Jumat, 07 Oktober 2011

Tentang Kyai Anwar Musadda


Sang Syuhada Pembela Bangsa
            Dede lahir dari keluarga pengrajin batik di garut, 3 April 1910 angka simbol kelahirannya. Bapak ibunya menamainya Dede Masdiad, sebuah nama paduan dua latar: pendidik dan pengrajin. Garut, tanah kelahirannya begitu subur dengan hamparan pohon-pohon yang menyejukan kala tertiup angin dan gunung-gunung bertebaran. Kala itu belum ada yang menjamah daerah subur ini selain para kompeni yang kebetulan lewat.
            Ia bocah biasa. Tak seperti Bima terlahir sebagai bayi bungkus. Ia bocah yang punya sepasang mata, kaki, dan  tangan, Ia pun menjelma menjadi bocah yang selalu girang setiap saat. Namun kepedihan menghampirinya. Tiada kesedihan yang lebih besar dan beban yang lebih berat bagi seorang anak selain ditinggalkan orang tuanya. Kepedihan pun melandanya. Tak ada yang tahu  kalau ia hanya merasakan hidup sempurna selama empat tahun. Ketika berumur empat tahun ia sudah menjadi yatim ditinggalkan Ayahnya.
            Lantas itu tak membuatnya membisu akan dunia. Ia tak bermuram durja pada sang Pencipta. Karena ia bangga terlahir seorang lelaki. Baginya, lelaki adalah kunci keajaiban. Kunci yang akan membuka lebar gerbang kehidupan.Ia siap membangun kokohnya dunia dan ia menjadi salah satu pilarnya. Cinta adalah bunga kehidupan terindah yang mampu menggetarkan perasaannya. Cinta itupun ia curahkan pada sang ibu dan neneknya yang kemudian menjadi cahaya penerang hidupnya.
            Masa kecilnya belum banyak diketahui. Statusnya yang bukan keturunan menak tak memungkinkan dia menikmati sekolah di lembaga formal untuk anak bumi putera. Ia menempuh pendidikan di HIS Kristen Garut. Kemampuan yang mengagumkan dalam merangkai kata menjadi syair yang  indah membuat ia termahsyur dikalangannya sejak kecil. Ia pun selalu merobohkan sendi-sendi keinginnanya untuk menuntuik ilmu. Ia hijrah ke Sukabumi untuk melanjutkan pedidikan di MULO Kristen. Meskipun ia belajar di sekolah yang berbeda akidah, tak lantas membuatnya lupa akan akidah,. Ia pun rajin mengaji kepada Ustadz Syahroni seorang ulama asal Sukabumi. Hingga berbagai kitab mampu ia hapalkan dengan baik. Tak butuh waktu panjang untuk menamatkan sekolah di MULO, karena kecerdasannya Ia mampu  menamatkakn sekolahnya lebuh cepat. Ia pun kembali mengeruk berbagai pengetahuan di AMS Kristen Jakarta.
            Hari berganti dan tahun berbilang. Dede tumbuh menjadi pemuda yang dapat dibanggakan. Tubuhnya bagai pilar-pilar kokoh, wajahnya sederhana namun bercahaya, dan suaranya merdu  kala melantunkan syair-syair  illahi. Ia menjadi cahaya pengetahuan yang menguasai berbagai disiplin ilmu, dari yang paling sederhana hingga yang rumit.
            Kegemarannya membaca dan berkawan membuatnya lihai dalam bergaul, tak ayal ia banyak dikenal oleh berbagai kalangan. Namun kala ia berada di puncak keemasan ketika menjadi pengajar di AMS Kristen, gejolak jiwa menhampirinya. Angin berhembus membawa kisah hidupnya kepada keluarganya di Garut. Kabar itu bagai arang hitam yang membuat keluarga tersinggung, harga diri mereka ternoda mendengar dede berganti agama. Kecemasan melanda keluarga yang mengetahui Dede sering bolak balik Gereja. Kemarahan keluarga pun meluap pada Dede. Hanya ada satu cara untuk mengembalikan rasa malu keluarga yang telah di caci maki tetanga yaitu memasukan dede ke pesantren. Keputusan telah diambil, Dede dimasukan ke pesantern di Cipari yang waktu itu di pimpin oleh Kyai Harmaen. Ketika itu pun dede berganti nama menjadi Anwar Musaddad. Kecerdasannya pun tak terkekang oleh tempat. Dalam waktu yang singkat ia fasih berbahasa Arab. Kefasihan lidahnya dalam berbahasa Arab mengantarkannya ke Jakarta untuk bergabung dengan Srekat Islam ( SI) dan ia tinggal bersama H.O.S Cokroaminoto di Jakarta.
