Sang Syuhada Pembela
Bangsa
Dede lahir dari keluarga pengrajin
batik di garut, 3 April 1910 angka simbol kelahirannya. Bapak ibunya menamainya
Dede Masdiad, sebuah nama paduan dua latar: pendidik dan pengrajin. Garut,
tanah kelahirannya begitu subur dengan hamparan pohon-pohon yang menyejukan
kala tertiup angin dan gunung-gunung bertebaran. Kala itu belum ada yang
menjamah daerah subur ini selain para kompeni yang kebetulan lewat.
Ia bocah biasa. Tak seperti Bima
terlahir sebagai bayi bungkus. Ia bocah yang punya sepasang mata, kaki,
dan tangan, Ia pun menjelma menjadi bocah
yang selalu girang setiap saat. Namun kepedihan menghampirinya. Tiada kesedihan
yang lebih besar dan beban yang lebih berat bagi seorang anak selain
ditinggalkan orang tuanya. Kepedihan pun melandanya. Tak ada yang tahu kalau ia hanya merasakan hidup sempurna
selama empat tahun. Ketika berumur empat tahun ia sudah menjadi yatim
ditinggalkan Ayahnya.
Lantas itu tak membuatnya membisu
akan dunia. Ia tak bermuram durja pada sang Pencipta. Karena ia bangga terlahir
seorang lelaki. Baginya, lelaki adalah kunci keajaiban. Kunci yang akan membuka
lebar gerbang kehidupan.Ia siap membangun kokohnya dunia dan ia menjadi salah
satu pilarnya. Cinta adalah bunga kehidupan terindah yang mampu menggetarkan
perasaannya. Cinta itupun ia curahkan pada sang ibu dan neneknya yang kemudian
menjadi cahaya penerang hidupnya.
Masa kecilnya belum banyak
diketahui. Statusnya yang bukan keturunan menak tak memungkinkan dia menikmati
sekolah di lembaga formal untuk anak bumi putera. Ia menempuh pendidikan di HIS
Kristen Garut. Kemampuan yang mengagumkan dalam merangkai kata menjadi syair
yang indah membuat ia termahsyur
dikalangannya sejak kecil. Ia pun selalu merobohkan sendi-sendi keinginnanya
untuk menuntuik ilmu. Ia hijrah ke Sukabumi untuk melanjutkan pedidikan di MULO
Kristen. Meskipun ia belajar di sekolah yang berbeda akidah, tak lantas
membuatnya lupa akan akidah,. Ia pun rajin mengaji kepada Ustadz Syahroni
seorang ulama asal Sukabumi. Hingga berbagai kitab mampu ia hapalkan dengan
baik. Tak butuh waktu panjang untuk menamatkan sekolah di MULO, karena
kecerdasannya Ia mampu menamatkakn sekolahnya
lebuh cepat. Ia pun kembali mengeruk berbagai pengetahuan di AMS Kristen Jakarta.
Hari berganti dan tahun berbilang.
Dede tumbuh menjadi pemuda yang dapat dibanggakan. Tubuhnya bagai pilar-pilar
kokoh, wajahnya sederhana namun bercahaya, dan suaranya merdu kala melantunkan syair-syair illahi. Ia menjadi cahaya pengetahuan yang
menguasai berbagai disiplin ilmu, dari yang paling sederhana hingga yang rumit.
Kegemarannya membaca dan berkawan
membuatnya lihai dalam bergaul, tak ayal ia banyak dikenal oleh berbagai
kalangan. Namun kala ia berada di puncak keemasan ketika menjadi pengajar di
AMS Kristen, gejolak jiwa menhampirinya. Angin berhembus membawa kisah hidupnya
kepada keluarganya di Garut. Kabar itu bagai arang hitam yang membuat keluarga
tersinggung, harga diri mereka ternoda mendengar dede berganti agama. Kecemasan
melanda keluarga yang mengetahui Dede sering bolak balik Gereja. Kemarahan
keluarga pun meluap pada Dede. Hanya ada satu cara untuk mengembalikan rasa
malu keluarga yang telah di caci maki tetanga yaitu memasukan dede ke
pesantren. Keputusan telah diambil, Dede dimasukan ke pesantern di Cipari yang
waktu itu di pimpin oleh Kyai Harmaen. Ketika itu pun dede berganti nama
menjadi Anwar Musaddad. Kecerdasannya pun tak terkekang oleh tempat. Dalam
waktu yang singkat ia fasih berbahasa Arab. Kefasihan lidahnya dalam berbahasa
Arab mengantarkannya ke Jakarta untuk bergabung dengan Srekat Islam ( SI) dan
ia tinggal bersama H.O.S Cokroaminoto di Jakarta.
Tahun 1930 Ia menyertai ibu dan neneknya
untuk menjadi tamu Allah di Mekkah. Ketika menjalankan ibadah haji tanpa
sepengetahuan ibu dan neneknya ia mendaftar sekolah di Madrasah Al-Falah. Ia
pun melanjutkan sekolah di Mekkah. Ia mempelajari agama islaM ke berbagai syekh
di kota suci itu. Ia pun menjadi salah satu pengajar disana, kala itu pula ia
merasakan hatinya berguncang dengan hebat saat melihat seorang gadis cantik.
Wajahnya anggun mempesona, lembut sikapnya dan penampilannya pun sangat
bersahaja. Tak lama kemudian ia mempersunting gadis yang bernama Maskatul
Millah yang kemudian berganti nama menjadi Atikah Musaddad, anak mukimin dari
Ciparay, Bandung.
Tahun 1941 kala polemik bangsa
merandang , Ia kembali ke tanah air. Ilmu yang Ia peroleh yak lantas ia pendam
begitu saja. Ia tebarkan semua ilmunya melalui ceramah-ceramah di seluruh
Indonesia. Kemahsyurannya begitu cepat tersiar di berbagai daerah, kemudian Ia
ditunjuk menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Priangan. Ia merambah ke dunia
politik dengan menjadi Ketua Masyumi daerah priangan. Sepak terjangnya tak
cukup samapi disitu bersama dengan sahabatnya K.H. Jusuf Tauzirie ia bergabung
dengan tentara hisbullah dan memimpin meminpin pasukan. Ia menemui batu
sandungan atas kritik tajamnya kepada pemerintah hingga ia di tawan oleh
tentara belanda.Liar tapi cerdik ia terus berusaha membangun kemerdekaan
Indonesia.
Karirnya semakin memuncak setelah
bangsa Indonesia berdaulat. Ia bagai cawan yang siap diisi anggur kemenangan.
Tugas pertama ia dapatkan untuk mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN) DI yogykarta. Benih-benih ilmu ia semai disana tanpa kenal lelah dan
dahaga karena kini buah telah banyak dan memetiknya
Tahun `1960 ia hijrah ke Bandung
untuk kembali mendirikan dan mengelola Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung
Djati Bandung (sekarang UIN). Menjelang usia senja, Ia tak hanya berdiam diri
dengan lelemahannya. Ia kerap aktif di NU (Nahdatul Ulama) dan berbagai
kesibukannya diberbagai di organisasi. Namun fitrahnya sebagai sang pencerah
tak cukup jadi lilin yang menerangi dirinya sendiri, Ia pun menjelama menjadi
bulan yang menerangi orang lain dengan cahayanya sendiri.
Sesudah pensiun Ia mendirikan Yayasan Pendidikan
Al-Musadaddaiyah di Kampung halamannya di Garut. Yang membuka lembaga
pendidikan dari taman kanak kanak-kanak samapai perguruan tinggi. Tanggal 21
Juli 2000, jiwanya yang kokoh bagai karang di laut, melemah bagai es disembur
api, Ia pun wafat. Jasadnya diangkat tandu unruk dibawa keperistirahatannya
yang abadi. Betapa banyak yang menagis mengiringi kepergiannya. Alam pun ikut
bersedih, matahari yang biasa bersinar terik membakar kini berbalut awan, angin
berhembus sejuk laksana membisikan kata-kata pelipur lara. Lantunan doa tak
henti dipanjatkan. Jasad yang selalu dikenang kini telah dimasukan kedalam
liang kubur yang mengganga. Jasadnya di semaikan di tempat suci yang ia bangun
sendiri dengan tetesan darahnya yang kini harum melati.
Kisah hidupnya seolah tak henti
menjadi buah bibir. Begitu banyak jasa yang ia tuaikan. Andaikata seorang tidak
mampu menatap wajahnya, maka mendengar namanya pun sudah cukup untuk
mengembalikan gairah hidup yang hilang.
Kini bagi dua belas anak dan 45
cucunya, K.H.Anwar Musaddad bukan hanya sang revolusi jiwa namun lebih dari itu
Ia bagai harta karun yang disimpan dalam menara dan dijaga oleh para prajurit
disana. Demikianlah kisah hidup seorang yang dalam kenangan. Jiwa raganya
memang hilang namun cahayanya adalah peta kesurga bagi generasi muda. Ia obat
untuk para syuhada yang kelaparan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar