Kamis, 13 Oktober 2011

ucanmencarimakna: surat wasiat satu

ucanmencarimakna: surat wasiat satu: Tuhan.. jika hari ini batas terakhirku di dunia ini, tolong Kau sebentar melirik rintihanku ini, Aku tau, aku tak begitu dekat mengenal-M...

Jumat, 07 Oktober 2011

surat wasiat satu

Tuhan..
jika hari ini batas terakhirku di dunia ini, tolong Kau sebentar melirik rintihanku ini,
Aku tau, aku tak begitu dekat mengenal-Mu, tapi untuk kali aku mohon, demi hujan yang lirih. demi bintang yang gemintang,
Tuhan, tolong sampaikan cinta dan maafku untuk orang tua, katakan padanya aku selalu ingin merindukannya setiap detik, rindu akan belainnya, rindu akan kisah-kisah yang membuatku ingin hidup seratus tahun lagi. bisikan pada mereka aku selalu ingin menjadi anak yang membanggakan dengan caraku.
Tuhan, sampaikan 


Tentang Kyai Anwar Musadda


Sang Syuhada Pembela Bangsa
            Dede lahir dari keluarga pengrajin batik di garut, 3 April 1910 angka simbol kelahirannya. Bapak ibunya menamainya Dede Masdiad, sebuah nama paduan dua latar: pendidik dan pengrajin. Garut, tanah kelahirannya begitu subur dengan hamparan pohon-pohon yang menyejukan kala tertiup angin dan gunung-gunung bertebaran. Kala itu belum ada yang menjamah daerah subur ini selain para kompeni yang kebetulan lewat.
            Ia bocah biasa. Tak seperti Bima terlahir sebagai bayi bungkus. Ia bocah yang punya sepasang mata, kaki, dan  tangan, Ia pun menjelma menjadi bocah yang selalu girang setiap saat. Namun kepedihan menghampirinya. Tiada kesedihan yang lebih besar dan beban yang lebih berat bagi seorang anak selain ditinggalkan orang tuanya. Kepedihan pun melandanya. Tak ada yang tahu  kalau ia hanya merasakan hidup sempurna selama empat tahun. Ketika berumur empat tahun ia sudah menjadi yatim ditinggalkan Ayahnya.
            Lantas itu tak membuatnya membisu akan dunia. Ia tak bermuram durja pada sang Pencipta. Karena ia bangga terlahir seorang lelaki. Baginya, lelaki adalah kunci keajaiban. Kunci yang akan membuka lebar gerbang kehidupan.Ia siap membangun kokohnya dunia dan ia menjadi salah satu pilarnya. Cinta adalah bunga kehidupan terindah yang mampu menggetarkan perasaannya. Cinta itupun ia curahkan pada sang ibu dan neneknya yang kemudian menjadi cahaya penerang hidupnya.
            Masa kecilnya belum banyak diketahui. Statusnya yang bukan keturunan menak tak memungkinkan dia menikmati sekolah di lembaga formal untuk anak bumi putera. Ia menempuh pendidikan di HIS Kristen Garut. Kemampuan yang mengagumkan dalam merangkai kata menjadi syair yang  indah membuat ia termahsyur dikalangannya sejak kecil. Ia pun selalu merobohkan sendi-sendi keinginnanya untuk menuntuik ilmu. Ia hijrah ke Sukabumi untuk melanjutkan pedidikan di MULO Kristen. Meskipun ia belajar di sekolah yang berbeda akidah, tak lantas membuatnya lupa akan akidah,. Ia pun rajin mengaji kepada Ustadz Syahroni seorang ulama asal Sukabumi. Hingga berbagai kitab mampu ia hapalkan dengan baik. Tak butuh waktu panjang untuk menamatkan sekolah di MULO, karena kecerdasannya Ia mampu  menamatkakn sekolahnya lebuh cepat. Ia pun kembali mengeruk berbagai pengetahuan di AMS Kristen Jakarta.
            Hari berganti dan tahun berbilang. Dede tumbuh menjadi pemuda yang dapat dibanggakan. Tubuhnya bagai pilar-pilar kokoh, wajahnya sederhana namun bercahaya, dan suaranya merdu  kala melantunkan syair-syair  illahi. Ia menjadi cahaya pengetahuan yang menguasai berbagai disiplin ilmu, dari yang paling sederhana hingga yang rumit.
            Kegemarannya membaca dan berkawan membuatnya lihai dalam bergaul, tak ayal ia banyak dikenal oleh berbagai kalangan. Namun kala ia berada di puncak keemasan ketika menjadi pengajar di AMS Kristen, gejolak jiwa menhampirinya. Angin berhembus membawa kisah hidupnya kepada keluarganya di Garut. Kabar itu bagai arang hitam yang membuat keluarga tersinggung, harga diri mereka ternoda mendengar dede berganti agama. Kecemasan melanda keluarga yang mengetahui Dede sering bolak balik Gereja. Kemarahan keluarga pun meluap pada Dede. Hanya ada satu cara untuk mengembalikan rasa malu keluarga yang telah di caci maki tetanga yaitu memasukan dede ke pesantren. Keputusan telah diambil, Dede dimasukan ke pesantern di Cipari yang waktu itu di pimpin oleh Kyai Harmaen. Ketika itu pun dede berganti nama menjadi Anwar Musaddad. Kecerdasannya pun tak terkekang oleh tempat. Dalam waktu yang singkat ia fasih berbahasa Arab. Kefasihan lidahnya dalam berbahasa Arab mengantarkannya ke Jakarta untuk bergabung dengan Srekat Islam ( SI) dan ia tinggal bersama H.O.S Cokroaminoto di Jakarta.
            Tahun 1930 Ia menyertai ibu dan neneknya untuk menjadi tamu Allah di Mekkah. Ketika menjalankan ibadah haji tanpa sepengetahuan ibu dan neneknya ia mendaftar sekolah di Madrasah Al-Falah. Ia pun melanjutkan sekolah di Mekkah. Ia mempelajari agama islaM ke berbagai syekh di kota suci itu. Ia pun menjadi salah satu pengajar disana, kala itu pula ia merasakan hatinya berguncang dengan hebat saat melihat seorang gadis cantik. Wajahnya anggun mempesona, lembut sikapnya dan penampilannya pun sangat bersahaja. Tak lama kemudian ia mempersunting gadis yang bernama Maskatul Millah yang kemudian berganti nama menjadi Atikah Musaddad, anak mukimin dari Ciparay, Bandung.
            Tahun 1941 kala polemik bangsa merandang , Ia kembali ke tanah air. Ilmu yang Ia peroleh yak lantas ia pendam begitu saja. Ia tebarkan semua ilmunya melalui ceramah-ceramah di seluruh Indonesia. Kemahsyurannya begitu cepat tersiar di berbagai daerah, kemudian Ia ditunjuk menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Priangan. Ia merambah ke dunia politik dengan menjadi Ketua Masyumi daerah priangan. Sepak terjangnya tak cukup samapi disitu bersama dengan sahabatnya K.H. Jusuf Tauzirie ia bergabung dengan tentara hisbullah dan memimpin meminpin pasukan. Ia menemui batu sandungan atas kritik tajamnya kepada pemerintah hingga ia di tawan oleh tentara belanda.Liar tapi cerdik ia terus berusaha membangun kemerdekaan Indonesia.
            Karirnya semakin memuncak setelah bangsa Indonesia berdaulat. Ia bagai cawan yang siap diisi anggur kemenangan. Tugas pertama ia dapatkan untuk mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) DI yogykarta. Benih-benih ilmu ia semai disana tanpa kenal lelah dan dahaga karena kini buah telah banyak dan memetiknya
            Tahun `1960 ia hijrah ke Bandung untuk kembali mendirikan dan mengelola Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung (sekarang UIN). Menjelang usia senja, Ia tak hanya berdiam diri dengan lelemahannya. Ia kerap aktif di NU (Nahdatul Ulama) dan berbagai kesibukannya diberbagai di organisasi. Namun fitrahnya sebagai sang pencerah tak cukup jadi lilin yang menerangi dirinya sendiri, Ia pun menjelama menjadi bulan yang menerangi orang lain dengan cahayanya sendiri.
             Sesudah pensiun Ia mendirikan Yayasan Pendidikan Al-Musadaddaiyah di Kampung halamannya di Garut. Yang membuka lembaga pendidikan dari taman kanak kanak-kanak samapai perguruan tinggi. Tanggal 21 Juli 2000, jiwanya yang kokoh bagai karang di laut, melemah bagai es disembur api, Ia pun wafat. Jasadnya diangkat tandu unruk dibawa keperistirahatannya yang abadi. Betapa banyak yang menagis mengiringi kepergiannya. Alam pun ikut bersedih, matahari yang biasa bersinar terik membakar kini berbalut awan, angin berhembus sejuk laksana membisikan kata-kata pelipur lara. Lantunan doa tak henti dipanjatkan. Jasad yang selalu dikenang kini telah dimasukan kedalam liang kubur yang mengganga. Jasadnya di semaikan di tempat suci yang ia bangun sendiri dengan tetesan darahnya yang kini harum melati.
            Kisah hidupnya seolah tak henti menjadi buah bibir. Begitu banyak jasa yang ia tuaikan. Andaikata seorang tidak mampu menatap wajahnya, maka mendengar namanya pun sudah cukup untuk mengembalikan gairah hidup yang hilang.
            Kini bagi dua belas anak dan 45 cucunya, K.H.Anwar Musaddad bukan hanya sang revolusi jiwa namun lebih dari itu Ia bagai harta karun yang disimpan dalam menara dan dijaga oleh para prajurit disana. Demikianlah kisah hidup seorang yang dalam kenangan. Jiwa raganya memang hilang namun cahayanya adalah peta kesurga bagi generasi muda. Ia obat untuk para syuhada yang kelaparan.

Kamis, 06 Oktober 2011

sistem pers otoriter


BAB I PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Pandangan hidup suatu bangsa akan mempengaruhi hubungan sosial masyarakatnya yang akan membentuk sistem kemasyarakatan, secara makro dapat dikatakan bahwa pandangan hidup, falsafah atau ideologi suatu bangsa akan menentukan sistem ketatanegaraan.
Terkait dengan masyarakat pers, hampir setiap negara memiliki sistem persnya sendiri-sendiri, sesuai dengan kebudayaan, ideologi, dan struktur masyarakatnya. Namun, pada umumnya sistem pers yang dibentuk berguna untuk dijadikan acuan dalam tugas dan fungsi pers sebagai alat perjuangan dan pembangunan, penerangan, hiburan, kontrol sosial, sekaligus sebagai penyalur dan pembentuk pendapat umum.
Menurut William A. Hachten (dalam bukunya yang berjudul “The World News Prism” Tahun 1981), ada lima sistem pers yang berlaku di dunia, yakni :
Pers Otoriter
Pers Liberal
Pers Komunis
Pers Revolusioner
Pers Pembangunan (disebut juga Pers dunia ketiga)
Sistem pers otoriter hampir secara otomatis digunakan di semua negara ketika masyarakat mulai mengenal surat kabar sebagai wahana komunikasi. Sistem pers otoriter telah berhasil selama dua ratus tahun membentuk dasar khusus dalam menentukan fungsi dan hubungan pers dengan masyarakat. Penggunaan sistem ini tidak terbatas pada abad 15 hingga 17 saja, tetapi berlanjut sampai abad modern seperti negara Jepang, Rusia, Jerman, Spanyol, dan beberapa Negara di Asia dan Amerika Selatan.





BAB II PEMBAHASAN
A.           Pengertian Sistem Pers Otoriter
Pers dalam pengertian sempit dapat diartikan sebagai media massa cetak seperti surat kabar, majalah tabloid, dan sebagainya. Dalam pengertian luasnya pers berarti suatu lembaga atau media massa cetak maupun elektronik (radio siaran, televisi, internet dll) sebagai media yg menyiarkan karya jurnalistik. Pers dalam menjalankan fungsinya merupakan bagian dari subsistem dari sistem pemerintahan yang melalukan fungsi kontrol sosial terhadap pemerintah dalam membuat dan menetapkan suatu kebijakan.
Realitas menunjukkan pers memiliki kekuatan untuk mempengaruhi lingkungan yang probabilistik. Hal ini disebabkan karena pers selalu bergulat dengan struktur masyarakat yang ada sehingga masyarakat dapat dengan mudah menerima informasi yang disebarkan. Dari penyebaran informasi inilah kemudian timbul berbagai opini masyarakat tentang suatu kondisi sosial. Ini berarti secara tidak langsung pers memiliki andil besar dalam pembentukan opini masyarakat.
Sistem Pers Otoritarian merupakan sistem pers dimana kepemilikan pers dikuasai oleh pemegang kekuasaan maupun pemerintahan. Dalam sistem pers otoritarian, hal-hal yang disampaikan tidak diperkenankan untuk mengkritisi maupun mengomentari pemerintahan, pers dalam sistem ini berupa perwujudan perpanjangan tangan pemerintah.
Pers dalam sistem ini dikekang dan diatur ketat oleh pemerintah atau penguasa. Peran utama pers yaitu kontrol sosial hampir tidak pernah dijalankan oleh pers. Pers lebih berperan sebagai penyambung lidah pemerintahan.
Dalam teori ini, media massa berfungsi menunjang negara (kerajaan) dan pemerintah dengan kekuasaan untuk memajukan rakyat sebagai tujuan utama. Oleh karena itu pemerintah langsung menguasai dan mengawasi kegiatan media massa. Akibatnya sistem media massa sepenuhnya berada di bawah pengawasan pemerintah. Kebebasan pers sangat tergantung pada kekuasaan raja yang mempunyai kekuasaan mutlak.

B.            Sejarah Pers Otoriter
Teori ini lahir pada abad ke-15 sampai ke-16 pada masa bentuk pemerintahan bersifat otoriter (kerajaan absolut), hampir secara otomatis dipakai di semua negara ketika masyarakat mulai mengenal surat kabar sebagai wahana komunikasi.
Perkembangan otorisme pada pertengahan abad ke-15 menyebabkan timbul satu konsep otoriter di kehidupan pers di dunia, berawal di Inggris, Perancis dan Spanyol dan kemudian menyebar ke Rusia, Jerman, Jepang, dan negara-negara lain di Asia dan Amerika Latin pada abad ke-16. Dengan prinsip dasar otorisme yang cukup sederhana bahwa pers hadir untuk mendukung negara dan pemerintah. Mesin cetak yang ketika itu baru diciptakan tidak dapat digunakan untuk mengecam dan menentang negara atau penguasa.
Pers bertungsi secara vertikal dari atas ke bawah dan penguasa berhak menentukan apa yang akan diterbitkan atau disebarluaskan dengan monopoli kebenaran di pihak penguasa. Konsep ini didukung oleh teori Hegel, Plato dan Karl Marx yang pada inti ajarannya (meskipun cenderung pada konsep sosialisme) mengagungkan negara sedemikian rupa dan berpendapat bahwa negara memiliki hak dan kewajiban untuk membela dan melindungi dirinya sendiri dengan segala cara yang dipandang perlu.
Kekuatan pers yang diakui sebagai kekuatan keempat (fourth estate) menyebabkan negara atau penguasa mengalami phobia terhadap pers yang selalu menjadi pihak yang pertama tahu dan biang untuk menyebarkan kelemahan dan cela atau hal-hal yang merugikan negara atau penguasa.
Bagi penguasa otoriter keanekaragaman dapat menimbulkan konflik dan ketidaksepakatan yang akibatnya sangat mengganggu dan bahkan sering subversif. Konsensus dan keseragaman merupakan tujuan yang logis dan dapat dipahami dalam komunikasi massa. Seperti pendapat yang dikemukakan Samuel Johnson bahwa setiap masyarakat memiliki hak untuk mempertahankan ketertiban dan perdamaian di depan umum, maka masyarakat berhak untuk melarang penyebaran pendapat yang cenderung berbahaya.
Pendapat ini yang sebenarnya tidak masuk akal juga bagi pemimpin atau penguasa negara berkembang yang miskin yang dihadapkan pada kenyataan bahwa keharusan untuk melakukan integrasi politik dan pembangunan ekonomi lebih diutamakan akhirnya tidak bisa membiarkan pendapatpendapat atau pandangan yang dianggapnya dapat mengganggu dan menghasut.
Berkaitan dengan konsep integritas yang diharapkan negara-negara yang sedang membangun dimana struktur masyarakatnya berada dalam masa peralihan, media massa bisa dianggap sebagai salah satu biang terganggunya perkembangan masyarakat dan ketertiban. Hal inilah belakangan menjadi bahan yang menarik perhatian mahasiswa atau sarjana komunikasi massa, dimana terdapat dugaan bahwa media massa dilihat berkaitan dengan masalah urbanisasi yang berlangsung cepat, mobilitas sosial, dan kerapuhan komunitas tradisional, yang secara khusus dihubungkan dengan dislokasi sosial, dugaan meningkatnya kebobrokan moral, kriminalitas dan kekacauan.
Munculnya film dari luar dan ketakutan bahwa komikkomik impor berpotensi untuk merusak dan menghambat perkembangan berpikir anak menjadikan pemerintah merasa memiliki hak untuk mengawasi media massa. Komunikasi massa seringkali dikatakan individualistis, impersonal, dan anomis, oleh karena itu komunikasi massa sangat menunjang punahnya kontrol sosial dan solidaritas. Dari sinilah pemerintah atau kelas penguasa mengambil tindakan dengan melakukan kontrol pada media massa/pers. Secara sah atau tidak sah teori ini membenarkan penguasaan media oleh pihak yang berkuasa dalam masyarakat.



C.           Fungsi dan ciri-ciri Pers Otoriter
Kekuasaan yang ada pada tangan pemerinah, pada mulanya ada di tangan gereja. Mereka menganggap dirinya mendapat wahyu dari Yesus Kristus untuk membimbing masyarakat agar tidak menyimpang. Akhirnya pemikiran-pemikiran yang dibenarkan gereja menjadi keharusan. Tokoh-tokoh ini adalah Plato, Machiavelli, Hobbes, Hegel, serta Trotsky.
Prinsip utama:
·      Media seyogyanya tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak wewenang yang ada.
·      Media selamanya (akhirnya) harus tunduk pada penguasa yang ada.
·      Media seyogyanya menghindari perbuatan yang menentang nilai-nilai moral dan politik atau dominan mayoritas.
·      Penyensoran dapat dibenarkan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini.
·      Kecaman yang tidak dapat diterima terhadap penguasa, penyimpangan dari kebijaksanaan resmi, atau perbuatan yang menentang kode moral dipandang sebagai perbuatan pidana.
·      Wartawan atau ahli media lainnya tidak memiliki kebebasan di dalam organisasi medianya.

Para Tokoh Pemikir
a. Plato
Bentuk pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan aristokrat atau kebangsawanan. Sifat dasar manusia termasuk keinginan-keinginan materialnya dan perasaan mementingkan diri sendiri cenderung merendahkan derajat pemerintahan. Plato beranggapan bahwa negara akan selamat hanya apabila dipegang oleh orang-orang bijak, misalnya pada magistrat yang memerintah yang memerintah denga otoritas moral dan menggunakan otoritas tersebut untuk menjaga agar elemen masyarakat yang paling dasar tetap pada garisnya. Plato yakin bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat di mana negara membentuk dan memaksakan tujuan-tujuan politik dan budayanya. Pandangan demikian berarti bahwa ada pengendalian ketat terhadap terjadinya opini dan diskusi dalam masyarakat.

b. Machiavelli
Machiavelli tidak mempersoalkan tujuan dan arah negara. Yang dipermasalahkan adalah cara untuk mendapatkan dan agar tetap memegang kekuasaan politik. Keamanan negara harus dapat dicapai dengan kebijakan penguasa yang realistis dan nonmoralis. Dibawah doktrin seperti itu diskusi dalam masyarakat harus dibatasi apabila penguasa menganggap bahwa diskusi itu mengancam kedudukannya.

c. Thomas Hobbes
Berdasarkan dua keinginan dasar manusia, yaitu bebas dari penderitaan dan ingin berkuasa, Hobbes mengembangkan suatu sistem filsafat politik yang lengkap dimana kekuasaan mengawasi kegiatan tiap orang demi kepentingan banyak orang ialah yang terpenting. Kekuasaan untuk menjaga ketertiban dan kedamaian merupakan hal yang utama.

d. George Hegel
Ahli filsafat dari Jerman ini dijuluki sebagai pencetus cikal bakal komunisme dan fasisme. Kebebasan perseorangan menurut Hegel untuk mengetahui bahwa orang tersebut tidak bebas, tetapi tindakannya ditentukan oleh sejarah, masyarakat, terutama ide absolut yang terwujud dalam negara.Kaum Tudor di Inggris pada abad 16 memberikan hak-hak paten yang sifatnya eksklusif kepada orang-orang pilihan yang memonopoli bidang penerbitan dan mengeruk keuntungan sepanjang mereka tidak berusaha menggoncangkan pemerintahan
Jurnal-jurnal resmi yang mewakili pemerintah diterbitkan di semua negara Barat. Jurnal-jurnal ini diberi tugas untuk memberikan gambaran yang tepat dan cermat tentang kegiatan pemerintah agar disiarkan kepada masyarakat. Juga membuat tindakan balasan untuk menghapus kesan yang salah akibat tulisan yang karena suatu dan lain hal tidak terjangkau oleh pengawasan pemerintah.
Dikeluarkan sistem lisensi atau perizinan untuk karya perseorangan, terutama dalam masalah agama dan politik. Mereka harus menyerahkan hasil karya kepada wakil pemerintah yang dianggap tahu mengenai tujuan pemerintah.
Cara lain dalam mengawasi pers ialah pendakwaan melalui pengadilan atas pelanggaran peraturan yang telah diterima oleh umum. Dalam semua tindakan hukum tuduhan pengkhianatan merupakan tindakan kriminal terhadap masyarakat.
Ada tiga kategori tindakan yang dapat digolongkan sebagai pengkhianatan, yaitu (1) usaha menggulingkan negara, (2) terlibat dalam kegiatan yang dapat mengarah pada penggulingan negara, dan (3) mendukung dan menganjurkan kebijaksanaan yang dapat mengarahkan pada penggulingan negara. Hukuman bagi pengkhianatan biasanya ialah hukuman mati sebagai senjata ampuh untuk membungkam pendapat yang menyerang pemerintah.
Yang diijinkan ialah semua hal yang mendukung dan mengembangkan tujuan dan kebijakan negara. Sebaliknya, hal yang bersifat mengkritik para pemimpin politik beserta proyek-proyeknya dilarang.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan mengenai ciri-ciri Pers Otoriter :
a)    Media tidak dapat melakukan hal-hal yang dapt merusak wewenang yang ada
b)    Media harus selamanya tunduk pada penguasa
c)    Media menghindari perbuatan yang menentang nilai moral dan politik
d)   Penyensoran dapat di benarkan untuk menerapkan prinsip-prinsip yang di anut
e)    Kecaman yang tidak dapat diterima terhadap penguasa penyimpangan dari kebijaksanaan
f)    resmi atau perbuatan yang menentang kode moral, di pandang sebagai perbuatan pidana
g)    Wartawan tidak memiliki kebebasan dalam organisasinya.