            Tahun 1930 Ia menyertai ibu dan neneknya untuk menjadi tamu Allah di Mekkah. Ketika menjalankan ibadah haji tanpa sepengetahuan ibu dan neneknya ia mendaftar sekolah di Madrasah Al-Falah. Ia pun melanjutkan sekolah di Mekkah. Ia mempelajari agama islaM ke berbagai syekh di kota suci itu. Ia pun menjadi salah satu pengajar disana, kala itu pula ia merasakan hatinya berguncang dengan hebat saat melihat seorang gadis cantik. Wajahnya anggun mempesona, lembut sikapnya dan penampilannya pun sangat bersahaja. Tak lama kemudian ia mempersunting gadis yang bernama Maskatul Millah yang kemudian berganti nama menjadi Atikah Musaddad, anak mukimin dari Ciparay, Bandung.
            Tahun 1941 kala polemik bangsa merandang , Ia kembali ke tanah air. Ilmu yang Ia peroleh yak lantas ia pendam begitu saja. Ia tebarkan semua ilmunya melalui ceramah-ceramah di seluruh Indonesia. Kemahsyurannya begitu cepat tersiar di berbagai daerah, kemudian Ia ditunjuk menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Priangan. Ia merambah ke dunia politik dengan menjadi Ketua Masyumi daerah priangan. Sepak terjangnya tak cukup samapi disitu bersama dengan sahabatnya K.H. Jusuf Tauzirie ia bergabung dengan tentara hisbullah dan memimpin meminpin pasukan. Ia menemui batu sandungan atas kritik tajamnya kepada pemerintah hingga ia di tawan oleh tentara belanda.Liar tapi cerdik ia terus berusaha membangun kemerdekaan Indonesia.
            Karirnya semakin memuncak setelah bangsa Indonesia berdaulat. Ia bagai cawan yang siap diisi anggur kemenangan. Tugas pertama ia dapatkan untuk mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) DI yogykarta. Benih-benih ilmu ia semai disana tanpa kenal lelah dan dahaga karena kini buah telah banyak dan memetiknya
            Tahun `1960 ia hijrah ke Bandung untuk kembali mendirikan dan mengelola Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung (sekarang UIN). Menjelang usia senja, Ia tak hanya berdiam diri dengan lelemahannya. Ia kerap aktif di NU (Nahdatul Ulama) dan berbagai kesibukannya diberbagai di organisasi. Namun fitrahnya sebagai sang pencerah tak cukup jadi lilin yang menerangi dirinya sendiri, Ia pun menjelama menjadi bulan yang menerangi orang lain dengan cahayanya sendiri.
             Sesudah pensiun Ia mendirikan Yayasan Pendidikan Al-Musadaddaiyah di Kampung halamannya di Garut. Yang membuka lembaga pendidikan dari taman kanak kanak-kanak samapai perguruan tinggi. Tanggal 21 Juli 2000, jiwanya yang kokoh bagai karang di laut, melemah bagai es disembur api, Ia pun wafat. Jasadnya diangkat tandu unruk dibawa keperistirahatannya yang abadi. Betapa banyak yang menagis mengiringi kepergiannya. Alam pun ikut bersedih, matahari yang biasa bersinar terik membakar kini berbalut awan, angin berhembus sejuk laksana membisikan kata-kata pelipur lara. Lantunan doa tak henti dipanjatkan. Jasad yang selalu dikenang kini telah dimasukan kedalam liang kubur yang mengganga. Jasadnya di semaikan di tempat suci yang ia bangun sendiri dengan tetesan darahnya yang kini harum melati.
            Kisah hidupnya seolah tak henti menjadi buah bibir. Begitu banyak jasa yang ia tuaikan. Andaikata seorang tidak mampu menatap wajahnya, maka mendengar namanya pun sudah cukup untuk mengembalikan gairah hidup yang hilang.
            Kini bagi dua belas anak dan 45 cucunya, K.H.Anwar Musaddad bukan hanya sang revolusi jiwa namun lebih dari itu Ia bagai harta karun yang disimpan dalam menara dan dijaga oleh para prajurit disana. Demikianlah kisah hidup seorang yang dalam kenangan. Jiwa raganya memang hilang namun cahayanya adalah peta kesurga bagi generasi muda. Ia obat untuk para syuhada yang kelaparan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar