalnya dalam suasana kekacauan yang ditimbulkan teroris dan
ancaman perang. Maka banyak negara melakukan pengendalian yang besar terhadap
teater, film, penyiaran dan radio yang bila dibandingkan persentasenya lebih
besar dari pada terhadap surat kabar dan buku.
v
Kekurangan :
a) Adanya
penekanan terhadap keinginan untuk bebas mengemukakan pendangan atau pendapat
b) Mudah
terjadi pembredelan penerbitan media yang cenderung menghancurkan suasana kerja
dan lapangan penghasilan yang telah mapan.
c) Tertutupnya
kesempatan untuk berkreasi.
E.
Kemunculan
dan keruntuhan pers otoriter di Indonesia
Seperti
halnya Indonesia pada masa orde baru ketika pers berpraktek konsep otoriter ini
meskipun secara teori konsep yang dipakai adalah konsep pers Pancasila dengan
inti ajaran memiliki kesamaan dengan konsep pers tanggung jawab sosial. Dengan
maksud perkembangan atau pembangunan yang sedang berjalan tidak terganggu
dengan hal-hal yang mungkin mengancam integritas maka pemerintah ketika itu
merasa memiliki hak untuk mengawasi pers yang telah atau dianggap telah
melanggar tanggung jawabnya pada masyarakat, keadaan ini merupakan konsep
otoritarian tradisional. Pada masa itu pers Indonesia diperbolehkan untuk mencari
berita, menyebarkannya, namun dengan kebijakan untuk negara.
Pemerintah
membiarkan pers selama pers tidak mengkritik dan menentang kebijakan pemerintah
atau hal-hal yang tidak menguntungkan pemerintah. Sayangnya pers memakai
kesempatan ini untuk mementingkan nilai-nilai komersil dengan mengabaikan nilai
ideal pers, sehingga konsep otoritarian bukan lagi menjadi kepentingan
pemerintahan. Meskipun demikian kenyataan bahwa pers memiliki cukup nyali untuk
menyebarkan informasi kebenaran yang kemudian dianggap menyinggung pemerintah,
sehingga sekitar tahun 90-an dan awal 90-an beberapa penerbitan pers dicabut
SIUPP-nya.
Kenyataan
tersebut dapat dilihat bahwa terdapat benturan kepentingan yang secara umum
media massa ketika itu merupakan salah satu bagian atau sub sistem sosial
politik yang berlaku. Permasalahan yang terjadi pada media massa merupakan produk
atau hasil dari permasalahan sistem sosial politik yang ada. Menurut McQuail, bahwa
media massa, sebagai suatu bagian dari sistem kenegaraan, maka kepentingan
nasional bangsa yang dirumuskan oleh kalangan pembuat kebijakan akan menentukan
mekanisme operasionalis media massa dalam menjalankan fungsi dan tujuannya.
Pihak pemerintah menginginkan agar media massa berfungsi sebagai sarana
pemeliharaan integritas bangsa dan negara, sarana pemeliharaan kestabilan politik.
Sementara
itu khalayak mengharapkan media massa berfungsi sebagai sumber informasi yang
dipercaya, sarana pengetahuan dan budaya. Di masa itu pers berada dalam kondisi
yang tidak berdaya dari tekanantekanan kepentingan pihak penguasa dan pengusaha
media. Tekanan-tekenan ini dengan alasan demi stabilitas nasional dan
kepentingan pembangunan ekonomi telah membuat media massa cenderung untuk hanya
berorientasi pada kepentingan pemerintah dan pemilik modal dan mengabaikan
kepentingan khalayak secara luas. Fungsi kontrol media massa khususnya untuk
menyampaikan berbagai kritikan serta pandangan yang berbeda mengenai relaitas
pembangunan cenderung menurun atau bahkan tidak ada sama sekali. Hal ini
disebabkan dua hal yaitu pertama bahwa ketidak berdayaan para pengelola media
massa menghadapi tekanan politik ekstemal dalam mendefinisikan dan
menggambarkan 'realitas sosial'. Tekanan eksternal ini tentu saja tidah hanya
mempengaruhi 'obyektifitas antar-media'. Kedua bahwa secara struktural politik
media yang berlaku di masa orde baru diasumsikan telah semakin meperkokoh
integrasi vertikal dalam sistem komunikasi politik kita.
Tercermin
dengan dimilikinya berbagai media massa oleh unsur-unsur bagian elit politik
yang diperkirakan memiliki keseragaman konsepsi mengenai relaitas sosial.
Ø Sejarah Pers Otoriter di Indonesia
Pers model ini di Indonesia mulai terlihat geliatnya
saat presiden soekarno mengeluarkan dekrit presiden. Sistem pemerintahannya
terkenal dengan nama Demokrasi Terpimpin berlangsung dari tahun 1957-1965.
Pada masa ini, pers cenderung bersifat Komunis,
karena berita-berita yang dikeluarkan kantor berita tersebut cenderung pro-PKI.
Tetapi pada akhir masanya diterbitkan surat kabar – surat kabar lain guna
mengimbangi pers PKI. Dilanjutkan dengan masa transisi kedua (1965-1974) yang
ditandai dengan awal pemerintahan orde baru. Pada awalnya, kehidupan pers di
Indonesia bersifat Liberal dan pers-pers yang bersifat komunis dihilangkan.
Pers bisa mengkritik jalannya pemerintahan, pemerintahan Orde Baru melakukan
pembatasan kepada pers, dan meberlakukan pencabutan izin bagi pers yang
dianggap mengganggu jalannya pemerintahan.
Kemudian pada tahun 1974-1999, pers cenderung
tertutup dan bersifat pragmatis. Pers kehilangan idealisme dan daya kritisnya
terhadap kehidupan sehari-hari. Pers sangat berhati-hati dalam menyikapi wacana
keterbukaan politik agar tidak berdampak buruk terhadap kelangsungan hidupnya.
kebanyakan
negara yang menganut sistem pers otoritarian adalah negara dengan sistem
pemerintahan kerajaan atau monarki. Seperti di malaysia, Pers di sana lebih
mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Pers Malaysia tidak pernah
memberitakan hal-hal yang negatif tentang suasana negerinya sendiri. Berbeda
dengan pers di Indonesia yang sangat gencar memberitakan hal-hal apapun meski
berbau negatif bagi penguasa.
Orde Baru bangkit sebagai puncak kemenangan atau rezim Demokrasi Terpimpin
yang pada hakikatnya telah dimulai sejak tahun 1964 tatkala kekuatan Pancasila,
termasuk pers, mengadakan perlawanan terbuka terhadap ofensif golongan PKI
melalui jalur Manipolisasi dan Nasokomisasi. Kehancuran G30S/PKI merupakan awal
’pembenahan’ kehidupan nasional, pembinaan di bidang pers dilakukan secara
sistematis dan terarah. Pada masa ini produk perundangan pertama tentang pers
adalah UU no 11 tahun 1966. pengembangan pers nasional lebih lanju diwujudkan
dengan mengundangkan UU no 21 tahun 1982 sebagai penyempurnaan UU no 11/1966.
Penciptaan lembaga Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUUP) mencerminkan usaha
nyata ke arah pelaksanaan kebebasan pers yang dikendalikan oleh pemerintah atau
kebebasan pers yang bertanggung jawab pada pemerintah, suatu bentuk
pengadopsian terhadap teori pers otoriter.
Terlepas dari kritik terhadap konsep penerbitan untuk mengatasi represi
politik, pada tahun 1980-an banyak surat kabar yang menyesuaikan kebijakannya
pada sistem politik yang berlaku (Hermawan Sulistyo, dalam Maswadi Rauf 1993).
Surat kabar bukan hanya dipahami sebagai saluran kegiatan politik, namun juga
sebagai saluran kegiatan ekonomi, budaya, soial, dan sebagainya. Ukuran ekonomi
tampak dari penerbitan pers yang melihat hal ini sebagai lapangan bisnis.
Karena alihan konsep ini, banyak kalangan pers yang kemudian menghindari
’wilayah rawan’ dengan membuka segmen pembaca baru. Fenomena yang paling
mencolok ialah menjamurnya jumlah media yang berebut pangsa pasar di kalangan
pembaca wanita. Kelompok Femina, misalnya, juga mengelola Ayahbunda, Gadis, dan
Sarinah Group. Kelompok Gramedia juga terlihat menghindari ’daerah rawan’
dengan mengelola Nova, Hai, Intisari, Tiara, Bola, Bobo, dan sebagainya.
Kemudian pada tahun 1998, lahirlah gerakan reformasi terhadap rezim Orde
Baru. Keberhasilan gerakan ini, melahirkan peraturan perundangan-peraturan
perundangan sebagai pengganti peraturan perundangan yang menyimpang dari
nilai-nilai Pancasila. UU no 40 tahun 1999 merupakan salah satu contoh. Sejak
sistem politik Indonesia mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara normatif,
kita telah menganut teori pers tanggungjawab sosial (kebebasan pers yang
bertanggung jawab pada masyarakat/kepentingan umum). Berbeda dengan UU no 11
tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah
untuk mengontrol sistem pers, UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol
kepada masyarakat. Penanda itu terletak antara lain
pada pasal 15 dan 17 UU no 40 tahun 1999.
UU Pokok Pers No.40/1999 sebenarnya telah memberi landasan yang kuat bagi
perwujudan kemerdekaan pers di Indonesia. Namun dalam praktiknya hingga kini
kemerdekaan pers belum berlangsung secara substansial karena masih lemahnya
penghargaan insan pers terhadap profesinya. Banyak sekali terjadi pelanggaran etika dan profesionalisme jurnalistik
yang justru kontraproduktif bagi esensi kemerdekaan pers. Maraknya aksi-aksi
massa terhadap kantor penerbitan di samping menunjukkan rendahnya apresiasi
masyarakat terhadap kebebasan pers, juga diakibatkan oleh masih rendahnya
penghargaan insan pers terhadap kebebasannya. Dalam menghadapi pers yang nakal,
kita tidak bisa begitu saja berpendapat bahwa ketidakpuasan terhadap pers dapat
dilakukan melalui protes, klarifikasi maupun koreksi terhadap penerbitan pers
karena masyarakat dapat menggunakan haknya untuk menggugat ke pengadilan.
BAB
III PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Teori pers otoriter,diakui sebagai teori
pers paling tua,berasal dari abad ke-16,berasal dari falsafah kenegaraan yang
membela kekuasaan absolut.Penetapan tentang “hal-hal yang benar” dipercayakan
hanya kepada segelintir “orang bijaksana” yang mampu memimpin.Jadi,pada
dasarnya, pendekatan dilakukan dari atas ke bawah.Pers harus mendukung
kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada negara.Para penerbit diawasi melalui
paten-paten,izin-izin terbit dan sensor.
Konsep ini menetapkan pola asli
bagi sebagian besar system-sistem pers nasional dunia, dan masih bertahan
sampai sekarang.Sebagian besar dunia selama beberapa periode telah menerima
prinsip-prinsip dasar otoritarianisme sebagai pedoman tindakan –tindakan
social,dan telah dipakai dalam pengawasan,pengaturan dan penggunaan media
komunikasi massa.Walaupun teori otoriter telah dibuang di banyak negara
demokratis,tetapi praktik-praktik otoritarian cenderung mempengaruhi proses
demokrasi.Bahkan,praktek otoritarian hampir memaksa pemerintah libertarian
mengambil langkah-langkah balasan beberapa aspek tidak dapat dibedakan dengan
cara-cara otoritarian.
B.
SARAN
Dalam hal ini
bagaimanapun pers seharusnya tidak dapat dikekang oleh pemerintah yang berkuasa
baik itu siapapun karena dalam hal ini ini pers berkedudukan sebagai salah satu
penyeimbang dalam suatu proses pemerintahan serta pers juga berperan sebagai
sebuah lembaga yang bertindak sebagai control politik, social dalam suatu
pemerintahan. Pers tidak boleh di batasi secara otoriter, karena dengan hal ini
dapat mengurani kinerja akan fungsi pers itu sendiri. Tetapi pers juga tidak
boleh seenaknya dalam hal membuat pemberitaan, para insan pers haruslah
bersikap professional dan selalu berprilaku objektif. Disamping itu para insan
pers juga harus tunduk kepada kode etik mereka serta hukum dan undang-undang
yang berlaku di negara ini.
terima kasih yaaa,, tulisan anda sangat membantu tugas kuliah saya.
BalasHapus