D.           Kelebihan dan Kelemahan Sistem Pers Otoriter
Setiap konsep yang memiliki relativisme yang tinggi karena tergantung oleh nilai, norma bahkan kebutuhan masyarakatnya, setiap hal di dunia ini pada kodratnya memiliki dua sisi, baik dan buruk, benar dan salah. Maka konsep otoritarian ini pun memiliki kelebihan yang menyebabkan suatu konsep itu tetap digunakan dan menimbulkan efek yang diinginkan masyarakat juga memiliki kekurangan.

v   Kelebihan teori otoriter:
Konflik dalam masyarakat cenderung berkurang karena adanya pengawasan hal-hal yang dianggap dapat menggoncangkan masyarakat. Mudah membentuk penyeragaman/integritas dan konsensus yang diharapkan khususnya secara umum pada negara sedang membangun yang memerlukan kestabilan.  Meskipun telah disadari konsep ini cenderung menekan hak-hak individu atau masyarakat khususnya untuk bebas mengungkapkan, menyebarkan, dan mendapatkan informasi dari kebenaran fakta namun disadari juga bahwa dalam masyarakat prademokrasi atau masyarakat yang berciri kediktatoran adanya kecendrungan otoriter dalam hubungannya dengan media yang umumnya tidak bersifat totaliter tidak bisa diabaikan. ltulah mengapa konsep itu tanpa disadari tetap bertahan dan berlaku dengan kenyataan bahwa pada situasi tertentu konsep otoriterisme mengungkapkan itikad yang populer dan dalam semua masyarakat terdapat berbagai situasi di mana kebebasan pers bisa jadi bertentangan dengan kepentingan negara atau masyarakat misalnya dalam suasana kekacauan yang ditimbulkan teroris dan ancaman perang. Maka banyak negara melakukan pengendalian yang besar terhadap teater, film, penyiaran dan radio yang bila dibandingkan persentasenya lebih besar dari pada terhadap surat kabar dan buku.

v   Kekurangan :
a)    Adanya penekanan terhadap keinginan untuk bebas mengemukakan pendangan atau pendapat
b)    Mudah terjadi pembredelan penerbitan media yang cenderung menghancurkan suasana kerja dan lapangan penghasilan yang telah mapan.
c)    Tertutupnya kesempatan untuk berkreasi.


E.     Kemunculan dan keruntuhan pers otoriter di Indonesia
Seperti halnya Indonesia pada masa orde baru ketika pers berpraktek konsep otoriter ini meskipun secara teori konsep yang dipakai adalah konsep pers Pancasila dengan inti ajaran memiliki kesamaan dengan konsep pers tanggung jawab sosial. Dengan maksud perkembangan atau pembangunan yang sedang berjalan tidak terganggu dengan hal-hal yang mungkin mengancam integritas maka pemerintah ketika itu merasa memiliki hak untuk mengawasi pers yang telah atau dianggap telah melanggar tanggung jawabnya pada masyarakat, keadaan ini merupakan konsep otoritarian tradisional. Pada masa itu pers Indonesia diperbolehkan untuk mencari berita, menyebarkannya, namun dengan kebijakan untuk negara.
Pemerintah membiarkan pers selama pers tidak mengkritik dan menentang kebijakan pemerintah atau hal-hal yang tidak menguntungkan pemerintah. Sayangnya pers memakai kesempatan ini untuk mementingkan nilai-nilai komersil dengan mengabaikan nilai ideal pers, sehingga konsep otoritarian bukan lagi menjadi kepentingan pemerintahan. Meskipun demikian kenyataan bahwa pers memiliki cukup nyali untuk menyebarkan informasi kebenaran yang kemudian dianggap menyinggung pemerintah, sehingga sekitar tahun 90-an dan awal 90-an beberapa penerbitan pers dicabut SIUPP-nya.
Kenyataan tersebut dapat dilihat bahwa terdapat benturan kepentingan yang secara umum media massa ketika itu merupakan salah satu bagian atau sub sistem sosial politik yang berlaku. Permasalahan yang terjadi pada media massa merupakan produk atau hasil dari permasalahan sistem sosial politik yang ada. Menurut McQuail, bahwa media massa, sebagai suatu bagian dari sistem kenegaraan, maka kepentingan nasional bangsa yang dirumuskan oleh kalangan pembuat kebijakan akan menentukan mekanisme operasionalis media massa dalam menjalankan fungsi dan tujuannya. Pihak pemerintah menginginkan agar media massa berfungsi sebagai sarana pemeliharaan integritas bangsa dan negara, sarana pemeliharaan kestabilan politik.
Sementara itu khalayak mengharapkan media massa berfungsi sebagai sumber informasi yang dipercaya, sarana pengetahuan dan budaya. Di masa itu pers berada dalam kondisi yang tidak berdaya dari tekanantekanan kepentingan pihak penguasa dan pengusaha media. Tekanan-tekenan ini dengan alasan demi stabilitas nasional dan kepentingan pembangunan ekonomi telah membuat media massa cenderung untuk hanya berorientasi pada kepentingan pemerintah dan pemilik modal dan mengabaikan kepentingan khalayak secara luas. Fungsi kontrol media massa khususnya untuk menyampaikan berbagai kritikan serta pandangan yang berbeda mengenai relaitas pembangunan cenderung menurun atau bahkan tidak ada sama sekali. Hal ini disebabkan dua hal yaitu pertama bahwa ketidak berdayaan para pengelola media massa menghadapi tekanan politik ekstemal dalam mendefinisikan dan menggambarkan 'realitas sosial'. Tekanan eksternal ini tentu saja tidah hanya mempengaruhi 'obyektifitas antar-media'. Kedua bahwa secara struktural politik media yang berlaku di masa orde baru diasumsikan telah semakin meperkokoh integrasi vertikal dalam sistem komunikasi politik kita.
Tercermin dengan dimilikinya berbagai media massa oleh unsur-unsur bagian elit politik yang diperkirakan memiliki keseragaman konsepsi mengenai relaitas sosial.

Ø   Sejarah Pers Otoriter di Indonesia
Pers model ini di Indonesia mulai terlihat geliatnya saat presiden soekarno mengeluarkan dekrit presiden. Sistem pemerintahannya terkenal dengan nama Demokrasi Terpimpin berlangsung dari tahun 1957-1965.
Pada masa ini, pers cenderung bersifat Komunis, karena berita-berita yang dikeluarkan kantor berita tersebut cenderung pro-PKI. Tetapi pada akhir masanya diterbitkan surat kabar – surat kabar lain guna mengimbangi pers PKI. Dilanjutkan dengan masa transisi kedua (1965-1974) yang ditandai dengan awal pemerintahan orde baru. Pada awalnya, kehidupan pers di Indonesia bersifat Liberal dan pers-pers yang bersifat komunis dihilangkan. Pers bisa mengkritik jalannya pemerintahan, pemerintahan Orde Baru melakukan pembatasan kepada pers, dan meberlakukan pencabutan izin bagi pers yang dianggap mengganggu jalannya pemerintahan.
Kemudian pada tahun 1974-1999, pers cenderung tertutup dan bersifat pragmatis. Pers kehilangan idealisme dan daya kritisnya terhadap kehidupan sehari-hari. Pers sangat berhati-hati dalam menyikapi wacana keterbukaan politik agar tidak berdampak buruk terhadap kelangsungan hidupnya.
kebanyakan negara yang menganut sistem pers otoritarian adalah negara dengan sistem pemerintahan kerajaan atau monarki. Seperti di malaysia, Pers di sana lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Pers Malaysia tidak pernah memberitakan hal-hal yang negatif tentang suasana negerinya sendiri. Berbeda dengan pers di Indonesia yang sangat gencar memberitakan hal-hal apapun meski berbau negatif bagi penguasa.
Orde Baru bangkit sebagai puncak kemenangan atau rezim Demokrasi Terpimpin yang pada hakikatnya telah dimulai sejak tahun 1964 tatkala kekuatan Pancasila, termasuk pers, mengadakan perlawanan terbuka terhadap ofensif golongan PKI melalui jalur Manipolisasi dan Nasokomisasi. Kehancuran G30S/PKI merupakan awal ’pembenahan’ kehidupan nasional, pembinaan di bidang pers dilakukan secara sistematis dan terarah. Pada masa ini produk perundangan pertama tentang pers adalah UU no 11 tahun 1966. pengembangan pers nasional lebih lanju diwujudkan dengan mengundangkan UU no 21 tahun 1982 sebagai penyempurnaan UU no 11/1966. Penciptaan lembaga Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUUP) mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan kebebasan pers yang dikendalikan oleh pemerintah atau kebebasan pers yang bertanggung jawab pada pemerintah, suatu bentuk pengadopsian terhadap teori pers otoriter.
Terlepas dari kritik terhadap konsep penerbitan untuk mengatasi represi politik, pada tahun 1980-an banyak surat kabar yang menyesuaikan kebijakannya pada sistem politik yang berlaku (Hermawan Sulistyo, dalam Maswadi Rauf 1993). Surat kabar bukan hanya dipahami sebagai saluran kegiatan politik, namun juga sebagai saluran kegiatan ekonomi, budaya, soial, dan sebagainya. Ukuran ekonomi tampak dari penerbitan pers yang melihat hal ini sebagai lapangan bisnis. Karena alihan konsep ini, banyak kalangan pers yang kemudian menghindari ’wilayah rawan’ dengan membuka segmen pembaca baru. Fenomena yang paling mencolok ialah menjamurnya jumlah media yang berebut pangsa pasar di kalangan pembaca wanita. Kelompok Femina, misalnya, juga mengelola Ayahbunda, Gadis, dan Sarinah Group. Kelompok Gramedia juga terlihat menghindari ’daerah rawan’ dengan mengelola Nova, Hai, Intisari, Tiara, Bola, Bobo, dan sebagainya.
Kemudian pada tahun 1998, lahirlah gerakan reformasi terhadap rezim Orde Baru. Keberhasilan gerakan ini, melahirkan peraturan perundangan-peraturan perundangan sebagai pengganti peraturan perundangan yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. UU no 40 tahun 1999 merupakan salah satu contoh. Sejak sistem politik Indonesia mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara normatif, kita telah menganut teori pers tanggungjawab sosial (kebebasan pers yang bertanggung jawab pada masyarakat/kepentingan umum). Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers, UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat. Penanda itu terletak antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no 40 tahun 1999.
UU Pokok Pers No.40/1999 sebenarnya telah memberi landasan yang kuat bagi perwujudan kemerdekaan pers di Indonesia. Namun dalam praktiknya hingga kini kemerdekaan pers belum berlangsung secara substansial karena masih lemahnya penghargaan insan pers terhadap profesinya. Banyak sekali terjadi pelanggaran etika dan profesionalisme jurnalistik yang justru kontraproduktif bagi esensi kemerdekaan pers. Maraknya aksi-aksi massa terhadap kantor penerbitan di samping menunjukkan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap kebebasan pers, juga diakibatkan oleh masih rendahnya penghargaan insan pers terhadap kebebasannya. Dalam menghadapi pers yang nakal, kita tidak bisa begitu saja berpendapat bahwa ketidakpuasan terhadap pers dapat dilakukan melalui protes, klarifikasi maupun koreksi terhadap penerbitan pers karena masyarakat dapat menggunakan haknya untuk menggugat ke pengadilan.











BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Teori pers otoriter,diakui sebagai teori pers paling tua,berasal dari abad ke-16,berasal dari falsafah kenegaraan yang membela kekuasaan absolut.Penetapan tentang “hal-hal yang benar” dipercayakan hanya kepada segelintir “orang bijaksana” yang mampu memimpin.Jadi,pada dasarnya, pendekatan dilakukan dari atas ke bawah.Pers harus mendukung kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada negara.Para penerbit diawasi melalui paten-paten,izin-izin terbit dan sensor.
Konsep ini  menetapkan pola asli bagi sebagian besar system-sistem pers nasional dunia, dan masih bertahan sampai sekarang.Sebagian besar dunia selama beberapa periode telah menerima prinsip-prinsip dasar otoritarianisme sebagai pedoman tindakan –tindakan social,dan telah dipakai dalam pengawasan,pengaturan dan penggunaan media komunikasi massa.Walaupun teori otoriter telah dibuang di banyak negara demokratis,tetapi praktik-praktik otoritarian cenderung mempengaruhi proses demokrasi.Bahkan,praktek otoritarian hampir memaksa pemerintah libertarian mengambil langkah-langkah balasan beberapa aspek tidak dapat dibedakan dengan cara-cara otoritarian.
B.            SARAN
Dalam hal ini bagaimanapun pers seharusnya tidak dapat dikekang oleh pemerintah yang berkuasa baik itu siapapun karena dalam hal ini ini pers berkedudukan sebagai salah satu penyeimbang dalam suatu proses pemerintahan serta pers juga berperan sebagai sebuah lembaga yang bertindak sebagai control politik, social dalam suatu pemerintahan. Pers tidak boleh di batasi secara otoriter, karena dengan hal ini dapat mengurani kinerja akan fungsi pers itu sendiri. Tetapi pers juga tidak boleh seenaknya dalam hal membuat pemberitaan, para insan pers haruslah bersikap professional dan selalu berprilaku objektif. Disamping itu para insan pers juga harus tunduk kepada kode etik mereka serta hukum dan undang-undang yang berlaku di negara ini.